PPN Naik di Tahun Baru, Kehidupan Rakyat Makin Kelabu

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Siti Aisyah, S.Sos.
Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Islam memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara sebagai raain, mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab. Oleh karenanya, negara akan seoptimal mungkin memenuhi semua kebutuhan rakyatnya tanpa memberi beban yang berat.

CemerlangMedia.Com — Siap-siap saja, tahun baru menjadi awal kehidupan yang kelabu. Pasalnya, pemerintah akan memberlakukan kebijakan yang makin mencekik, yaitu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, sebagaimana yang diberitakan republika.co.id, Kamis (14-11-2024). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tegaskan, tarif PPN akan naik tahun depan menjadi 12 persen.

Kebijakan pemerintah menaikkan tarif PPN pada 2025 menuai kritik dari berbagai kalangan, salah satunya diungkap oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal dalam berita yang dirilis Kompas (14-11-2024). Menurutnya, langkah pemerintah tidak adil dan proporsional. Pemerintah mengambil keputusan untuk menambah beban belanja dan memperlebar defisit untuk sesuatu yang tidak esensial, seperti penambahan nomenklatur kementerian/lembaga dan membentuk kabinet gemuk.

Menambah Beban Hidup

Kebijakan tersebut memang tidak adil karena dengan naiknya tarif PPN ini, tentu saja akan menambah beban hidup rakyat. Pasalnya, saat ini saja kondisi perekonomian rakyat, terutama rakyat kecil sedang sulit. Apalagi banyak kepala keluarga yang terkena PHK sehingga tidak mampu menafkahi keluarganya. Ditambah pula dengan harga-harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, makin menambah penderitaan rakyat.

Kenaikan PPN juga dirasakan oleh kalangan pengusaha. Mereka meminta pemerintah mengkaji lebih komprehensif lagi mengenai kebijakan tersebut. Pasalnya, kenaikan PPN menjadikan daya beli masyarakat menurun sehingga dapat mengganggu roda perekonomian dunia usaha di tengah kondisi ekonomi yang lesu. Hal ini sangat dirasakan oleh UMKM.

UMKM harus bersaing dengan usaha yang lebih besar, mampu menyerap kenaikan biaya atau memberikan diskon. Hal ini menyebabkan mereka kesulitan menyesuaikan harga tanpa kehilangan pelanggan. Akibatnya, UMKM banyak yang gulung tikar.

Klaim Pemerintah

Namun, pemerintah mengeklaim, naiknya tarif PPN sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan. Pasalnya, PPN merupakan salah satu sumber pendapatan pajak terbesar dalam anggaran negara. Dengan menaikkan tarif PPN, pemerintah berharap dapat mengumpulkan lebih banyak dana dari aktivitas konsumsi barang dan jasa di dalam negeri. Penerimaan tambahan ini sangat penting untuk mendanai program-program pembangunan.

Selain itu, naiknya PPN dapat pula mengurangi ketergantungan pada utang. Ya, dalam situasi anggaran yang ketat, pemerintah sering mengandalkan utang, baik dalam bentuk utang domestik maupun luar negeri untuk menutup defisit anggaran. Dengan meningkatnya penerimaan dari PPN, pemerintah dapat mengurangi tekanan untuk berutang sehingga menurunkan risiko beban utang jangka panjang terhadap stabilitas fiskal.

Meski klaim pemerintah seperti itu, tetapi faktanya belum tentu mampu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang. Sebaliknya, kesengsaraanlah yang akan didapat rakyat, terlebih di tengah situasi ekonomi yang serba sulit.

Ditambah lagi dengan masalah korupsi di lingkungan pemerintahan yang mengakar dan pemerintah yang gemar berutang, seperti yang diberitakan Tempo.co (11-11-2024). Laporan kinerja APBN yang dikeluarkan Kementerian Keuangan pada akhir Oktober mencatat, utang pemerintah menembus Rp8.473,9 triliun, terdiri dari surat berharga negara atau SBN sebesar 88,31 persen dan pinjaman 11,69 persen.

Konsekuensi Penerapan Sistem Kapitalisme

Kondisi tersebut merupakan konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Memang, dalam sistem ini, pajak, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dijadikan salah satu sumber utama pemasukan negara untuk mendanai operasional dan kebijakan publik. Ditambah pula, peran negara lebih banyak sebagai regulator dan fasilitator, bukan menciptakan kesejahteraan rakyat.

Sebenarnya dampaknya kebijakan tersebut lebih dirasakan oleh masyarakat umum, terutama kelas menengah dan bawah, ketimbang oleh para pemilik modal besar. Memang, dalam kerangka sistem kapitalisme, kenaikan PPN akan menguntungkan segelintir pihak yang memiliki kekuatan ekonomi, sementara beban utama tetap berada di pundak rakyat biasa.

Islam Punya Solusi

Lain halnya dengan sistem Islam. Islam memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara sebagai raain, mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab. Oleh karenanya, negara akan seoptimal mungkin memenuhi semua kebutuhan rakyatnya tanpa memberi beban yang berat.

Untuk memenuhi semua kebutuhan rakyatnya, Islam menetapkan tiga pos pemasukan negara yang akan dikumpulkan oleh lembaga yang disebut baitulmal, yakni fa’i dan kharaj (meliputi ghanimah, anfal, khumus, jizyah dan lainnya), pos kepemilikan umum (meliputi minyak dan gas, listrik, tambang, laut, sungai, hutan, padang rumput, dan lainnya), dan pos sedekah (meliputi sedekah wajib, seperti zakat harta, zakat perdagangan, dan lainnya).

Adapun terkait pajak, secara normatif, Islam melarang negara memungut pajak dari rakyat, termasuk PPN, kecuali untuk kebutuhan kondisi darurat ketika kas di baitulmal kosong. Itu pun tidak sama dengan pajak yang diberlakukan di sistem kapitalisme saat ini.

Pasalnya, di dalam Islam, pajak dianggap sebuah kezaliman penguasa terhadap rakyatnya dan kezaliman tentunya diharamkan. Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang mengambil hak orang lain, walaupun hanya sejengkal tanah, maka nanti akan dikalungkan tujuh lapis bumi.” (HR Bukhari dan Muslim).

Begitu juga dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya pemungut cukai berada di dalam neraka.”

Sebenarnya pajak dalam fikih Islam diistilahkan dengan dharibah. Menurut Syekh Abdul Qodim Zallum, dalam bukunya yang berjudul Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, dharibah adalah harta yang diwajibkan Allah Swt. kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan pada pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan kepada mereka ketika di baitulmal tidak ada lagi harta untuk membiayainya.

Adapun terkait utang, boleh-boleh saja negara berutang jika urusan yang apabila ditangguhkan akan menyebabkan mudarat. Pertama, terjadi bencana alam, tsunami, gempa bumi, banjir bandang dan lainnya. Kedua, ketika tidak ada dana untuk pembiayaan fakir miskin, ibnu sabil, dan jihad. Ketiga, pembayaran gaji pegawai negara, guru, hakim, dan orang-orang yang memberikan jasa kepada negara (Dikutip dari Buku Membangun Indonesia Tanpa Pajak dan Utang, karya Endah Kartikasari, 2010).

Itu pun dilakukan jika kas baitulmal sedang tidak ada dan tidak ada satu pun kaum muslim yang mampu mengumpulkan dana. Namun, negara tidak boleh tunduk pada tawaran utang bersyarat yang menyalahi syariat Islam. Dengan kata lain, negara Islam tidak akan membiarkan negara lain membajak kedaulatan negara melalui utang.

Khatimah

Dari paparan di atas tampak jelas, penguasa dalam sistem Islam menjalankan tugasnya mengurus rakyat dengan memaksimalkan ketiga pos pendapatan negara yang dikumpulkan di baitulmal dan semuanya untuk kesejahteraan rakyat. Namun, dalam sistem kapitalisme, rakyat harus memikul beban, baik dari pajak maupun beban rakyat dengan klaim memajukan pembangunan. Oleh karenanya, marilah kita bersama-sama berjuang untuk mengembalikan kejayaan Islam dengan menerapkan sistem Islam secara kafah agar umat terbebas dari beban yang selama ini mencekik, salah satunya kenaikan tarif PPN. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *