Hari Pangan Sedunia Sekadar Seremonial Belaka

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Purwanti
Ibu Generasi

Islam memiliki solusi mendasar demi menjaga kestabilan dan keterjangkauan pangan. Kuncinya terdapat pada berjalannya peran negara secara benar, yaitu sebagai penanggung jawab dan pelindung rakyat. Islam memerintahkan negara melalui pemimpinnya yang dikenal dengan khalifah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar, termasuk pangan, baik secara kuantitas maupun kualitas.

CemerlangMedia.Com — Setiap 16 Oktober, Hari Pangan Dunia atau World Food Day diperingati di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali di kabupaten kota di Indonesia. Asahan sebagai salah satu kabupaten di Sumatra Utara juga ikut memperingatinya dengan mengusung tema hak atas pangan untuk kehidupan yang lebih baik dan masa depan yang lebih baik.

FAO sebagai badan pangan dan pertanian PBB memiliki harap besar agar tahun ini hak atas pola makan yang beragam dan kaya nutrisi yang terjangkau, mudah diakses, dan aman untuk semua orang. Pemerintah Asahan sendiri melakukan stabilisasi pasokan dan harga pangan dengan Gerakan Pasar Murah yang akan di mulai pada 21 Oktober sampai 2 Desember 2024 (portal.asahankab.go.id, 17-10-2024).

Namun mirisnya, kasus kelaparan, kerawanan pangan, dan kekurangan gizi masih menjadi masalah besar sampai hari ini. Bahkan, makin memburuk seiring makin dekatnya tujuan nol kelaparan atau zero hunger 2030. Lantas, mengapa setiap tahun diperingati Hari Pangan Dunia? Apakah seremonial belaka?

Krisis Kelaparan Dunia

Merujuk pada KBBI, kelaparan adalah perihal lapar dan kekurangan makan. Namun jika melihat pada fakta, kelaparan adalah rasa tidak nyaman atau rasa sakit yang disebabkan kekurangan makan. Sebagaimana laporan dari World Food Programmer yang menyatakan bahwa sebanyak 309 juta orang akan menghadapi tingkat kerawanan pangan akut terhadap makan aman dan bergizi pada tahun ini (rri.co.id, 1-7-2024). Hal ini menunjukkan bahwa krisis kelaparan nyata di depan mata.

Bahkan, penyebab utama krisis kelaparan dunia adalah konflik yang berkepanjangan, sebagaimana pernyataan Wakil Direktur Jenderal FAO, Beth Bechdol. Beth mengatakan bahwa konflik, krisis iklim, dan guncangan ekonomi sebagai penyebab utama kelaparan yang makin memperburuk populasi yang rentan. Bahkan, menurut laporan IPC yang disampaikan Beth Bechdol, krisis pangan di Gaza dengan 96% populasi di sana berada di IPC phases tiga ke atas. Ini berarti bahwa ada lebih dari 2 juta orang yang menghadapi kelaparan setiap hari di Gaza (antaranews.com, 17-10-2024).

Tentunya, krisis kelaparan ini butuh penyelesaian. Sebab, kelaparan tidak melanda negara yang berkonflik saja. Akan tetapi, negara di belahan bumi lain yang memiliki tanah luas dan subur serta teknologi pertanian yang bagus, juga mengalami krisis kelaparan yang akut. Hal ini diperparah dengan adanya kebijakan larangan impor di berbagai negara. Data terbaru Food Security Update per September 2024, ada 16 negara yang menerapkan 22 larangan ekspor dan 8 negara yang menerapkan pembatasan ekspor.

Krisis ini juga melanda negeri pertiwi tercinta. Selama 10 tahun terakhir, porsi tanaman pangan mengalami penurunan drastis karena fokus besar diberikan kepada proyek penanaman kelapa sawit oleh perkebunan demi ekspor. Sementara penduduk negeri ini sangat banyak sehingga kurangnya produksi pangan menjadi dalih pemerintah untuk membuat kebijakan impor.

Akar Masalah

Krisis kelaparan yang terjadi terus-menerus selama ini tidak bisa diatasi dengan solusi teknis. Menelisik sejarah Indonesia sendiri yang pernah berhasil mencapai swasembada pangan pada 1984, Indonesia termasuk pengimpor beras terbesar dengan produksi beras nasional yang hanya 12 juta ton.

Pada saat itu, seluruh potensi Indonesia sebagai negara agraris dan maritim benar-benar dimaksimalkan agar mengarahkan kepada ketahanan dan kedaulatan pangan, misalnya pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur berupa jalan, irigasi, dan lain sebagainya. Selain itu, pemerintah mendukung pengembangan riset dan teknologi pertanian dengan kebijakan pendidikan menengah dan tinggi terkait sektor pertanian, perbaikan sistem tata niaga dan informasi pasar, serta membuat kebijakan terkait pengadaan saprotan, subsidi dan bantuan permodalan, dan lain sebagainya.

