Oleh: Ummu Rifazi, M.Si.
Sistem pendidikan yang diselenggarakan tegak di atas pilar akidah yang kukuh, yakni keimanan kepada Allah Azza wa Jalla. Dari sistem pendidikan seperti ini, lahirlah sebaik-baik hamba Allah yang bertakwa, menjaga dan mengatur bumi Allah berdasarkan syariat-Nya.
CemerlangMedia.Com — “Ayahmu telah mengutusku untuk mendidikmu dan memukulmu apabila engkau tidak menuruti perintahku,” tegas sang guru pada muridnya. Mendengar ucapan tegas sang guru, murid berwatak keras dan gemar berperilaku tidak biasa itu tertawa. Dianggapnya perkataan sang guru hanyalah gertakan sambil lalu.
Namun, ternyata selepas tertawa, sang murid, Mehmed II, mendapatkan pukulan yang amat keras di tengah majelis dari sang guru, Syekh Ahmad Al-Kurani. Efek pukulan itu membuat Mehmed II jera dan segan kepada Syekh Al-Kurani. Selepas kejadian itu, Mehmed II kecil serius menuntut ilmu, mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an dan menghafalkannya di usia 8 tahun, serta mempelajari adab belajar dari Syekh Ahmad Al-Kurani.
Sayang seribu sayang, ending manis proses pendidikan kisah masa kecil Mehmed II di atas nyaris mustahil terjadi hari ini. Marak terjadi saat ini, ketegasan guru saat mendidik para muridnya berakhir dengan kemalangan yang dialami sang guru.
Ada guru Sambudi yang dipidana enam bulan penjara lantaran mencubit muridnya, anak seorang anggota TNI, ketika tidak melaksanakan salat berjemaah di sekolah. Berikutnya guru Zaharman, mata kanannya mengalami kebutaan akibat diketapel orang tua murid selepas menegur dan menghukum sang murid yang kepergok merokok di kantin sekolah, dan yang terbaru adalah kasus guru honorer Supriyani yang dipidanakan dan diperas uang damai Rp50 juta oleh orang tua sang murid (viva.co.id, 01-11-2024).
Sistem Zalim Menghilangkan Takzim
Kezaliman terhadap guru bukan lagi sekadar kasus, tetapi sudah menjadi sesuatu hal yang sistemik. Sistem pendidikan saat ini sudah gagal menjaga kehormatan dan kemuliaan guru. Sistem pendidikan sekuler kapitalisme dan liberalisme ini telah mengikis habis rasa hormat atau takzim terhadap guru. Bagi mereka, guru tidak ubahnya sosok pegawai yang digaji orang tuanya untuk mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada mereka.
Para orang tua beranggapan, sudah memberikan imbalan jasa terhadap para guru dan merasa mempunyai hak tidak terbatas untuk melakukan apa pun yang mereka anggap benar. Bahkan, ketika sang guru menegur atau menghukum anak mereka, para orang tua ini seolah punya hak untuk menganiaya atau memidanakan sang guru.
Sistem kehidupan yang menuhankan materi ini telah membentuk banyak orang tua menjadi budak materi. Para orang tua ini telah dibutakan oleh materi, seolah lupa bahwa keberhasilan mereka menjadi orang yang mempunyai jabatan, seperti TNI, kepolisian, dan jabatan lainnya adalah hasil jerih payah para guru mereka di masa kecil hingga dewasa.
Minimnya pembelajaran agama dalam sistem zalim hari ini telah membuat generasi tidak mengenal istilah takzim terhadap guru. Mereka tidak paham bahwa takzim terhadap guru merupakan bagian dari hukum syariat yang harus diamalkan di dunia dan kelak dipertanggungjawabkan di akhirat.
