Oleh: Pahriati
CemerlangMedia.Com — Tahun telah berganti. Terdapat sejumlah catatan penting yang patut disoroti. Banyak persoalan yang belum terselesaikan di negeri ini. Salah satunya terkait perlindungan hak asasi.
Sebut saja kasus Rempang misalnya. September 2023 lalu, pecah konflik antara aparat dengan rakyat di Rempang, Kepulauan Riau. Hal itu berawal dari rencana pembangunan kawasan Rempang Eco-City. Masyarakat Rempang dipaksa untuk direlokasi. Warga diliputi kekhawatiran karena sewaktu-waktu mereka bisa saja terusir dari tanah kelahiran yang sudah dihuni turun-temurun berabad lamanya.
Banyak pihak menilai telah terjadi pelanggaran hak asasi dalam kasus Rempang. Calon hakim ad hoc hak asasi manusia (HAM) di Mahkamah Agung (MA) ketiga Manotar Tampubolon menyebutkan, di Rempang telah terjadi pelanggaran HAM. Rempang telah kehilangan beberapa etnis aslinya, juga terdapat pemaksaan untuk pindah dari tempat yang sudah bertahun-tahun menjadi tempat pencaharian mereka. Menurutnya, kasus tersebut melibatkan dua pelaku, yakni aktor negara yang memberikan izin dan aktor non negara yang melakukan pencaplokan tanah (komisiyudisial.go.id, 19-10-2023).
Kasus Rempang menambah deret panjang kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini. Dalam kasus konflik agraria saja, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, terdapat 2.170 konflik yang terjadi sepanjang 2015 hingga 2022. Konflik itu berdampak pada 5,8 juta hektare tanah dan korban 1,7 juta keluarga di seluruh Indonesia. Ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak tanahnya (cnnindonesia.com, 24-09-2023).
Beberapa waktu lalu, Setara Institute bersama International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) mengungkap skor indeks hak asasi manusia (HAM) Indonesia 2023 mengalami penurunan menjadi 3,2 dari sebelumnya 3,3. Pemberian skor itu berdasarkan pemenuhan hak-hak yang mengacu pada 6 indikator pada variabel hak sipil dan politik serta 5 indikator pada variabel hak ekonomi, sosial, budaya. Skala 1 menunjukkan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM terburuk. Angka 7 menunjukkan nilai terbaik. Setara mengungkap, kinerja pemerintah saat ini paling buruk dalam melindungi dan memenuhi hak warga atas tanah dan kebebasan berpendapat (cnnindonesia, 10-12-2023).
Para aktivis HAM menilai, penegakan HAM di Indonesia masih sangat lemah. Peneliti di Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS) Ita Fatia Nadia mengungkapkan, sepanjang masa pemerintahan Joko Widodo, ada 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum terselesaikan. Di antaranya kasus penembakan Trisakti dan kerusuhan Mei 1998. Negara yang menutupi fakta sejarah kejahatan kemanusiaan dan menghindari kewajiban untuk melindungi warga negaranya, tidak saja merendahkan adab politik Indonesia, tetapi juga menunjukkan kegagalan negara (voaindonesia.com, 10-12-2023).
Ironisme Demokrasi
Beragam pelanggaran HAM yang terjadi, kontras dengan kebebasan yang diagungkan demokrasi. Konon katanya, dalam demokrasi, negara menjamin kebebasan kepemilikan, berkumpul, menyatakan pendapat, juga kebebasan beragama. Namun, kenyataannya, hal itu tak sejalan dengan fakta yang kita temui.
Beberapa tahun terakhir kita saksikan perampasan lahan telah merenggut hak kepemilikan individu. Pembubaran pengajian mencerabut hak berkumpul. Penentangan terhadap upaya menjalankan syariat sebagai implementasi keyakinan beragama memberangus kebebasan beragama. Begitu pula penangkapan aktivis atau mereka yang berani mengkritik penguasa dan kebijakannya dengan tuduhan menyebarkan ujaran kebencian, membungkam kebebasan berpendapat.
Anehnya, kebebasan kepemilikan dijamin ketika berkaitan dengan pihak swasta. Mereka justru dilindungi dengan seperangkat undang-undang. Kegiatan yang sarat maksiat dan membawa mudarat seperti kontes kecantikan dan merebaknya kaum pelangi dibiarkan dengan alasan kebebasan berkumpul dan bertingkah laku.
Demikian halnya dengan penistaan agama, dibiarkan dengan alasan kebebasan berpendapat. Semua ini menunjukkan bahwa kebebasan yang diagungkan demokrasi adalah hal yang hipokrit. Mereka menggunakan standar ganda dalam penerapannya.
Sikap hipokrit tersebut tak hanya berlaku di Indonesia, melainkan juga secara global. Misalnya saja terkait kondisi P4l3stin4. Jelas terlihat bagaimana kekejaman dan genosida yang dilakukan zionis Isr43l. Bahkan terjadi pembantaian paling mengerikan sepanjang sejarah.
Namun, nyatanya, lembaga dunia seperti PBB tidak berbuat banyak untuk menghentikan kejahatan tersebut. Sebagian negara hanya memberi kecaman atau seruan perdamaian. AS yang katanya menjadi polisi dunia dalam penegakan HAM, justru berpihak kepada penjajah Isr43l.
Tak hanya di P4l3stin4, pelanggaran HAM berat juga terjadi di Irak, Afganistan, Suriah, Xinjiang, Rohingya, serta di berbagai belahan bumi lainnya. Kita bisa melihat, jika pelaku kekerasan adalah AS dan sekutunya, maka tidak dianggap pelanggaran HAM. Sebaliknya, ketika pelakunya merupakan musuh mereka, seperti kelompok Islam, akan dituduh sebagai pelanggaran HAM.
Inilah wajah asli demokrasi. Penegakan HAM hanya omong kosong, ilusi yang takkan bisa terealisasi. Lebih jauh, kita juga melihat bahwa kebebasan hanya alat yang digunakan Barat untuk menghancurkan Islam dan kaum muslim.
Sebenarnya “wajar” ini terjadi dalam demokrasi karena sistem ini merupakan buatan manusia. Standar perbuatan dikembalikan pada pemikiran dan perasaan manusia. Di sinilah sumber masalahnya. Manusia memiliki keterbatasan pengetahuan dan kecenderungan mengedepankan kepentingan pribadi dibandingkan orang lain. Jika tak dibimbing dengan agama, terjadilah persaingan bebas. Pada akhirnya siapa yang kuat dan punya kuasa, dialah yang akan menang, lantas menindas mereka yang lemah.
Islam Memberikan Jaminan Perlindungan
Konsep yang dianut oleh demokrasi berbeda jauh dengan apa yang diajarkan dalam Islam. Islam menetapkan bahwa hukum asal perbuatan manusia wajib terikat dengan hukum syarak. Tidak ada kebebasan mutlak bagi manusia, melainkan harus tunduk terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Sang Pencipta.
Aturan Allah menetapkan hak dan kewajiban manusia secara proporsional. Jika dijalankan secara benar, takkan ada pihak yang terzalimi. Syariat Islam yang kafah memastikan hak mendasar bagi manusia akan terlindungi, seperti hak hidup dan hak pemenuhan kebutuhan dasar.
Pelaksanaan Islam kafah akan mampu mewujudkan maqasid syariah, di antaranya hifzud-din (penjagaan agama), hifzun-nafs (penjagaan jiwa), hifzul-‘aql (penjagaan akal), hifzun-nasl (penjagaan keturunan), dan hifzul-mal (penjagaan harta). Hal ini telah terbukti dan tercatat dalam lintasan sejarah selama belasan abad lamanya.
Pelaksanaan ini mustahil terealisasi jika masih berpegang pada sistem demokrasi. Semuanya hanya bisa terwujud ketika negara menjadikan Islam sebagai satu-satunya pedoman kehidupan. Ayo kita perjuangkan! [CM/NA]