Oleh: Ummu Rifazi, M.Si.
Sistem pengatur kehidupan terbaik adalah Islam. Seluruh ajarannya rahmatan lil ‘alamin, membawa kemaslahatan bagi muslimin, non muslim, dan seluruh alam semesta ini. Dalam kehidupan yang diatur dengan sistem sahih ini, kebijakan pungutan pajak akan dilakukan secara adil sesuai tuntunan-Nya.
CemerlangMedia.Com — Rakyat Indonesia untuk sementara waktu tampaknya bisa sedikit bernapas karena pemerintah mempertimbangkan untuk menunda pemberlakuan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun depan. Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan mengabarkan bahwa Presiden Prabowo Subianto akan terlebih dahulu memberikan insentif kepada masyarakat agar kondisi ekonominya meningkat (cnbcindonesia.com, 28-11-2024).
Pajak adalah Kezaliman dan Penindasan bagi Rakyat
Terhindarnya rakyat dari beban kenaikan PPN tersebut pada hakikatnya hanyalah untuk sementara waktu saja. Realitasnya, rakyat akan selalu terzalimi dan tertindas dengan berbagai pungutan pajak sebagai konsekuensi kehidupan yang diatur dengan sistem sekuler kapitalisme liberal.
Pajak merupakan kewajiban bagi seluruh rakyat, sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 23A, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Dari pasal tersebut, lahirlah berbagai ketentuan undang-undang di bidang perpajakan. Sektor-sektor kehidupan bernegara yang terkena kewajiban pajak pun makin meluas hingga menyentuh kebutuhan pokok rakyat, seperti sembako dan pendidikan.
Persentase pemasukan negara dari sektor pajak makin meningkat hingga menembus nilai di atas 80 persen pada 2021, melebihi pemasukan dari hasil pengelolaan sumber daya alam (SDA). Sangat jauh berbeda dengan kondisi pada 1990-an. Pada saat itu, porsi pemasukan dari sektor pajak dan SDA sebagai penyokong utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih sama (media-umat.info, 31-07-2022).
Realita ini makin membuktikan bahwa negara Indonesia sebagai negara yang diatur berdasarkan sistem kapitalisme sekuler meniscayakan pajak sebagai sumber utama pemasukan APBN. Berkurangnya pemasukan dari SDA adalah akibat mengalirnya keuntungan dari pengelolaan sektor ini ke kantong swasta.
Mekanisme tersebut merupakan keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme yang memberi kebebasan kepada swasta untuk mengelola SDA. Sementara negara menyibukkan dirinya memungut berbagai jenis pajak dari rakyatnya. Swasta atau para pemegang modal makin kaya. Sebaliknya, rakyat makin menderita karena terzalimi dan tertindas dengan berbagai pungutan pajak.
Keadilan dan Kemaslahatan dalam Pungutan Pajak
Sebagai orang beriman, sudah seharusnya kita meyakini bahwa sistem pengatur kehidupan terbaik adalah Islam. Seluruh ajarannya rahmatan lil ‘alamin, membawa kemaslahatan bagi muslimin, non muslim, dan seluruh alam semesta ini. Dalam kehidupan yang diatur dengan sistem sahih ini, kebijakan pungutan pajak akan dilakukan secara adil sesuai tuntunan-Nya.
Kebijakan pungutan pajak yang sahih hanya dapat diwujudkan dalam negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah, yaitu Daulah Khil4f4h Islamiah. Syariat Islam mengatur pungutan pajak dengan persyaratan berikut ini:
Pertama, ketika harta di dalam kas negara (baitulmal) tidak mencukupi untuk keperluan belanja negara. Oleh karenanya, pungutan pajak bersifat sementara. Ketika baitulmal sudah terisi, maka pungutan pajak pun dihentikan.
Kedua, berdasarkan nash syar’i yang menyatakan bahwa pembelanjaan pada kondisi pertama tersebut adalah wajib bagi baitulmal dan bagi kaum muslimin.
Ketiga, nilai pajak yang diwajibkan tidak melebihi kadar kebutuhan pokok yang harus dipenuhi.
Keempat, pungutan pajak bukanlah suatu kewajiban bagi seluruh rakyat. Pajak hanya diberlakukan kepada kaum muslimin yang kaya saja. Kriteria kaya dalam syariat Islam adalah ketika seorang muslim memiliki kemampuan lebih di luar pemenuhan kebutuhan pokok dan pelengkapnya.
Salah satu contoh penerapan pungutan pajak sesuai keempat persyaratan tersebut adalah untuk pemenuhan kebutuhan pokok orang fakir. Apabila harta di baitulmal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan orang fakir, maka diambil dari harta kaum muslimin yang kaya dalam bentuk pajak.
Nash syar’i yang menjadi landasan dalilnya adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam al Hakim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Bukanlah seorang mukmin orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya kelaparan.”
Motivasi seorang muslim untuk menyisihkan kelebihan hartanya dalam bentuk pajak tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, “Mulailah dengan dirimu sendiri dan sedekahkan atasnya. Jika ada kelebihan sesuatu, itu untuk keluargamu. Dan jika ada kelebihan sesuatu dari keluargamu, maka untuk kerabatmu. Dan jika ada kelebihan sesuatu untuk kerabatmu, maka begini dan begini (Beliau Shalallahu’alaihi wassalam mengatakan untuk orang yang ada di depanmu, sebelah kananmu, dan sebelah kirimu).”
Manakala seorang muslim memberikan kelebihan hartanya dalam bentuk pajak, maka pujian Allah Taala pun tercurah padanya, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, ”Sedekah yang paling baik adalah yang berasal dari orang kaya.”
Sebaliknya, syariat Islam juga dengan tegas melarang pungutan pajak terhadap orang yang fakir dan miskin, sebagaimana firman Allah Taala dalam QS An Nisaa ayat 29 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil.”
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam pun bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Imam Baihaqi, “Tidak halal harta seorang muslim, kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.”
Para penarik pajak yang melakukan pemungutan pajak dengan cara yang batil juga mendapatkan ancaman di yaumil akhir, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud,
”Sesungguhnya para pemungut pajak (diazab) di neraka.” Dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam Ahmad, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak masuk surga orang yang menarik pajak.”
Sedemikian paripurna syariat Islam dalam pengaturan pungutan pajak ini sehingga dengannya mampu mewujudkan keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh warga negara. Pemberlakuan pungutan pajak dalam Daulah Khil4f4h Islamiah pun akan sangat jarang terjadi.
Selama berabad-abad bisa tidak terjadi pungutan pajak karena baitulmal akan selalu terisi penuh oleh pemasukan harta yang melimpah dan berkesinambungan dari berbagai pos pemasukan, seperti fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, dan jizyah. Juga aliran dari harta kepemilikan umum dan kepemilikan negara, seperti ‘usyur, khumus, rikaz, barang tambang, dan zakat. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]