Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Islam melarang pencitraan dan menjunjung tinggi kejujuran, terlebih kepada pemimpin. Sebab, kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dipimpinnya. Banyak dalil dengan tegas melarang menjadi pemimpin yang mengkhianati amanah dalam mengurus rakyat.
CemerlangMedia.Com — Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu membuat rakyatnya sejahtera lahir dan batin. Di samping itu, pemimpin haruslah mampu mengambil keputusan dan kebijakan berdasarkan porsi yang tepat. Jika kondisi mayoritas rakyat masih karut-marut, tentunya perlu dipertanyakan bagaimana pemimpin negeri mengurus rakyatnya.
Berkaitan dengan hal ini, sumber daya alam (SDA) yang melimpah di negara ini nyatanya masih belum cukup menyejahterakan rakyatnya. Negara pun masih dililit utang yang sangat banyak. Namun anehnya, ada lembaga survei menyebutkan warga negara ini puas dengan kinerja pemerintah saat ini.
Hal ini terungkap pada pemberitaan detikNews.com pada (04-10-2024). Dalam pemberitaan tersebut dijelaskan bahwa hasil survei dari Indikator Politik Indonesia, tingkat kepuasan publik kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) berada di angka 75%. Yusuf Permana selaku Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden menyatakan, istana mengapresiasi hasil survei tersebut dan dianggap sebagai cerminan dukungan dan kepercayaan masyarakat (detikNews.com, 04-10-2024).
Sejatinya, banyak sekali persoalan yang menggelayuti rakyat. Namun, hasil survei ini seolah hanya pencitraan untuk menutupi problematika negara dan digunakan untuk mengelabui rakyat. Pasalnya, kondisi saat ini menunjukkan sebaliknya, yakni ketidakhadiran pemimpin untuk menyelesaikan permasalahan rakyat.
Hasil Survei vs. Kehidupan Riil
Jika melihat gejolak masyarakat akhir-akhir ini yang sering melakukan demonstrasi terkait kebijakan pemerintah, rasanya tidak percaya dengan hasil survei lembaga tersebut. Bagaimana pun juga, penggunaan sampling pada survei tidak menunjukkan 100% realitas kehidupan yang ada.
Begitu pula pada indikator kinerja yang dinilai secara kuantitatif. Hal ini tidak dapat secara riil menggambarkan kondisi sesungguhnya di tengah-tengah masyarakat. Survei semacam ini ibarat make up untuk menutupi wajah buruk pemerintahan.
Ketidaksinkronan antara hasil survei dan kehidupan nyata terlihat dari banyaknya keluhan rakyat yang menguap ke permukaan. Perampasan lahan hingga menimbulkan korban jiwa seperti yang terjadi di Rempang, pembebasan lahan untuk tol dan infrastruktur lainnya yang masih belum tuntas dibayarkan kepada pemilik lahan, serta banyaknya penambangan ilegal yang merugikan negara adalah contoh keserampangan pemerintah dalam menindas rakyatnya.
Di samping itu, kebijakan-kebijakan yang sarat manipulasi, seperti putusan MK yang memuluskan putra mahkota melenggang ke kursi jabatan nomor dua. Walaupun menimbulkan kontroversi, tetapi tetap saja ketok palu, pertanda aturan yang menabrak undang-undang tersebut disahkan.
Belum lagi persoalan buruh yang sampai saat ini masih menjadi sejarah terburuk sepanjang masa republik ini berdiri. PHK massal terjadi di mana-mana. Ironisnya, hal ini terjadi di tengah daya beli masyarakat yang merosot. Kondisi ini tak luput dari perhatian bank dunia sehingga menyarankan masyarakat Indonesia untuk gemar berbelanja agar roda perekonomian berputar.
Sungguh, hal ini menggelikan. Pasalnya, alat untuk berbelanjanya/uang tidak ada, sementara berutang pun jelas bukan pilihan terbaik karena tidak ada jaminan untuk sanggup membayarnya. Terlebih utang ribawi yang ketika tidak sanggup membayar, aset yang ada ikut terampas.
Di samping itu, generasi muda sarat masalah. Adanya siswa sekolah menengah pertama (SMP) yang tidak bisa membaca menjadi masalah besar bagi negara ini. Belum lagi tawuran antar pelajar yang hampir setiap hari terjadi dan menjadi pemberitaan media, tidak jarang sampai menimbulkan korban jiwa. Hal ini seolah membuktikan tidak becusnya negara mempersiapkan generasi penerus bangsa, mengingat remaja adalah penentu masa depan.
Entah komponen seperti apa yang dipasang oleh surveyor. Kebobrokan kepengurusan rakyat sangat tampak di depan mata. Namun, lagi-lagi rakyat tidak berdaya atas apa yang telah dilakukan pemimpin negara ini, meski sering kali dicurangi secara nyata. Kepemimpinan seperti ini lahir dari sistem sekularisme demokrasi yang menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan.
Islam Anti Bohong
Islam melarang pencitraan dan menjunjung tinggi kejujuran, terlebih kepada pemimpin. Sebab, kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dipimpinnya. Banyak dalil dengan tegas melarang menjadi pemimpin yang mengkhianati amanah dalam mengurus rakyat, di antaranya dalam surah Al-Anfal,
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul serta janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.”(QS Al-Anfal: 27).
Jabatan pemimpin adalah amanah yang harus dijaga dan dikerjakan sebaik mungkin. Jika terjadi penghianatan, ini seolah menenggelamkan seluruh rakyatnya. Oleh karenanya, ancaman Rasulullah saw. terhadap pemimpin yang tidak amanah adalah akan ditempatkan di dalam neraka.
“Barang siapa pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka.” (HR Ahmad).
Dengan dalil itulah, pemimpin dalam Islam menjalankan tugasnya mengurus rakyat. Track record kerjanya jelas, bukan data abal-abal yang terlihat bagus. Melainkan aksi nyata yang terekam dalam sejarah peradaban dunia.
Kesejahteraan rakyat diperhatikan satu per satu untuk memastikan masyarakat aman dari berbagai persoalan. Blusukan yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab untuk mengetahui kondisi rakyatnya dengan jelas adalah bentuk pertanggungjawabannya sebagai kepala negara, bukan untuk cawe-cawe mendulang reputasi semata.
Kepemimpinan semacam inilah yang dibutuhkan umat saat ini. Kepemimpinan yang serius mengurus rakyat. Namun, untuk mendapatkan pemimpin seperti Umar bin Khattab diperlukan support system terbaik. Dan satu-satunya sistem yang mampu melahirkan pemimpin amanah adalah Islam.
Oleh karena itu, kesadaran masyarakat akan buruknya sistem kepemimpinan di bawah sekularisme demokrasi sangat dibutuhkan. Ini bertujuan untuk mengubah sistem yang buruk tersebut dengan sistem sahih, yakni Islam yang mampu membawa peradaban manusia ke arah tertinggi. Sebab, hanya dengan sistem Islamlah pemimpin dapat memuaskan rakyat melalui kinerja atau pelayanan pemerintah. Wallahu a’lam. [CM/NA]