Sayangnya, pemerintah saat itu tidak bisa menghindari arus kebijakan global yang makin sekuler. Pengarusan proyek liberalisasi pasar membuat pemerintah Indonesia kehilangan kedaulatan pangan. Pemerintah terjebak dalam perjanjian pertanian (Agreement of Agriculture) yang menjadi bagian dari organisasi dagang internasional. Melalui perjanjian itu, Indonesia hanya dijadikan sebagai end user, bukan produsen produk pangan. Oleh karenanya, mereka berhasil melemahkan Indonesia dengan tekanan politik dan jebakan utang.

Kondisi ini diperparah dengan keberadaan mafia di lingkaran kekuasaan yang terus merajalela. Mereka memengaruhi kebijakan penguasa agar berpihak kepada para pemilik modal. Lebih-lebih lagi, hubungan penguasa dengan rakyatnya seperti pedagang dengan pembeli, sebagai contoh peran Bulog yang awalnya perwakilan negara, berubah menjadi perwakilan pelaku pasar yang ikut berdagang dengan rakyat.

Bahkan, kondisi ini terus berlangsung hingga sekarang dan makin parah dengan hilangnya peran negara. Para penguasa hanya mementingkan para pemilik modal dengan proyek food estate atau gerakan pasar murah, apalagi praktik spekulasi dan mafia pangan sukar dihilangkan karena pemilik modal lebih berkuasa dari pada pemerintah di dalam sistem kapitalisme. Selama tata kelola pangan masih menggunakan sistem kapitalisme yang meminimalkan peran negara, maka mendambakan harga pangan murah sangat mustahil.

Butuh Riayah Negara

Krisis kelaparan yang dialami negeri ini dan negeri-negeri lainnya tidak akan tuntas jika masih mempertahankan paradigma dan sistem kapitalisme sekuler. Untuk keluar dari krisis tersebut, negara harus mengubah konsep kapitalisme liberal dengan sistem Islam kafah.

Islam memiliki solusi mendasar demi menjaga kestabilan dan keterjangkauan pangan. Kuncinya terdapat pada berjalannya peran negara secara benar, yaitu sebagai penanggung jawab dan pelindung rakyat. Islam memerintahkan negara melalui pemimpinnya yang dikenal dengan khalifah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar, termasuk pangan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Ini berarti bahwa negara hadir sebagai pelayan rakyat untuk menghilangkan bahaya di depan rakyat, termasuk hegemoni ekonomi. Negara tidak akan membiarkan para pengusaha menguasai rantai penyediaan pangan demi keuntungan sepihak.

Peran pelindung dan penanggung jawab harus dimiliki oleh seluruh struktur negara hingga unit pelaksana teknis. Oleh karena itu, keberadaan badan pangan seperti Bulog pun harus menjalankan fungsi pelayanan, bukan bisnis. Meskipun badan pangan ini menjalankan fungsi stabilitator pasar, tetapi harus steril dari mencari keuntungan.

Khalifah juga membuat beberapa kebijakan demi menjaga stabilitas harga, di antaranya menjamin ketersediaan stok pangan agar permintaan (demand) dan penyediaan (supply) stabil, sebagai contoh menjamin pertanian dalam negeri berjalan maksimal atau dengan impor sesuai dengan ketentuan syariat. Kemudian menjaga rantai tata niaga dengan mencegah penyimpangan pasar, seperti larangan penimbunan barang, larangan riba, larangan praktik tengkulak, dan sebagainya. Hal ini juga disertai dengan hukum yang tegas dan berefek jera sesuai syariat Islam.

Kadi hisbah sebagai struktur khusus di dalam negara Islam bertugas mengawasi tata niaga di pasar dan memastikan makanan yang beredar adalah halal dan tayib. Tidak hanya itu, negara juga berperan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait ketakwaan dalam bermuamalah. Sebab di dalam Islam, kita dianjurkan untuk memiliki ilmu terlebih dahulu sebelum berbuat, terlebih lagi terkait muamalah. Sahabat sekaligus menantu Rasulullah saw., yaitu Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Siapa saja yang berjualbeli belum memiliki ilmu jual beli, maka ia akan terjerumus dalam riba, makin terjerumus, dan makin terjerumus.”

Kesimpulan

Peringatan Hari Pangan dengan program Gerakan Pasar Murah demi menjaga stabilisasi pasokan dan harga pangan tidak akan terwujud. Ini hanya akan menambah panjang daftar permasalahan pangan dan berakhir dengan seremonial belaka. Lantas, mengapa kita tidak mengambil sistem Islam yang mampu mewujudkan stabilisasi pasokan dan harga pangan?

Wallahu a’lam [CM/NA]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *