Oleh: Neti Ernawati
Ibu Rumah Tangga
Dalam pandangan Islam, rumah adalah salah satu kebutuhan dasar di samping sandang, pangan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang wajib dijamin oleh negara. Melalui penerapan sistem politik ekonomi Islam, negara mampu menciptakan support system sehingga rakyat mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk memiliki rumah yang layak.
CemerlangMedia.Com — Menurut statistik pemerintah, ada sebanyak 27 juta keluarga yang masih tinggal di rumah yang tidak layak huni dan hampir 11 juta keluarga antre untuk mendapat rumah yang layak huni (detikfinance.com, 04-12-2024). Menyiasati hal tersebut, Presiden Prabowo menginisiasi Program 3 Juta Rumah guna memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat.
Rencana ini disambut baik oleh Budi Saddewa Soediro, direktur Utama Perum Perumnas. Pengembang milik pemerintah itu siap memanfaatkan aset yang dimiliki pemerintah dalam mendukung program pembangunan 3 juta rumah yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto.
Program ini mencakup pembangunan dua juta rumah di wilayah pedesaan, yaitu rumah tapak yang direncanakan untuk wilayah dengan ketersediaan lahan luas dan satu juta rumah vertikal, seperti apartemen serta rumah susun yang difokuskan untuk wilayah perkotaan. Proyek ini akan merambah wilayah di luar Pulau Jawa, seperti Medan, Palembang, dan Makasar.
Rencananya, 20% pembangunannya akan dialokasikan sebagai rumah bersubsidi, sementara sisanya yang sekitar 80% akan dikembangkan untuk hunian komersial. Dalam artian, sebagian besar pembangunan rumah itu akan dijadikan ladang bisnis atau komersialisasi, yakni negara sebagai penyedia perumahannya dan rakyat sebagai konsumennya.
Sementara pada 2024 ini, penjualan rumah tapak sedang mengalami penurunan. Tidak tanggung-tanggung, penurunan penjualan rumah tapak di Jabodetabek mencapai 25% dibanding penjualan pada 2023 lalu. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor, yakni karena penurunan daya beli masyarakat dan kenaikan harga rumah (cnbcindonesia.com, 02-12-2024).
Solusi Parsial
Alih-alih memperbaiki daya beli masyarakat agar mampu membeli hunian yang layak, pemerintah justru menyiapkan insentif untuk sektor perumahan. Pemerintah meyakini, insentif ini bisa mengakselerasi industri perumahan di Indonesia.
Namun, pada kenyataannya, insentif hanyalah solusi parsial yang tidak menyentuh akar permasalahan. Insentif yang diberikan hanya akan menguntungkan pihak pengembang yang merupakan perusahaan swasta/kapitalis. Lantaran insentif tersebut hanya berupa pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pembelian rumah, bukan pemangkasan harga rumah.
Dikutip dari Antara, sebagian lahan yang digunakan dalam rencana pembangunan 3 juta rumah tersebut adalah tanah sitaan dari kasus korupsi dan aset hasil Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) (tempo.co, 01-12-2024). Pemanfaatan lahan-lahan ini untuk perumahan, mampu membangun narasi seolah negara sedang bekerja memenuhi kebutuhan rakyatnya akan hunian yang layak.
Namun sejatinya, sekali lagi, negara sedang memberi keuntungan kepada pihak swasta. Negara yang hanya berperan sebagai regulator, justru memuluskan langkah pihak swasta atau kapitalis untuk mengendalikan pembangunan perumahan rakyat.
Begitulah yang terjadi dalam sistem kapitalisme, penguasa mengelola negara seperti mengelola perusahaan. Penguasa tidak ubahnya sebagai penjual dan rakyat sebagai pembeli. Mirisnya, penguasa cenderung berpihak kepada pengusaha karena mampu memberikan keuntungan.
Semua tata kelola diserahkan kepada pengusaha swasta atau para kapitalis dengan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Sudah barang tentu para kapitalislah yang akan meraup keuntungan dari hasil pembangunan perumahan rakyat. Rakyat pun makin sulit mendapatkan hunian layak akibat harganya mahal imbas dari kapitalisasi yang terjadi.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, rakyat yang daya belinya menurun harus pula membeli perumahan mahal demi dapat tinggal di rumah yang layak. Hal yang sangat tidak adil bagi rakyat, ketika tanah yang digunakan adalah milik negara dan uang yang dipakai untuk pembangunan adalah dana dari APBN yang berasal dari uang negara serta pajak dari rakyat, maka sudah seharusnya rakyat dapat ikut menikmati bangunan tersebut tanpa beban yang lebih berat lagi.
Gaya kepemimpinan populis seperti ini lahir dari sistem kapitalisme yang jauh dari fungsi riayah dan tidak memiliki aspek ruhiyah. Pemerintahan dijalankan bukan atas dasar amanah, tetapi demi perolehan keuntungan.
Pandangan Islam
Hal ini jelas bertolak belakang dengan sistem pemerintahan secara Islam yang menekankan penguasa sebagai raain. Negara adalah pengurus umat. Negara tidak boleh berbisnis dengan rakyat di bidang pemenuhan kebutuhan dasar untuk kepentingan penguasa dan kelompoknya.
Dalam pandangan Islam, rumah adalah salah satu kebutuhan dasar di samping sandang, pangan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang wajib dijamin oleh negara. Melalui penerapan sistem politik ekonomi Islam, negara mampu menciptakan support system sehingga rakyat mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk memiliki rumah yang layak.
Tanah-tanah milik negara digunakan untuk kemaslahatan rakyat. Negara juga akan memberikan tanah dengan cuma-cuma bagi rakyatnya yang membutuhkan.
Kalaupun harus membangun perumahan untuk rakyat, negara akan menggunakan divisi yang berkompeten dan amanah untuk melaksanakannya. Dengan menerapkan tata kelola kekayaan negara, negara akan memiliki pendanaan yang cukup untuk membiayai pembangunan perumahan tanpa mengurangi pemenuhan kebutuhan yang lain.
Negara tidak akan menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta. Amanah kepengurusan rakyat akan dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa tujuan memperoleh keuntungan. Hal ini hanya terjadi dalam sistem yang menerapkan syariat Islam secara kafah. [CM/NA]