Oleh: Maman El Hakiem
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Suami memiliki kewajiban menafkahi keluarga. Untuk mengurangi tekanan ekonomi yang memaksa istri bekerja di luar negeri, pemerintah dan masyarakat dapat memberdayakan kaum laki-laki melalui berbagai upaya, misalnya Islam mendorong umatnya untuk mengoptimalkan sumber daya lokal.
CemerlangMedia.Com — Kekayaan alam Indonesia yang melimpah nyatanya tidak membuat tercukupinya segala kebutuhan hidup rakyat. Bahkan, sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak membuat banyak laki-laki dewasa atau para suami yang menganggur atau kalaupun ada pekerjaan, sifatnya serabutan dan tidak tetap.
Keadaan seperti ini berdampak pada meningkatnya jumlah pencari kerja yang mengadu nasib di negara lain. Sayangnya, di antara mereka yang menjadi pekerja migran adalah perempuan dan ilegal karena tidak mengikuti prosedur yang resmi dari pemerintah.
Berdasarkan data terbaru yang disampaikan Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Abdul Kadir Karding, didapatkan bahwa jumlah pekerja migran Indonesia yang ilegal mencapai lebih dari lima juta orang. Lebih miris lagi, para pekerja migran yang ilegal tersebut didominasi oleh perempuan (CNN Indonesia, 16-11-2024).
Pilar Perekonomian
Selama ini, para pekerja migran Indonesia (PMI) sering disebut sebagai salah satu pilar penting bagi perekonomian Indonesia. Mereka tersebar di berbagai negara, seperti Malaysia, Arab Saudi, Singapura, Hong Kong, dan lainnya. Status ilegal ini membawa risiko besar, seperti eksploitasi, upah tidak layak, perlakuan tidak manusiawi, hingga kesulitan mendapatkan perlindungan hukum.
Dengan adanya status ilegal, bahkan didominasi perempuan bukan hanya mencoreng citra bangsa, tetapi juga merugikan pekerja itu sendiri, negara pengirim, dan negara tujuan. Untuk memahami akar masalah ini, penting menggali faktor-faktor penyebab dan solusi yang memungkinkan.
Faktor Penyebabnya
Salah satu faktor banyaknya pekerja migran ilegal adalah proses administrasi legal yang rumit dan membutuhkan biaya tinggi. Calon pekerja migran sering mengeluhkan birokrasi yang berbelit-belit sehingga membuat mereka lebih memilih jalur non-prosedural melalui agen ilegal.
Ditambah lagi dengan kurangnya edukasi dan informasi. Banyak calon pekerja migran yang tidak memahami pentingnya keberangkatan secara legal. Kurangnya informasi tentang jalur resmi dan hak-hak mereka membuat para calon pekerja migran rentan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Terlebih lagi beberapa negara tujuan memiliki kebijakan ketenagakerjaan yang tidak terlalu ketat sehingga membuka celah bagi perusahaan atau agen tenaga kerja untuk merekrut para pekerja ilegal dengan biaya rendah. Tentunya hal ini menjadi celah karena tingginya angka pengangguran dan minimnya kesempatan kerja di Indonesia sehingga memaksa banyak orang mencari penghidupan di luar negeri, bahkan melalui jalur ilegal.
Di sisi lain, kurangnya pengawasan terhadap jalur keberangkatan pekerja migran dan lemahnya penegakan hukum terhadap agen-agen ilegal membuat masalah ini terus berulang. Dampaknya, ketika terjadi masalah seperti kekerasan atau pemutusan hubungan kerja sepihak, pekerja ilegal sering kali tidak memiliki akses ke mekanisme perlindungan formal.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menyederhanakan proses keberangkatan resmi, baik dari segi administrasi maupun biaya. Tidak kalah pentingnya juga, negara harus memberikan edukasi dan pelatihan yang maksimal tentang keahlian dalam bekerja sehingga mereka menjadi pekerja migran yang profesional dan mendapatkan pekerjaan formal, bukan informal.
Fikih Pekerja Perempuan
Sebenarnya, Islam tidak melarang perempuan bekerja selama pekerjaan tersebut sesuai dengan tuntunan syariat, menjaga kehormatan, dan tidak mengabaikan kewajiban utama mereka dalam keluarga. Allah Swt. berfirman,
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS An-Nisa: 32).
Namun, Islam menekankan bahwa tanggung jawab utama menafkahi keluarga adalah pada suami (QS Al-Baqarah: 233), “… Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut….”
Sementara itu, istri berperan sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik generasi mendatang (QS An-Nisa: 34). Dalam konteks ini, keberangkatan seorang istri bekerja di luar negeri harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keluarga dan masyarakat.
“… Maka perempuan-perempuan yang salih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka)….”
Dalam Islam, suami memiliki kewajiban menafkahi keluarga. Untuk mengurangi tekanan ekonomi yang memaksa istri bekerja di luar negeri, pemerintah dan masyarakat dapat memberdayakan kaum laki-laki melalui berbagai upaya, misalnya Islam mendorong umatnya untuk mengoptimalkan sumber daya lokal. Peluang usaha berbasis rumah tangga, seperti kerajinan, kuliner, atau agribisnis, dapat menjadi alternatif agar istri tidak perlu bekerja jauh dari keluarga.
Selain itu, Islam sangat menekankan pentingnya pendidikan. Dengan pendidikan yang baik, laki-laki maupun perempuan dapat memperoleh pekerjaan yang layak di dalam negeri tanpa harus menjadi pekerja migran. Program pendidikan berbasis agama juga dapat membantu membangun keluarga yang harmonis dan saling mendukung. Oleh karena itu, negara harusnya menerapkan aturan syariat Islam secara kafah agar persoalan ketenagakerjaan perempuan mendapatkan solusi yang tepat.
Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]