Akibatnya, nasihat atau hukuman yang datang dari sosok mulia para guru tidak dianggap sebagai bentuk kasih sayang yang harus didengarkan dan menjadikannya jera. Namun, kedua hal itu dianggap sebagai gangguan yang patut dilaporkan kepada para orang tuanya agar dapat dihilangkan.
Sistem Islam Menjaga Marwah, Mendatangkan Keberkahan
Sistem kehidupan yang diatur oleh syariat Islam secara kafah mampu mewujudkan peradaban yang agung dan memimpin 2/3 dunia selama 1300 tahun lamanya. Belasan abad, umat Islam menjadi prototipe umat terbaik, pelopor kemajuan hakiki yang menebar rahmat ke seluruh alam. Keberkahan hidup tidak hanya dirasakan oleh umat muslim, tetapi juga oleh nonmuslim.
Sistem pendidikan yang diselenggarakan tegak di atas pilar akidah yang kukuh, yakni keimanan kepada Allah Azza wa Jalla. Dari sistem pendidikan seperti ini, lahirlah sebaik-baik hamba Allah yang bertakwa, menjaga dan mengatur bumi Allah berdasarkan syariat-Nya, di antara hamba-Nya yang terbaik adalah Sultan Murad II dari Kesultanan Utsmaniyah.
Sultan Murad II sangat memperhatikan masalah pendidikan. Di masa pemerintahannya, banyak bermunculan madrasah di Edirne, Bursa, Amasya Manisa, dan kota-kota Utsmani lainnya. Sang sultan meyakini bahwa keimanan dan ketakwaan adalah modal dasar peradaban yang kuat. Dari modal dasar keimanan dan ketakwaan inilah kebudayaan Utsmani dibangun. Setiap anak laki-lakinya diberikan pendidikan terbaik oleh ulama-ulama terbaik di zamannya.
Sultan Murad II inilah ayah sang anak, Mehmed II, yang sepenggal kisahnya disampaikan di bagian awal tulisan ini. Sang ayah sangat memahami watak keras dan kegemaran Mehmed II muda untuk melakukan sesuatu hal yang tidak lazim dilakukan anak seusianya. Kedua potensi ini diyakini sang sultan sebagai modal utama sebagai pemimpin yang harus diwadahi dengan pendidikan terbaik.
Meski berkedudukan sebagai pemimpin negara, Sultan Murad II sangat takzim dan menjaga marwah para guru putra-putranya. Tidak sedikitpun sang sultan menyalahgunakan jabatan dan kekuasaannya untuk bertindak semena-mena dalam penyelenggaraan pendidikan anak-anaknya. Sang sultan yang luhur ini menyerahkan sepenuhnya proses pendidikan anak-anaknya kepada para syekh pengajar.
Sang guru, yaitu Syekh Ahmad Al-Kurani pun leluasa mendidik Mehmed II kecil sebagaimana mestinya suatu pendidikan diselenggarakan. Syekh Al-Kurani memperlakukan Mehmed II kecil sama dengan para murid lainnya. Syekh tidak pernah mengistimewakan dan mencium tangan Mehmed II sebagaimana ulama lain. Bahkan, Syekh Al-Kurani tidak segan menegur dan menghukum manakala Mehmed II kecil melanggar syariat Allah seperti yang diceritakan di awal tulisan ini.
Dengan proses pendidikan terbaik ini, Mehmed II kecil terbentuk menjadi sebaik-baik pemimpin yang saleh. Mehmed II yang di kemudian hari dikenal sebagai Sultan Muhammad Al-Fatih, tidak pernah meninggalkan salat fardu, salat sunah rawatib dan salat tahajud sejak balig. Dalam keadaan sakit pun, ia selalu bangun di sepertiga malam terakhir untuk salat tahajud.
Mehmed II kecil terbentuk sebagaimana yang didawamkan dan didoakan oleh gurunya yang mulia Syekh Aaq Syamsuddin dan menjadi sebaik-baik pemimpin ahlu bisyarah sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam, “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR Ahmad). Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]