Oleh. Rindang Ayu
CemerlangMedia.Com — Bagai makan buah simalakama, itulah dilema yang menghantui pikiran kebanyakan orang tua saat ini. Maksud hati menyekolahkan si buah hati dengan harapan agar mereka mendapatkan pendidikan terbaik sehingga kelak dewasa menjadi manusia yang bermartabat, berakhlak mulia, cakap, kreatif, dan mandiri, sebagaimana dituangkan dalam UU Sisdiknas 20/2013, tetapi kenyataannya saat ini malapetaka besar tengah melanda dunia pendidikan tanah air.
Kerusakan Moral Remaja
Bertubi-tubi kabar berita di media massa mengabarkan beragam kasus kerusakan moral hingga tindak kriminal yang menyertai jalannya pendidikan. Mulai dari tawuran, narkoba, perundungan (bullying), kekerasan, pergaulan dan seks bebas, hingga pembunuhan.
Dalam kasus kekerasan, perundungan dan pembunuhan saja, FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) mencatat terdapat 16 kasus yang terjadi dalam jangka waktu antara Januari—Juli 2023. Dari kasus sebanyak itu, 87 orang atau 92% pelakunya adalah dari peserta didik. Begitu pula jumlah korbannya, didominasi dari peserta didik sebesar 95% atau sebanyak 41 dari 43 orang korban (Republika, 05-08-2023). Yang terbaru, orang tua murid menjadi pelaku kekerasan pada seorang guru sehingga mengakibatkan buta permanen.
Kasus akibat pergaulan dan seks bebas lebih memprihatinkan. Data resmi BKKBN mengungkap bahwa mayoritas anak remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seksual. Tercatat sebanyak 20% remaja usia 12—14 tahun telah melakukan hubungan seksual. Sedangkan remaja usia 16—17 tahun lebih fantastis, yaitu 60%. (Data Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia 2017). Tak bisa dibayangkan dampak yang ditimbulkan dari zina di kalangan remaja tersebut.
Tingginya pernikahan dini, aborsi, pembuangan dan pembunuhan bayi, penyakit menular seksual adalah sederet ancaman masalah sosial akibat seks bebas. Belum lagi peluang depresi akibat psikis remaja putri yang tidak siap dengan kehamilan yang tidak diharapkan di usia dini. Bila demikian, bagaimana masa depan bangsa ini jika generasinya lahir dari orang tua yang depresi?
Kasus narkoba di kalangan remaja pun sebelas-dua belas parahnya. Saat ini, para remaja yang notabene berstatus pelajar, tidak hanya sebagai pengguna dan menjadi sasaran empuk para bandar. Namun, di antara mereka sudah ada yang menjadi bandar bagi teman-temannya di sekolah. Seperti yang dialami RD, bandar narkoba yang telah ditangkap Satres Narkoba Polres Surakarta pada Maret lalu ternyata masih berusia 15 tahun dan masih berstatus pelajar kelas 3 SMP.
Kerusakan moral akut dikalangan pelajar tersebut tentunya menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa dengan sistem pendidikan di negeri ini? Padahal sudah tak terhitung kurikulum pendidikan berganti. Ratusan trilliyun rupiah dianggarkan untuk jalannya pendidikan setiap tahunnya. Bahkan dalam laman kemenkeu.go.id, pemerintah menegaskan untuk berkomitmen untuk menjaga anggaran pendidikan nasional sebesar 20% dari APBN. Namun, nyatanya itu semua tidak berbanding lurus dengan output pendidikan yang dihasilkan. Krisis adab, kerusakan moral, bahkan tindakan kriminal telah menjadi catatan harian yang memprihatinkan dari dunia pendidikan nasional selama ini.
Pentingnya Evaluasi Sistem
Untuk itu perlu kejujuran untuk mengevaluasi jalannya sistem pendidikan. Di satu sisi, tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU Siskdiknas 20/2013 begitu mulia, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri. Namun, di sisi lain, pendidikan agama dipinggirkan.
Agama sebatas pelajaran formal yang diajarkan di sekolah dengan jam minim. Agama (Islam) hanya dikenal pada peringatan hari besar, tetapi tidak dijadikan dasar dan acuan dalam pendidikan. Dengan kata lain, sekularisme atau pemisahan agama dalam kehidupan telah menjadi dasar sistem pendidikan nasional kita.
Maka tak heran jika antara tujuan dengan proses pendidikan bagaikan jauh panggang dari api. Bagaimana mungkin peserta didik bisa menjadi generasi yang beriman dan bertakwa jika aturan agama diabaikan. Bagaimana mungkin peserta didik berakhlak mulia jika gaya hidup liberal dan hedonis diajarkan kepada mereka.
Bisa jadi pendidikan yang sekuler saat ini dapat mencetak generasi yang sukses secara akademis maupun materi. Namun, pribadi yg labil, krisis identitas, cenderung individualis, dan berorientasi materi menjadi gambaran mayoritas generasi saat ini. Tak heran jika berbagai kasus kerusakan moral dan tindak kriminal mewarnai kehidupan mereka.
Itulah mengapa keadaan dilematis menjangkiti para orang tua saat ini. Niat baik mereka memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya agar sukses mulia di dunia dan akhirat tak sejalan dengan sistem pendidikan nasional saat ini yang nyata-nyata memisahkan agama dari kehidupan (sekuler).
Kembali pada Sistem Islam
Untuk itu, tak ada pilihan lain untuk mengatasi kerusakan generasi saat ini selain kembali menjadikan Islam sebagai dasar sistem kehidupan kita, khususnya dalam mendidik para generasi.
Telah terbukti secara empiris dan historis bahwa penerapan Islam secara keseluruhan dalam sebuah negara yang menerapkan sistem Islam mampu melahirkan peradaban Islam yang agung di masa lalu. Yang dari sana munculah generasi-generasi berkualitas yang ahli di berbagai bidang. Sebut saja Ibnu Sina (Avicenna), Al Khawarizmi, Jabir Al Hayyan, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun yang merupakan sebagian kecil dari para ilmuwan polimat (menguasai banyak bidang keilmuwan) yang lahir di zaman keemasan Islam.
Mereka terlahir dari sistem kehidupan yang sempurna yaitu Islam, yakni sistem pendidikan yang berasaskan Islam, ditopang oleh sistem ekonomi Islam yang halal dan menyejahterakan, sistem sosial masyarakat Islam yang mampu menjadi filter terhadap segala pemikiran dan pengaruh asing yang merusak, ditambah dengan kebijakan polhukamnya yang bersumber pada syariat Islam. Maka tidak heran, dari sistem kehidupan yang demikian terbentuklah sosok-sosok generasi Islam berkualitas seperti mereka, baik dari segi iman maupun ilmu pengetahuannya.
Maka bila kita dan para orang tua ingin bebas dari dilema dalam mendidik generasi, tidak ada pilihan solusi selain kembali kepada Islam. Bersama-sama berusaha mewujudkan kembali Islam kafah dalam kehidupan, sembari menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman utama dalam mendidik anak-anak.
Wallahu a’lam [CM/NA]