Oleh. Nur Itsnaini Maulidia
(Aktivis Dakwah)
CemerlangMedia.Com — LPG 3 kg bersubsidi atau gas melon kembali langka di sejumlah daerah di antaranya Medan, Demak, Bali, Situbondo, Banyuwangi, Malang, Tulungagung, Jombang, Bengkulu, dan beberapa daerah lainnya. Menurut pemerintah, kelangkaan LPG 3 kg terjadi karena konsumsi masyarakat yang makin meningkat imbas dari libur panjang di bulan Juli.
Direktur utama Pertamina Nike Widyawati menegaskan bahwa yang berhak untuk menikmati LPG 3 kg adalah masyarakat yang kurang mampu sehingga bagian di luar itu harus membeli LPG non subsidi. Ia mengatakan 96% rumah tangga di Indonesia saat ini menggunakan gas tabung melon, padahal pemerintah hanya menyediakan kuota elpiji 3 kg untuk 60 juta rumah tangga atau setara dengan 68% rumah tangga. Namun, di tengah kelangkaan LPG 3 kg di pasaran pemerintah malah meluncurkan produk LPG 3 kg non subsidi bermerek bright. Kebijakan tersebut secara tidak langsung akan memaksa masyarakat untuk membeli LPG 3 kg non subsidi. Kondisi inilah yang menjadikan anggota Komisi 7 DPR RI Mulyanto menyebut pemerintah super tega (tirto.id, 25-07-2023).
Tanggung Jawab Pemerintah
Ketersediaan elpiji sejatinya menjadi tanggung jawab pemerintah. Kelangkaan ini adalah tanda gagalnya pemerintah dalam menyejahterahkan rakyat, hal ini karena kebutuhan pokok rakyat tidak berhasil terpenuhi. Kisruh gas melon di negeri ini sejatinya bukan karena tidak tepat sasaran atau konsumsi yang meningkat, tetapi pengelolaan migas yang masih berada di bawah kendali sistem kapitalisme neoliberal. Padahal berdasarkan data yang dirilis oleh kementerian ESDM, Indonesia memiliki cadangan gas alam atau gas bumi sebesar 41,62 triliun kaki kubik persegi pada 2021 (databoks.katadata.co.id, 16-12-2022).
Meski memiliki kekayaan migas, tetapi rakyat tidak bisa menikmati pemanfaatannya dengan murah bahkan gratis karena negara justru menyerahkannya kepada pihak swasta baik dari pengelolaan hingga penjualannya. Tentu saja dengan konsep pengelolaan yang berorientasi bisnis sebagaimana paradigma sistem kapitalisme yang melegalkan liberalisasi migas, ditambah lagi paradigma kepemimpinan yang diadopsi telah menghilangkan fungsi negara sebagai pengurus umat atau raa’in.
Dalam naungan sistem kapitalisme, penguasa hanya bertindak sebagai pembuat regulasi untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu atau pemilik modal, alhasil kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pun tidak memihak pada kepentingan rakyat. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya LPG non subsidi dalam waktu yang bersamaan dengan kelangkaan LPG subsidi, jelas ini akan membuka pasar bagi para pengusaha. Beginilah fakta pengelolaan migas di bawah sistem kapitalisme neoliberal. Perubahan kebijakan apa pun pada ujungnya tidak akan memudahkan rakyat memperoleh haknya terhadap sumber daya alam yang sejatinya milik mereka.
Islam Menjamin Kesejahteraan Rakyat
Sistem kapitalisme berbeda dengan sistem Islam. Islam mewajibkan negara untuk menyediakan kebutuhan pokok rakyat tanpa ada bayang-bayang langkanya barang dan mahalnya harga bahan-bahan pokok. Sehari-hari negara juga harus menjamin bahwa setiap individu rakyat dapat terurus dengan baik, negara harus memudahkan mereka agar dapat mengakses berbagai kebutuhan layanan publik, fasilitas umum dan sumber daya alam yang menguasai hajat publik, termasuk minyak dan gas. Sistem ekonomi Islam akan menjamin ketersediaan migas yang merupakan sumber energi bagi semua rakyat dengan harga murah bahkan bisa jadi gratis, Islam mengharuskan pengelolaan sumber daya alam oleh negara bukan swasta apalagi asing.
Dalam Islam, minyak dan gas merupakan jenis harta milik umum (rakyat), yakni pendapatannya menjadi milik seluruh kaum muslimin dan mereka berserikat di dalamnya sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam,
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّار (رواه أبو داود)
“Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud)
Dalam riwayat yang lain dinyatakan:
اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمنَهُ حَرَامٌ (رواه ابن ماجه)
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api; dan harganya adalah haram.” (HR Ibnu Majah)
Hadis tersebut dengan jelas menyatakan bahwa kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api. Ketiga hal tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu maupun kelompok, tetapi dimiliki oleh masyarakat secara umum. Oleh karena itu, setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum tersebut sekaligus pendapatannya, tidak ada perbedaan apakah individu rakyat tersebut laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, menengah atau konglomerat, dan anak-anak atau dewasa.
Berkaitan dengan pengelolaannya, karena minyak dan gas tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan harus melalui tahapan proses pengeboran, penyulingan, dan sebagainya, serta memerlukan usaha keras dan biaya untuk mengeluarkannya, maka negaralah yang mengambil alih dalam melakukan pengelolaan tersebut mewakili kaum muslim, kemudian menyimpan pendapatannya di baitulmal.
Dalam Islam, kepala negara adalah pihak yang memiliki wewenang dalam hal pendistribusian hasil dan pendapatan harta milik umum sesuai dengan ijtihad, yang mana hal tersebut dijamin oleh hukum-hukum syariat dalam rangka mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin. Untuk pembagian hasil barang tambang dan pendapatan milik umum dimungkinkan pembagiannya dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
Pertama, untuk membiayai seluruh proses operasional produksi minyak dan gas, mulai dari pengadaan sarana dan infrastruktur, sejak riset, eksploitasi, pengolahan, hingga pendistribusian ke SPBU-SPBU, termasuk juga di dalamnya membayar seluruh kegiatan administrasi dan tenaga, yakni karyawan, tenaga ahli, ataupun direksi yang terlibat di dalamnya.
Kedua, dibagikan kepada individu-individu rakyat sebagai pemilik harta milik umum beserta pendapatannya.
Khatimah
Di bawah naungan sistem Islam pendistribusian ini tidak akan terikat oleh aturan tertentu. Negara berhak membagikan minyak bumi dan gas kepada siapa saja yang memerlukannya untuk digunakan secara khusus di rumah-rumah mereka dan pasar-pasar mereka secara cuma-cuma atau gratis. Boleh saja bagi negara menjual harta milik umum tersebut kepada rakyat, tetapi dengan harga yang sangat terjangkau (semurah-murahnya) atau dengan harga pasar. Negara juga boleh membagikan uang hasil keuntungan harta milik umum kepada mereka. Semua tindakan tadi dilakukan oleh negara dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat. Pengelolaan migas dalam naungan sistem Islam sungguh akan menyejahterakan rakyat dan mengembalikan hak-hak mereka. Wallaahu a’lam. [CM/NA]