Oleh: Nuri Safa
Praktisi Pendidikan dan Pengamat Lingkungan
Pembangunan dalam Islam bersifat memudahkan kehidupan manusia. Oleh karenanya, tidak serta merta semua halal dilakukan. Penguasa harus memastikan lingkungan tetap terjaga, meskipun kebutuhan masyarakat menuntut untuk segera terpenuhi.
CemerlangMedia.Com — Jelang akhir tahun, masyarakat Indonesia di beberapa wilayah harus berjibaku dengan musibah tahunan yang kerap melanda, apalagi kalau bukan banjir. Hujan yang terjadi sejak beberapa hari belakangan membuat beberapa daerah mulai diterjang banjir. Tidak tanggung-tanggung, bahkan ketinggian banjir mencapai satu meter sehingga aktivitas warga seketika terganggu.
Di Provinsi Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Ketapang, wilayah yang terdampak banjir berada di Kecamatan Marau, tepatnya di Desa Suka Karya dan Desa Runjai Jaya. Jumlah warga yang terdampak banjir juga tidak main-main, yaitu lebih dari seribu KK atau sekitar hampir empat ribu warga (kalbar.antaranews.com, 14-10-2024).
Fenomena Periodik
Fenomena banjir di Kecamatan Marau dan beberapa wilayah lain di Provinsi Kalimantan Barat ini, termasuk dalam siklus periodik yang terus berulang setiap musim hujan menerpa. Terlebih jika hujan turun dengan intensitas yang cukup tinggi dan wilayah tersebut berada di Daerah Aliran Sungai (DAS). Hujan dengan intensitas tinggi membuat air sungai meluap dan membuat DAS Marau terendam banjir.
Sebagai fenomena periodik yang terus berulang, sudah seharusnya pemimpin negeri ini tanggap. Namun, upaya yang dilakukan pemerintah terbatas pada tindakan kuratif saja, seperti evakuasi korban banjir dan penanganan infrastruktur pasca bencana.
Tindakan preventif, sejauh ini belum dilakukan oleh penguasa. Jika pun ada, langkah preventif yang diambil terbatas pada peringatan agar masyarakat tetap waspada dan bersiap untuk mengungsi jika kondisi dirasa makin memburuk, padahal upaya pencegahan sebelum terjadinya bencana adalah sesuatu yang wajib dilakukan agar bencana serupa tidak terulang lagi di kemudian hari.
Campur Tangan Manusia
Walaupun ada faktor cuaca (hujan yang turun terus-menerus), tetapi campur tangan manusia juga menyumbang peran yang sangat besar dalam berulangnya bencana banjir ini, contohnya deforestasi hutan atau alih fungsi lahan yang dilakukan oleh korporasi secara ugal-ugalan. Dalam deforestasi hutan, misalnya hutan Kalimantan, telah mengalami deforestasi masif. Pada 1990, Kalimantan memiliki hutan seluas 40,8 juta hektare. Jumlah ini berkurang drastis menjadi 25,5 juta hektare di 2010. Kondisi ini tentu makin parah di 2024 (profauna.net).
Di Kabupaten Ketapang, penyumbang terbesar dari deforestasi hutan yang masif berasal dari PT Mayawana Persada demi keperluan Hutan Tanaman Industri. Seluas 33.000 hektare hutan telah dibabat habis oleh perusahaan ini (ekuatorial.com, 04-06/2024).
Selain deforestasi masif, alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, infrastruktur, dan perindustrian juga turut ambil bagian. Bagaimana tidak, lahan yang dialihfungsikan saja tercatat seluas 90 ribu hingga 100 ribu hektare per tahun.
Jika penguasa mampu menghentikan laju deforestasi hutan, bencana banjir bisa sedikit diredam, minimal berkurang dampaknya terhadap masyarakat. Sayangnya, paradigma berpikir para pemimpin negeri ini adalah kapitalistik, membuat cuan menjadi prioritas utama. Apa pun halal dilakukan selama mendatangkan keuntungan yang tinggi. Tidak peduli apakah hal tersebut akan mendatangkan kerusakan di kemudian hari atau tidak. Korbannya, lagi-lagi adalah masyarakat.
Selain itu, penguasa yang mencukupkan diri sebatas regulator semata menambah panjang polemik deforestasi dan alih fungsi lahan ini. Perizinan demi perizinan yang mudah didapat oleh korporasi, serta tidak adanya tindakan tegas dari rezim terkait deforestasi masif di wilayahnya sendiri, secara nyata mempertontonkan keberpihakan penguasa kepada kaum korporasi. Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme, pemimpin yang menghamba kepada oligarki.
Pembangunan dalam Islam
Hal semacam ini tidak akan ditemui dalam negara Islam. Materi tidak pernah menjadi tujuan utama dalam spirit pembangunan Islam. Standar dalam membuat kebijakan terkait pembangunan adalah syariat Islam dan kemaslahatan masyarakat. Namun, tentu tidak dilakukan secara sembarangan. Jika dinilai mampu merusak alam dan merugikan masyarakat, meskipun pembangunannya akan menguntungkan, negara tidak akan melanjutkan pembangunan tersebut.
Pembangunan dalam Islam bersifat memudahkan kehidupan manusia. Oleh karenanya, tidak serta merta semua halal dilakukan. Penguasa harus memastikan lingkungan tetap terjaga, meskipun kebutuhan masyarakat menuntut untuk segera terpenuhi. Tata kelola suatu wilayah harus dipikirkan secara saksama agar tidak tumpang tindih. Ada wilayah-wilayah yang boleh dijadikan pemukiman, ada yang tidak boleh.
Dalam sistem pemerintahan Islam, ada konsep “hima,” atau wilayah yang dilindungi. Beberapa area/wilayah tidak boleh dieksploitasi, apa pun alasannya, demi menjaga kelestarian lingkungan. Dalam hal ini, hutan lindung merupakan contoh dari penerapan prinsip hima. Oleh karena itu, pembangunan dalam Islam tidak hanya bergerak cepat, tetapi juga peduli dengan keberlanjutan lingkungan.
Di sisi lain, tidak bisa dinafikan memang, ada beberapa kondisi alam yang tidak dapat diintervensi oleh manusia. Jika perubahan tersebut terjadi secara alami, ini tidak akan berdampak pada kestabilan lingkungan. Oleh karena itu, manusia sebaiknya tidak melakukan aktivitas yang dapat mengganggu keseimbangan tersebut.
Sebaliknya, bencana muncul ketika aktivitas manusia telah mengganggu keseimbangan alam. Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS Ar-Rum: 41).
Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]