Oleh: Hany Handayani Primantara, S.P.
(Pemerhati Pertanian)
CemerlangMedia.Com — Indonesia terkenal sebagai negara penghasil beras terbesar keempat di dunia. Meski begitu, tidak dimungkiri, harga eceran tertinggi (HET) di Indonesia termasuk masih dalam kategori mahal. Namun, sekalipun mahal, masyarakat tetap membeli karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia.
Secara logika, sebagai negara penghasil beras dengan produksi 34 juta metrik ton pada musim 2022/2023, sebenarnya mampu untuk memenuhi kebutuhan pasokan beras yang hanya sekitar 21 juta ton per 2023. Seharusnya dengan kalkulasi tadi, masyarakat Indonesia bisa memperoleh beras dengan mudah dan harga murah. Namun, faktanya justru sebaliknya, beras saat ini mengalami kenaikan 3,2% menjadi Rp16.000 per kilogram. Begitupun dengan beras medium, harganya naik Rp560 menjadi Rp14.010 per kilogram (bisnis.com, 26-05-2024).
Sebagai negara agraris, Indonesia sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan pasokan beras dalam negeri. Namun, hal itu tergantung dari kebijakan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam tersebut. Jika tidak dikelola dengan benar, sumber daya alam berupa beras di sektor pertanian ini tidak akan berdampak baik bagi rakyat banyak. Faktanya, masih banyak oknum tertentu yang memanfaatkan celah ini demi kepentingan pribadi.
Selain merugikan rakyat, kenaikan HET juga akan berdampak pada kestabilan pangan dalam negeri. Kenaikan HET tentu membuat hidup rakyat makin sulit, apalagi di tengah lesunya ekonomi, banyaknya PHK, dan tingginya angka kemiskinan. Ketika sebuah negara belum mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan pangannya, bisa dipastikan akan menjadi negara yang serba ketergantungan, bahkan dikendalikan oleh negara lain demi kepentingan politik.
HET Naik, Petani Membaik?
Pihak yang paling berjasa dari sektor pertanian adalah petani. Tanpa petani, kita tidak akan bisa mengonsumsi nasi yang berasal dari beras ini. Pengorbanan besarnya dalam menanam padi hingga menjadi beras yang bisa dikonsumsi, butuh waktu dan usaha yang tidak mudah. Begitu besar jasa petani jika ditinjau dari sisi asal muasal tanaman padi.
Jika harga beras naik, apakah otomatis petani jadi kaya dan nasibnya membaik? Nyatanya tidak demikian, ada proses distribusi yang panjang hingga padi menjadi beras kemudian sampai ke tangan masyarakat. Kebanyakan petani langsung menjual gabah ke tengkulak sebagai pemasok dengan harga murah. Setelah itu diproses dan dijual kembali kepada penjual beras dengan harga berkali-kali lipat lebih tinggi dari harga beli melalui petani.
Dari sini tampak bahwa kenaikan HET beras tidak lantas secara otomatis membuat petani membaik nasibnya. Distribusi beras justru lebih dikuasai oleh pengusaha yang memiliki modal besar, sedangkan petani tetap dengan keadaan mereka sebelumnya, tidak lantas sejahtera dengan kenaikan HET beras. Mereka tetap terpuruk dengan utang-utang dari pinjaman bank demi keberlangsungan hidup dari bertani padi.
Islam Memandang HET Beras
Jika dalam sistem kapitalisme yang mengendalikan harga adalah pasar, mereka juga membuat kebijakan harga eceran tertinggi (HET) sebagai patokan agar harga di pasaran tidak terlampau mahal dan masih bisa dijangkau oleh rakyat. Sebab, ketika mereka lepaskan harga ke pasar secara brutal, dalam artian tidak ada yang mengendalikan harga, maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan pasar sehingga berdampak buruk bagi masyarakat, apalagi jika komoditi merupakan bahan pokok.
Tidak demikian dengan sistem Islam, justru pematokan harga berupa HET atau dalam istilah Islam dikenal dengan tas’ir adalah kebijakan yang dilarang dan haram hukumnya. Kata tas’ir sendiri berasal dari kalimat sa’ara-yusa’iru-tas’iran. Dalil keharaman pematokan harga ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
Artinya, “Suatu ketika terjadi krisis di zaman Rasulullah saw., kemudian para sahabat meminta kepada beliau menetapkan harga barang: “Andaikan tuan mau menetapkan harga barang?” Beliau menjawab: Sesungguhnya Allah Swt. Zat Yang Maha Mengendalikan, Maha memberi, Maha Pemberi rezeki, dan Maha Penentu harga.” (HR Imam lima selain al-Nasai. Dishahihkan oleh al Tirmidzi).
Namun demikian, bukan berarti Islam mengabaikan kepentingan masyarakat dengan kesulitannya saat memenuhi kebutuhan mereka. Islam menjadikan negara bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, termasuk ketersediaan beras sebagai sumber pangan.
Negara Islam memiliki langkah dan kebijakan yang sesuai dengan tuntunan Nabi saw.. Langkah-langkah untuk menjaga agar harga beras stabil adalah dengan mengupayakan ketersediaan beras di dalam negeri sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menggunakan teknologi pertanian yang menghasilkan lebih banyak produksi beras dengan kualitas bagus atau bahkan mengadakan komiditi beras dari negara lain sebagai langkah terakhir yang dapat ditempuh oleh negara.
Selain mengupayakan ketersediaan beras, negara pun harus mampu memastikan rakyat mudah membelinya dan menjadikan distribusi beras berada dalam kendali negara, bukan pengusaha. Jika distribusi ada dalam kewenangan negara, nasib petani yang notabene saat ini memprihatinkan akan bisa diperbaiki. Jaminan dari negara sebagai pengelola akan menyingkirkan para distributor nakal sehingga petani maupun konsumen tidak akan dirugikan, sebab semua sesuai dengan takarannya masing-masing.
Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]