Pejabat Pembuat Konten, antara Pelayanan dan Pencitraan

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Penulis: Mila Ummu Muthiah

Dalam Islam, menjadi pemimpin berarti menjalani amanah, bukan memburu sorotan. Jika hari ini masyarakat menyaksikan pejabat yang lebih tertarik membangun persona di media sosial ketimbang membenahi masalah rakyat, maka itu adalah penyimpangan dari nilai-nilai dasar kepemimpinan dalam Islam. Itu adalah deviasi dari amanah yang menjadikan jabatan sebagai panggung, bukan pelayanan.

CemerlangMedia.Com — Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena pejabat publik yang gemar membuat konten makin marak. Mulai dari TikTok hingga YouTube, mereka berlomba-lomba tampil di hadapan kamera. Ada yang menari, membuat vlog kegiatan harian, bahkan ada yang dramatisasi sidak atau penyaluran bantuan. Bagi sebagian orang, ini dianggap sebagai bentuk keterbukaan dan kedekatan pejabat dengan rakyat. Namun, benarkah demikian?

Dilansir dari Tempo.co (19-5-2025), gubernur Jawa Barat saat ini, Dedi Mulyadi (KDM), membentuk tim khusus yang bertugas mengikuti aktivitasnya demi memproduksi konten sesuai dengan preferensinya. Melalui kanal YouTube “Kang Dedi Mulyadi Channel”, tim ini digerakkan secara intensif untuk membangun citra KDM sebagai figur pemimpin yang dekat dengan rakyat dan layak dirindukan.

Tidak sedikit warganet berkomentar bahwa pejabat publik memiliki mandat utama, yakni melayani masyarakat, bukan membangun popularitas pribadi. Sayangnya, fenomena “pejabat konten kreator” justru menimbulkan pertanyaan serius soal prioritas. Ketika kamera lebih dahulu dinyalakan sebelum bantuan disalurkan. Ketika agenda kerja disesuaikan demi viralitas. Alih-alih efektivitas, maka itu bukan lagi pelayanan—itu adalah panggung.

Memang benar, konten bisa menjadi alat komunikasi. Akan tetapi, ketika substansi kerja ditutupi oleh kemasan bombastis, masyarakat hanya mendapat tontonan, bukan kepastian pelayanan. Terlalu banyak energi habis untuk mengelola citra, sementara problem struktural seperti kemiskinan, pendidikan, dan infrastruktur tetap stagnan.

Antara Transparansi dan Pencitraan

Dalih keterbukaan kerap digunakan untuk membenarkan aktivitas konten para pejabat. Akan tetapi, transparansi tidak membutuhkan dramatisasi. Laporan kinerja yang jelas, indikator capaian yang terukur, serta kanal aduan yang aktif jauh lebih berarti daripada vlog di kantor atau video makan bersama rakyat.

Apalagi tidak sedikit pejabat menggunakan konten untuk memoles kegagalan. Ketika kritik mengalir, mereka tidak menjawab dengan solusi, melainkan dengan konten baru yang lebih menyentuh sisi emosional publik. Ini adalah bentuk pencitraan politik—memamerkan diri tanpa substansi kebijakan yang nyata. Alhasil, masyarakat sekadar berperan sebagai penonton, bukan subjek.

Lebih buruk lagi, dalam banyak konten, masyarakat kerap dijadikan latar belakang pasif. Mereka direkam, disorot, kadang dieksploitasi penderitaannya untuk memperkuat narasi kepedulian sang pejabat. Ironisnya, setelah kamera mati, tidak ada keberlanjutan solusi, yang tersisa hanya jejak digital dan pujian sementara.

Saatnya Kembali ke Esensi

Fenomena ini harus dikritisi secara jernih. Publik tidak menolak penggunaan media oleh pejabat, tetapi harus dibedakan antara komunikasi publik dan pencitraan murahan. Pejabat seharusnya menjadi problem solver, bukan selebritas. Jangan biarkan fungsi negara direduksi menjadi konten viral. Negara bukan panggung hiburan dan rakyat bukan figuran.

Fenomena pejabat yang hobi membuat konten bukan sekadar soal gaya komunikasi baru—ia adalah cermin dari niat politik yang tidak selalu murni. Ketika seorang pejabat sibuk tampil di media sosial, rakyat patut bertanya, apakah ini benar-benar demi transparansi atau hanya demi elektabilitas?

Publik hari ini terlalu sering dijejali potongan-potongan visual yang seolah menunjukkan kerja nyata. Akan tetapi, kerja nyata tidak selalu perlu kamera. Justru ketika setiap tindakan selalu dipoles jadi konten, ada sinyal bahwa yang lebih dikejar bukan solusi, tetapi simpati. Banyak pejabat yang tampaknya tidak ingin dikenal karena keberhasilannya membenahi sistem, tetapi karena tampilannya yang “merakyat” dan “humble” di layar.

Niat Politik: Investasi Menuju Pemilu

Mari bersikap jujur! Sebagian besar konten itu bukan dibuat untuk rakyat, tetapi untuk algoritma dan pemilih. Akun media sosial dijadikan investasi jangka panjang menuju 2029 atau pemilihan kepala daerah terdekat. Video menyalurkan bantuan, menyapa warga, atau berpura-pura kaget dengan harga pasar bukan bentuk empati. Itu adalah kampanye dini terselubung.

Rakyat tidak butuh aktor, tetapi butuh pemimpin. Masyarakat tidak memerlukan pejabat yang piawai berakting, yang dibutuhkan adalah pemimpin yang bekerja sungguh-sungguh tanpa harus tampil di depan kamera, pemimpin yang lebih fokus membenahi sistem daripada mengejar popularitas di media sosial demi meraih followers. Ketika niat ngonten lebih besar daripada niat membenahi masalah, maka negara telah diseret masuk ke ruang produksi sinetron politik tanpa akhir.

Sudah saatnya publik kritis, tidak mudah terbuai narasi visual. Pejabat yang baik tidak perlu banyak konten karena kinerjanya akan berbicara sendiri. Umat perlu membongkar niat di balik layar, apakah itu pelayanan tulus atau ambisi kekuasaan yang dibungkus dengan senyum kamera.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana politik visual bisa menipu publik jika tidak disertai verifikasi fakta. Konten yang manis sering kali menutupi realita pahit di bawahnya. Masyarakat perlu lebih kritis. Jangan hanya menilai pejabat dari unggahan, tetapi dari dampak nyata kebijakan dan kualitas hidup warga.

Pemimpin dalam Islam

Dalam tradisi kepemimpinan Islam, pejabat bukanlah figur yang sibuk membangun citra, melainkan sosok yang penuh amanah, takut pada hisab, dan menghindari popularitas yang tidak perlu. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, dikenal justru menangis ketika diangkat menjadi pemimpin karena menyadari besarnya tanggung jawab di hadapan Allah.

Khalifah Umar terkenal karena kebiasaannya berkeliling di malam hari untuk memastikan kebutuhan rakyatnya terpenuhi—bukan demi mencari pujian, melainkan karena kesadarannya akan tanggung jawab besar di akhirat. Tidak ada catatan yang menunjukkan bahwa Khalifah Umar gemar memamerkan kepeduliannya kepada publik. Tidak ada panggung megah, tidak ada narasi dibuat-buat, yang ia lakukan adalah kerja nyata dan diam-diam, dilandasi ketulusan dan rasa takut kepada Tuhan.

Tidak ada riwayat Khalifah Umar membuat sandiwara pencitraan. Tidak ada panggung, tidak ada konten, yang ada hanyalah kerja diam-diam, solusi nyata, dan integritas yang menggetarkan. Pemimpin dalam Islam tidak sibuk terlihat baik, tetapi sibuk menjadi baik. Sebab bagi mereka, penilaian manusia itu fana—yang kekal adalah pertanggungjawaban di akhirat.

Dalam Islam, menjadi pemimpin berarti menjalani amanah, bukan memburu sorotan. Jika hari ini masyarakat menyaksikan pejabat yang lebih tertarik membangun persona di media sosial ketimbang membenahi masalah rakyat, maka itu adalah penyimpangan dari nilai-nilai dasar kepemimpinan dalam Islam. Itu adalah deviasi dari amanah yang menjadikan jabatan sebagai panggung, bukan pelayanan. Wallahu a’lam bisshawab. [CM/Na]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *