Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
“Islam mengatur dengan saksama hak dan kewajiban pasutri. Suami dan istri terikat dengan hukum syarak. Aturan ini wajib dilaksanakan karena kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawabannya.”
CemerlangMedia.Com — Belakangan ini netizen meramaikan istilah “marriage is scary”. Istilah ini viral setelah mencuatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) salah seorang selebgram. Disusul kemudian isu perselingkuhan selebgram lainnya. Sebelumnya, perceraian beberapa selebritis di negeri ini dengan segala dramanya cukup menyita perhatian pengguna media sosial.
Marriage is scary merupakan istilah bahasa inggris yang berarti pernikahan itu menakutkan. Ya, seseorang menjadi takut untuk berkomitmen dalam sebuah mahligai rumah tangga di tengah kasus KDRT, perselingkuhan, dan perceraian yang makin meningkat. Ketakutan ini memunculkan pemikiran tentang risiko buruk pernikahan.
Lebih jauh, Komnas perempuan mencatat, sebanyak 515.466 kasus KDRT, 94% di antaranya kasus kekerasan terhadap istri yang notabene perempuan. Olivia Chadidjah Salampessy, Wakil Ketua Komnas Perempuan mengatakan, walaupun angka KDRT ini tercatat tinggi, tetapi masih sulit untuk diungkap seluruhnya, sebab stigma sosial dan budaya patriarki di masyarakat (Kabarika.id, 28-08-2024).
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad menyampaikan bahwa pelaku kekerasan tertinggi adalah suami yang notabene orang terdekat korban. Endang Sari, Psikolog dari Dinas BP2KB menyebutkan, setidaknya ada dua faktor penyebab KDRT terjadi.
Pertama, faktor internal yang meliputi suami tempramen, umur pasangan yang belum matang, tingkat kelelahan, dan lainnya. Kedua, faktor eksternal, misalnya masalah ekonomi yang menjadi penyebab utama meroketnya kasus KDRT (Cluetoday.com, 19-08-2024).
Kapitalisme Biang Masalah
Menilik faktor-faktor penyebab KDRT yang ternyata saling berkaitan satu dengan yang lainnya, tentu menjadi jelas bahwa KDRT adalah masalah sistemik. Hidup yang jauh dari sejahtera menjadikan hak dan kewajiban suami istri terabaikan. Sementara ilmu yang dimiliki tentang pernikahan nol. Alhasil, rumah tangga berjalan tidak sebagaimana mestinya.
Hilangnya fungsi qawwam pada sosok suami akibat tuntutan kebutuhan hidup dan harus bekerja ekstra keras di luar rumah menyebabkan waktu untuk bercengkerama dengan anak dan istri berkurang dan tidak berkualitas. Begitupun fungsi istri, dengan tugas utama sebagai ummun warabbatul bayit sering kali harus turut terjun memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Hal ini merupakan konsekuensi hidup di alam kapitalisme sekularisme liberalisme. Impitan ekonomi, gaya hidup, kebebasan bertindak, tanpa aturan agama menciptakan manusia-manusia bersumbu pendek. Alih-alih menciptakan surga dalam rumah, yang ada kondisi rumah tangga bak neraka dunia.
Namun begitu, menghindari pernikahan juga bukan solusi. Sebab, depopulasi mengancam di depan mata. Di samping itu, juga menyalahi fitrah manusia, sebab dalam diri manusia telah terdapat gharizah nau, yakni naluri untuk melestarikan keturunan.
Jika naluri ini tidak disalurkan, akan rentan menimbulkan masalah dalam diri individu, masyarakat, dan negara. Terlebih pada arus liberal dan sekuler saat ini, seks bebas akan makin marak, kasus buang bayi akan makin tidak terkendali. Hidup sebatang kara di masa tua dan tidak ada yang peduli karena negara pun lepas tanggung jawab.
Oleh karena itu, tidak hanya pernikahan yang menakutkan dalam sistem hidup kapitalisme, tetapi juga memilih hidup sendiri/tidak berkomitmen dalam sebuah ikatan pernikahan merupakan tindakan yang sama menakutkan. Dengan demikian, yang menakutkan adalah ketika hidup jauh dari agama (sekularisme liberalisme). Hal ini merupakan cabang dari kapitalisme yang sedang menggerogoti hidup manusia saat ini.
Kembali Pada Islam
Sejatinya, manusia diciptakan berpasang-pasangan. Sebab dengan ini, manusia akan senantiasa merasa tenteram, sebagaimana firman Allah Swt.dalam surat Ar Rum ayat 21
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rum: 21).
Kecenderungan atau menyukai seseorang merupakan hal alamiah yang diciptakan Allah Swt.. Oleh karena itu, Allah pun mengatur agar naluri itu berjalan sebagaimana mestinya, yakni melalui ikatan pernikahan. Jadi, pernikahan bukanlah perkara main-main dan dianggap remeh. Pernikahan merupakan ibadah dan menikah merupakan penyempurnaan separuh agama.
Untuk itu, Islam mengatur dengan saksama hak dan kewajiban pasutri. Suami dan istri terikat dengan hukum syarak. Aturan ini wajib dilaksanakan karena kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawabannya, misalnya, Islam mengatur cara menggauli istri. Begitupun ketika menegur saat istri nusyuz/tidak taat, seperti tidak amanah, pergi tanpa pamit kepada suami dan pelanggaran syariat lainnya.
Islam mengajarkan, ada tahapan yang harus dilakukan secara tertib, bagaimana suami mendidik istrinya. Hal ini seperti yang difirmankan Allah dalam surah An-Nisa ayat 34,
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (TQS An-Nisa [4]: 34).
Namun, walaupun Islam memperbolehkan suami memukul istrinya, Islam menetapkan pukulan tersebut tidak keras, tidak berbekas, tidak sampai menimbulkan luka, dan mematahkan tulang. Pukulan tersebut bukan pukulan yang menyakitkan dan Islam pun mengharamkan memukul atau menampar wajah istri. Hal ini disampaikan Rasulullah saw. dalam suatu hadis,
“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya dan jangan pula menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr (mendiamkan istri) selain di rumah.” (HR Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih).
Demikianlah pengaturan Islam terkait interaksi suami dan istri. Di sisi lain, penerapan sistem ekonomi Islam tidak hanya membebankan kesejahteraan kepada individu/kepala keluarga saja, melainkan kepada negara untuk turut memberikan jaminan kesejahteraan bagi warganya. Dengan begitu, tekanan hidup individu akan berkurang dan kesehatan mentalnya akan terjaga.
Dalam hal pernikahan ini, memang tidak mudah untuk menjalankannya. Berbagai permasalahan tentunya selalu ada. Untuk itu, setiap permasalahan harus dikembalikan kepada aturan Allah. Dengan begitu, ketenteraman dan kenyamanan akan selalu menyertai. Insyaallah. Wallahu a’lam. [CM/NA]