Konflik Agraria, Satu dari Jutaan Noda Hitam Kapitalisme

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Nuri Safa

Dalam Islam, negara melarang tindakan sewenang-wenang, seperti merampas hak milik atau mengambil tanah milik orang lain secara paksa. Selain itu, negara juga akan memberikan tanah kepada rakyat yang mampu mengelola dan menghidupkan tanah tersebut.

 

CemerlangMedia.Com — Sebagai salah satu negara agraria terbesar di dunia, Indonesia tidak pernah terbebas dari konflik yang mengekor di belakangnya. Pada 2023 saja, tercatat 241 letusan konflik agraria, meningkat 14% dibanding tahun sebelumnya. Konflik ini melibatkan lahan seluas 638.188 hektare, memengaruhi 135.608 kepala keluarga.

Sektor perkebunan, terutama kelapa sawit menjadi penyebab utama konflik, 44,8% kasus melibatkan perusahaan agribisnis. Selain itu, terdapat 2.939 insiden konflik agraria selama era Presiden Jokowi (2015-2023), memengaruhi 1,7 juta rumah tangga petani (tempo.co, 15-11-2024).

Di Kabupaten Kayong Utara, konflik agraria sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat di sana. Kasus terbaru adalah alih fungsi Lahan Program Pertanian Berkelanjutan (LP2B) menjadi kawasan perkebunan sawit. Usut punya usut, pemilik perkebunan adalah petinggi di salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kayong Utara, padahal sebelumnya lahan tersebut diperuntukkan dalam mendongkrak swasembada pangan (beritainvestigasi.com, 12-11-2024).

Faktor Penyebab

Penyebab terjadinya konflik agraria di Indonesia sangat kompleks dan multi-aspek.
Pertama, penguasaan dan perebutan sumber daya alam. Konflik agraria sering kali timbul karena korporasi mengakuisisi lahan untuk kepentingan perkebunan atau proyek-proyek lainnya tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat atau petani yang tinggal di wilayah tersebut.

Kedua, ketidaksetaraan akses dan pemanfaatan sumber daya alam. Ketika terdapat ketimpangan dalam distribusi tanah, air, atau sumber daya lainnya, maka bisa memicu konflik antara kelompok masyarakat yang bersaing untuk mendapatkan akses dan mengendalikan sumber daya tersebut.

Ketiga, kebijakan pembangunan dan investasi yang tidak transparan. Proyek-proyek pembangunan, seperti infrastruktur atau investasi dalam sektor perkebunan sering dilakukan tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat lokal atau tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.

Keempat, pelanggaran hak asasi manusia. Konflik agraria sering melibatkan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok masyarakat adat.

Kelima, dualisme kewenangan. Ketidakjelasan dalam regulasi pertanahan antara pemerintah pusat dan daerah serta kebijakan yang tumpang tindih menambah daftar panjang penyebab konflik agraria. Terakhir, keterlibatan mafia tanah. Masalah keterlibatan mafia tanah juga turut memperburuk situasi konflik agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meminta pemerintah lebih serius memberantas mafia tanah dan konflik agraria di Indonesia.

Sebuah Keniscayaan

Peningkatan jumlah konflik agraria menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu memberikan solusi yang memadai. Lebih disayangkan adalah bahwa konflik ini sering kali terjadi dengan perusahaan milik negara yang seharusnya berfungsi sebagai badan usaha pemerintah. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai kemampuan pemerintah dalam menjalankan tanggung jawabnya terhadap rakyat.

Masyarakat selalu menjadi pihak yang dirugikan dalam konflik ini. Mereka sering kali kalah ketika berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar, terutama jika perusahaan tersebut memiliki dukungan dari pihak-pihak tertentu. Selain itu, masalah konflik agraria juga mencakup berbagai aspek, termasuk sosial, politik, hukum, dan keamanan.

Akibat Demokrasi

Pembuatan kebijakan dalam sistem demokrasi sering kali dipengaruhi oleh kepentingan pemilik modal. Pemerintah dalam upaya menarik investasi, cenderung memberikan kemudahan hukum dan insentif yang menguntungkan bagi investor, seperti yang terlihat dalam kebijakan “karpet merah” untuk investasi. Hal ini menunjukkan dominasi pemodal atas penguasa. Kebijakan yang seharusnya berorientasi pada kesejahteraan rakyat, malah berpotensi mengabaikan kepentingan publik demi keuntungan bisnis. Ketidakadilan ini menciptakan ketimpangan sosial dan merusak prinsip reforma agraria.

Inilah beberapa kelemahan dalam sistem demokrasi. Meskipun secara teori demokrasi seharusnya merupakan pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, kenyataannya sistem ini sering kali dikuasai oleh penguasa dan pemilik modal. Dalam praktiknya, kedaulatan justru berada di tangan segelintir orang, yaitu para penguasa yang sering kali dipengaruhi oleh kepentingan pemilik modal.

Pada akhirnya, setiap kebijakan yang diambil oleh penguasa lebih mengutamakan kepentingan sekelompok kecil pemilik modal. Sementara itu, suara ratusan juta rakyat yang merupakan mayoritas sering kali diabaikan dan mereka malah menjadi korban dari berbagai kebijakan tersebut.

Islam Solusi Tuntas Konflik Agraria

Islam dilahirkan sebagai suatu sistem kehidupan yang lengkap dan sempurna. Struktur pemerintahannya berbentuk Khilafah dengan pimpinan yang disebut khalifah. Seorang khalifah bertugas untuk menerapkan aturan yang berdasarkan petunjuk syariat Islam.

Dalam Islam, terdapat aturan yang jelas mengenai kepemilikan sumber daya alam (SDA). SDA seperti padang gembala, air, dan energi (minyak bumi dan gas) tidak boleh dikuasai oleh individu. Oleh karena itu, khalifah tidak akan mengizinkan pengelolaan SDA untuk kepentingan pribadi, semua harta publik akan dikelola oleh negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun jika SDA tersebut terbatas, individu diperbolehkan untuk mengelolanya.

Terkait dengan kepemilikan individu, negara melarang tindakan sewenang-wenang, seperti merampas hak milik atau mengambil tanah milik orang lain secara paksa. Selain itu, negara juga akan memberikan tanah kepada rakyat yang mampu mengelola dan menghidupkan tanah tersebut.

Semua ini akan dilaksanakan dalam kerangka sistem Islam. Khalifah memiliki visi riayah yang bertujuan untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dengan adanya pembagian dan pengaturan kepemilikan yang jelas dalam Islam, konflik agraria dapat dihindari. Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *