Oleh. Sri Rahayu
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Bagi sebagian orang, pinjaman online adalah solusi instan untuk menyelesaikan masalah keuangan. Namun, acapkali jalan keluar satu ini mengundang persoalan lanjutan. Alih-alih lepas dari masalah yang ada, jeratan pinjol makin memberatkan kehidupan. Seperti yang dialami seorang pekerja dengan gaji Rp6 juta per bulan yang nekat mengambil pinjaman Rp2,5 juta untuk membeli tiket Coldplay. Cicilan Rp720 ribu selama 6 bulan yang harus dikeluarkan dirasa memberatkan karena di saat yang sama harus memenuhi kebutuhan rutin lainnya. Belum lagi teror yang didapat setiap saat, sewaktu dirinya menunggak cicilan (katadata.co.id, 17-7-2023).
Pinjol dan Gagal Bayar
Maraknya tawaran layanan pembiayaan melalui fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) di berbagai aplikasi media digital membuka lebar kesempatan akses masyarakat untuk mengambil pinjaman secara online. Kemudahan dan pelayanan yang cepat menambah laju pertumbuhan pembiayaan oleh pinjol. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga Mei 2023, Rp51,46 triliun tersalurkan ke masyarakat dari pinjol. 38,39% di antaranya diperuntukkan bagi pelaku UMKM, baik perorangan atau badan usaha. Pulau Jawa menempati urutan pembiayaan teratas dengan persentase 77,9%. Sedangkan di Pulau Jawa sendiri, Jawa Barat adalah jawara dengan pinjaman senilai 13,8 triliun.
Seiring laju pertumbuhan pinjaman yang melangit, yaitu sekitar 28,11% dari tahun lalu, angka pinjaman bermasalah pun ikut melejit. Per Mei 2023, Tingkat Wanprestasi 90 hari (TWP90) berada di angka 3,36%. Ini lebih tinggi dari tahun lalu dan bulan sebelumnya yang hanya 2,82%. Namun, masih berada di bawah batas angka waspada 5 % yang ditentukan OJK (JawaPos.com, 12-7-2023).
Sebab dan Dampak
Tidak dimungkiri, gaya hidup masyarakat makin hedonis berujung konsumtif. Tuntutan untuk memenuhi keinginan tanpa memperhitungkan kekuatan finansial menyeret sebagian masyarakat pada jeratan pinjol. Sebagian lainnya terjerat pinjol karena kondisi ekonomi sulit. Mereka terpaksa memilih pinjol untuk memenuhi kebutuhan hidup berbiaya tinggi. Kebutuhan sekunder seperti pendidikan dan kesehatan sangat mahal. Begitu pun kebutuhan mendasar seperti sandang, pangan, papan terus melesat seakan tidak terkendali. Berbanding terbalik dengan tingkat pendapatan masyarakat yang menurun.
Bagi para pengusaha kecil menengah (UMKM), pinjol dianggap membantu mereka dalam menyediakan modal usaha. Terlebih jika usaha mereka merugi karena salah strategi. Maka pinjol adalah solusi untuk mendapatkan dana segar sehingga usaha mereka dapat berputar kembali.
Melejitnya angka pertumbuhan pembiayaan pinjol yang disertai angka gagal bayar yang meninggi telah menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat. Mulai dari depresi, keretakan rumah tangga, bunuh diri, hingga kasus mutilasi. Belum lagi teror debt collector ketika utang tidak terbayar.
Tidak sedikit juga masyarakat yang harus kehilangan lebih banyak harta karena wajib membayar utang pinjol ditambah bunga pinjaman yang fantastis. Wajar saja karena pinjol bersifat ribawi. Hal ini memperparah kondisi masyarakat yang tengah mengalami kesulitan ekonomi saat ini.
Kapitalisme dan Negara
Meningkatnya pinjol ini juga erat kaitannya dengan sistem kapitalisme. Kebijakan ekonomi kapitalisme liberal yang diambil negara memberikan ruang pinjol tumbuh dengan subur. 102 pinjol tercatat secara legal di Mei 2023. Banyak pula pinjol ilegal bermunculan.
Sistem kapitalisme yang sekuler juga menjadikan negara tidak dapat menerapkan halal haram sebagai batasan aktivitas masyarakat, termasuk utang riba. Pinjol tidak terlarang selama mengantongi izin negara. Sekalipun dampaknya tidak jauh beda dengan pinjol ilegal.
Edukasi terhadap pinjol terbatas pada himbauan untuk memanfaatkan pinjol secara bijak, bukan melarang. Sekadar mengarahkan untuk menggunakan layanan pinjol legal, bukan ilegal. Nihil pula dari bantuan penyelamatan bagi masyarakat yang terjerat.
Pandangan Islam
Lain halnya ketika sistem Islam diterapkan. Negara Islam menjadikan halal haram sebagai standar perbuatan. Termasuk masalah utang riba. Negara menerapkan hukum Islam tentang riba di masyarakat. Riba adalah keharaman yang terlarang untuk dilakukan. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an,
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Begitupun sabda Rasulullah saw.,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah ﷺ mengutuk orang yang makan harta riba, yang memberikan riba, penulis transaksi riba dan kedua saksi transaksi riba. Mereka semuanya sama (berdosa).” (HR Muslim)
Negara juga akan mengedukasi masyarakat tentang riba. Agar mereka memahami keharaman riba dan meninggalkan aktivitas haram tersebut semata-mata karena ketaatan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Sanksi tegas akan diberikan negara bagi pelaku, saksi, dan penulis riba. Berupa takzir dengan hukuman cambuk dan penjara 2 tahun lamanya. (Al-Maliky, Abdurrahman, Nidham al-Uqubat, hal 191)
Jaminan kesejahteraan kehidupan terhadap masyarakat, berupa pemenuhan kebutuhan mendasar seperti sandang, pangan, papan, juga akan dilakukan negara. Jaminan tersebut akan dipastikan diterima oleh setiap individu rakyat secara keseluruhan. Begitu pula dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pelengkap lainnya. Semua dijamin pemenuhannya oleh negara karena hal ini merupakan kewajiban negara terhadap rakyatnya.
Semua dilakukan bersamaan dengan penerapan hukum Islam lainnya. Seperti mewajibkan bekerja bagi laki-laki yang mampu. Menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sehingga mereka memiliki kesempatan memperoleh harta dan mengembangkannya. Bagi masyarakat yang tidak mampu, negara memiliki baitulmal yang akan memberikan bantuan bagi siapa pun yang membutuhkan.
Semua hukum yang diterapkan tersebut tidak lain untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Ketika masyarakat sejahtera, maka utang riba bukanlah hal biasa untuk dilakukan. Inilah cara Islam melepaskan masyarakat dari praktik riba. Termasuk pinjol yang marak saat ini.
Dengan demikian, sudah saatnya umat kembali pada kehidupan Islam yang sebenarnya. Di mana hanya hukum Islam yang diterapkan sehingga segala persoalan tuntas terselesaikan. Termasuk pinjol dan praktik utang riba lainnya. Alhasil, keberkahan pun akan didapatkan.
Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]