Oleh: Rina Herlina
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Miris, satu kata yang tepat menggambarkan kondisi negara kita yang notabene dijuluki negara agraris. Faktanya, Indonesia tetap melakukan impor beras untuk memenuhi kebutuhan, pasokan, dan stok berasnya.
Seperti kabar terbaru yang menyebutkan bahwa dipastikan Indonesia masih akan impor beras pada tahun ini guna mengamankan pasokan dan memenuhi kebutuhan beras nasional. Arief Prasetyo Adi, selaku Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengatakan, impor beras masih akan dilakukan pada awal 2024, tepatnya sebelum panen raya (ekonomi.bisnis.com, 9-01-2024).
Pemerintah memiliki berbagai alasan di balik keputusan impor beras yang dinilai jorjoran oleh sebagian kalangan. Di antaranya adalah untuk stabilisasi harga pangan, memenuhi kebutuhan bantuan pangan, stok akhir, dan menahan laju kenaikan harga. Akan tetapi, apa pun alasannya, tetap saja hal itu dianggap sesuatu yang seharusnya bisa diminimalkan mengingat posisi Indonesia sebagai negara agraris.
Indonesia sebagai Negara Agraris
Indonesia merupakan negara agraris dengan lahan pertanian yang luas. Dengan fakta tersebut, diharapkan bisa memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat secara menyeluruh. Akan tetapi, kenyataannya, negara tidak bisa menjamin Indonesi terbebas dari impor, terlebih di sektor pertanian itu sendiri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 2000 hingga 2019, Indonesia selalu melakukan impor beras. Praktis, hal tersebut juga terjadi di sepanjang periode kepemimpinan Presiden Jokowi hingga hari ini.
Adanya impor beras yang dilakukan setiap tahun dengan angka jutaan ton, menurut Bhima Yudhistira, seorang Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), berakar pada sengkarut data perberasan. Padahal, BPS telah mengeluarkan rujukan data dengan teknologi terkait survei luas panen dan luas lahan. Akan tetapi, data yang dikeluarkan oleh BPS tersebut sepertinya tidak dipercayai oleh kementerian terkait sehingga mereka membuat data dari sumber sendiri.
Alhasil, masalah data ini seperti sengaja diciptakan oleh rente impor. Pembenaran ilmiah untuk impor itu lemah. Oleh karenanya, ini bukan lagi persoalan produksi pertanian, tetapi sudah masuk ranah ekonomi politik. Tentu ada yang diuntungkan terkait adanya margin beras. Bayangkan saja, tidak perlu pusing menanam, tinggal impor dapat margin. Ekonomi seperti sengaja diarahkan menjadi rent seeking atau pemburu rente.
Ini artinya, ada banyak pihak yang bermain dalam impor komoditas pangan, mulai dari politisi sampai pengusaha impor. Jaringannya cukup panjang sampai ke level pedagang yang ada di negara asal importir. Padahal level pemerintah sebagai institusi pengurus urusan rakyat sudah seharusnya mampu mewujudkan jaminan ketersediaan beras dengan stok yang mencukupi dan harga terjangkau.
Pemerintah bahkan tidak boleh sekadar memastikan stok, tetapi memastikan beras tersebut mampu dijangkau oleh masyarakat. Jangan sampai stok cukup, tetapi ditimbun oleh pengusaha nakal bahkan harganya pun mahal.
Sayangnya, jaminan ketersediaan pangan itu tidak mampu diwujudkan oleh penguasa hari ini. Hal ini tidak lepas dari sistem yang dianut, yaitu kapitalisme sehingga membuat negara dengan entengnya berlepas tangan dan menyerahkan urusan pemenuhan hajat rakyat pada mekanisme pasar, yakni swasta sebagai pemain di pasar.
Saat ini, negara berperan sebagai regulator, ibarat satpam yang tugasnya hanya membuka dan menutup portal. Apalagi keputusan impor tersebut ternyata bukan untuk kepentingan rakyat ataupun petani, melainkan ada pihak-pihak tertentu yang menangguk untung dari impor. Inilah yang terjadi ketika kita menerapkan sistem kufur kapitalisme.
Negara sebagai Institusi Pengurus Rakyat
Hal tersebut sangat berbeda dalam sistem Islam. Dalam Islam, negara mempunyai kewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan pangan orang per orang, serta harus memastikan tidak ada orang yang kelaparan karena tidak mampu membeli beras.
Islam menuntut pemimpin hadir mengurus dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (khalifah) adalah raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Oleh karena itu, untuk mewujudkan jaminan pangan bagi warganya, negara akan melakukan hal-hal berikut:
Pertama, mewujudkan swasembada penuh untuk komoditas pangan yang terkategori kebutuhan pokok seperti beras.
Kedua, membangun dan meningkatkan produksi dalam negeri dengan strategi intensifikasi, ekstensifikasi, penerapan teknologi mutakhir, edukasi petani, pemberian subsidi dan bantuan alat produksi, dan sebagainya sehingga bisa mencapai kedaulatan pangan dan tidak butuh impor.
Ketiga, membangun jaringan distribusi yang adil dan baik untuk memastikan tidak ada hambatan distribusi dari sawah hingga sampai ke tangan konsumen.
Keempat, mengawasi adanya potensi praktik penimbunan supaya bisa tercegah dan memberikan sanksi bagi pelaku penimbunan.
Kelima, mengedukasi masyarakat dan membentuk kebiasaan untuk melakukan diversifikasi pangan sehingga tidak terus bergantung pada satu jenis bahan pangan tertentu.
Keenam, segera membenahi aspek produksi maupun distribusi pada saat terjadi kenaikan harga beras yang tidak wajar.
Ketujuh, memberikan santunan berupa bahan pangan bagi warga yang miskin secara berkala sekaligus menyelesaikan problem nafkah jika memang ada.
Dengan mekanisme tersebut, permasalahan tingginya harga beras akan teratasi dengan sangat baik tanpa terus-terusan mengandalkan impor. Akan tetapi, solusi ini hanya bisa terealisasi dalam sistem Islam, yakni Daulah Khil4f4h, bukan sistem kapitalisme. Wallahu a’llam, [CM/NA]