Oleh: Nur Rahmawati, S.H.
Chief Editor CemerlangMedia.Com dan Pendidik di Kotim
Sistem ekonomi Islam menawarkan solusi yang jauh lebih adil dan berorientasi pada kesejahteraan. Dengan pengelolaan sumber daya alam yang menjadi milik umum, penerapan zakat sebagai instrumen utama dan pajak sebagai alternatif terakhir, negara dapat memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi tanpa memberatkan mereka.
CemerlangMedia.Com — Pajak merupakan salah satu kebijakan yang lahir dari sistem kapitalisme dan menjadi instrumen utama dalam menggerakkan roda pembangunan. Namun, kebijakan ini sering kali menuai kritik tajam karena dianggap tidak adil dan menyengsarakan rakyat, terutama rakyat kecil.
Dalam sistem kapitalisme, pajak diberlakukan kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang tingkat kemampuan ekonomi mereka. Akibatnya, rakyat yang berada di garis kemiskinan justru terbebani oleh pajak yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk mengelola dengan bijak.
Sebaliknya, dalam sistem ekonomi Islam, pajak bukanlah sumber pendapatan utama negara, melainkan langkah terakhir yang hanya diberlakukan dalam kondisi tertentu. Sistem Islam menawarkan solusi yang lebih adil dan sejahtera dengan menjadikan negara sebagai pelayan rakyat, mengelola sumber daya alam untuk kepentingan umum, dan memastikan kesejahteraan setiap individu tanpa diskriminasi.
Pajak dalam Sistem Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber utama pendapatan negara untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, dan program-program pemerintah lainnya. Namun, cara penerapan pajak sering kali lebih menguntungkan kelompok tertentu, seperti korporasi besar dibandingkan dengan rakyat kecil.
Naiknya PPN per (1-1-2025) sebagai bukti bahwa rakyat akan dipusingkan dengan urusan pajak. Belum lagi kebutuhan pokok yang makin melonjak, tentunya akan menambah beban rakyat yang sudah sulit (Beritasatu.com, 16-12-2024).
Pertama, pajak sebagai beban untuk rakyat. Pajak dalam kapitalisme dikenakan secara luas, baik dalam bentuk Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak barang dan jasa, hingga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sayangnya, kebijakan ini tidak memperhatikan kemampuan rakyat kecil, mereka tetap harus membayar pajak atas kebutuhan pokok, seperti bahan bakar, listrik, dan air bersih, yang secara langsung meningkatkan beban hidup mereka.
Sementara itu, para pengusaha besar sering mendapatkan insentif berupa pengurangan pajak atau pembebasan pajak dalam jangka waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa negara dalam kapitalisme cenderung lebih berpihak kepada kepentingan korporasi daripada rakyatnya. Akibatnya, kesenjangan sosial makin melebar dan rakyat kecil terus berada dalam lingkaran kemiskinan.
Kedua, ketimpangan dalam peran negara. Dalam kapitalisme, peran negara terbatas sebagai regulator dan fasilitator. Negara hanya bertindak sebagai pihak yang mengatur dan menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi para pelaku ekonomi, terutama pengusaha besar. Fokus negara adalah pada pertumbuhan ekonomi secara makro tanpa memperhatikan distribusi kekayaan yang adil di tingkat mikro.
Sebagai contoh, dalam banyak kasus, negara memberikan subsidi besar kepada perusahaan-perusahaan multinasional atau mengurangi beban pajak mereka untuk menarik investasi. Di sisi lain, rakyat kecil harus menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok akibat pajak yang dibebankan kepada mereka. Ketidakadilan ini memperlihatkan bahwa kapitalisme tidak memberikan solusi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Solusi dalam Sistem Ekonomi Islam
Berbeda dengan kapitalisme, sistem ekonomi Islam menawarkan solusi yang adil, berkeadilan sosial, dan berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat. Sistem ini didasarkan pada prinsip bahwa negara adalah raain (pengurus) yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Negara sebagai pengurus rakyat. Dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab utama untuk mengurus rakyat dan memastikan kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
“Imam (pemimpin) adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR Bukhari dan Muslim).
Negara tidak hanya berperan sebagai regulator atau fasilitator, tetapi sebagai pelayan rakyat. Kebijakan yang dibuat harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan semata-mata pada pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan segelintir orang.
Lebih lanjut, kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dalam sistem Islam, sumber daya alam seperti tambang, minyak bumi, gas, air, dan energi adalah milik umum. Negara bertanggung jawab untuk mengelola kekayaan alam ini sesuai dengan syariat dan hasilnya harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, misalnya hasil dari pengelolaan minyak bumi.
Ini dapat digunakan untuk menyediakan layanan kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan pembangunan infrastruktur yang merata. Dengan demikian, kebutuhan rakyat terpenuhi tanpa harus membebani rakyat dengan pajak yang berat.
Dalil mengenai kepemilikan umum ini adalah hadis Rasulullah saw.,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud).
Selain itu, negara Islam memiliki berbagai sumber pemasukan yang halal dan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rakyat, seperti zakat yang merupakan instrumen wajib bagi umat Islam dan menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara. Zakat didistribusikan langsung kepada mereka yang membutuhkan, seperti fakir miskin, yatim piatu, dan orang-orang yang berhak menerimanya.
Kemudian fa’i dan ghanimah yaitu, harta rampasan perang atau harta yang diperoleh tanpa melalui perang yang digunakan untuk kemaslahatan umat. Selanjutnya kharaj, merupakan pajak atas tanah yang dikuasai oleh negara yang hasilnya digunakan untuk kebutuhan rakyat.
Terakhir jizyah yaitu, pajak khusus bagi nonmuslim yang tinggal di wilayah negara Islam sebagai ganti dari kewajiban militer mereka. Dengan adanya berbagai sumber pemasukan ini, negara dapat menjalankan fungsinya tanpa harus mengandalkan pajak sebagai sumber utama pendapatan.
Dalam Islam, pajak hanya diberlakukan sebagai langkah terakhir ketika kas kosong dan negara memiliki kewajiban mendesak untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Pajak ini hanya dikenakan kepada mereka yang mampu secara ekonomi, yaitu orang-orang kaya sehingga tidak memberatkan rakyat kecil.
Hal ini sesuai dengan kaidah syariat yang menyatakan, “Bahaya harus dihilangkan.” Dengan demikian, tampak jelas bahwa Islam menetapkan aturan yang sangat rinci mengenai kapan pajak boleh diberlakukan, siapa yang harus membayarnya, dan bagaimana cara pemungutannya.
Khatimah
Pajak dalam sistem kapitalisme sering kali menjadi alat yang menambah beban rakyat kecil demi kepentingan pembangunan yang lebih menguntungkan kelompok elite. Sistem ini menciptakan kesenjangan sosial yang makin dalam karena negara cenderung berpihak kepada pengusaha besar daripada rakyatnya sendiri.
Sebaliknya, sistem ekonomi Islam menawarkan solusi yang jauh lebih adil dan berorientasi pada kesejahteraan. Dengan pengelolaan sumber daya alam yang menjadi milik umum, penerapan zakat sebagai instrumen utama dan pajak sebagai alternatif terakhir, negara dapat memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi tanpa memberatkan mereka.
Sistem ekonomi Islam tidak hanya memberikan keadilan ekonomi, tetapi juga membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, negara dapat benar-benar menjadi pelindung dan pengurus yang amanah bagi rakyatnya. [CM/NA]