Oleh: Ummu Rifazi, M.Si.
Islam merupakan sistem kehidupan yang sempurna. Kesempurnaan Islam menjadikan ajarannya senantiasa relevan di setiap waktu dan tempat. Sebagai umat Nabi Mumahhad Shalallahu alaihi wassalam, kehidupan kita tidak akan pernah menjadi baik kecuali dengan menerapkan apa yang membuat generasi awal umat ini menjadi baik, yaitu syariat Islam.
CemerlangMedia.Com — Bank Dunia menyoroti mahalnya harga beras di Indonesia yang mencapai 20% lebih tinggi daripada harga beras di pasar global. Dengan nilai tersebut, maka harga beras di negeri agraris ini menjadi yang termahal di kawasan ASEAN.
Tidak hanya itu, lembaga internasional ini pun menelisik bahwa tingginya harga beras ternyata tidak sebanding dengan pendapatan petani lokal. Berdasarkan hasil Survei Pertanian Terpadu yang dirangkum Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan rata-rata petani kecil sangatlah rendah, hanya mencapai Rp15.199 per hari atau Rp5,2 juta per tahun (tempo.co, 23-09-2024).
Sistem Batil Melahirkan Penguasa Lalai dan Kemiskinan
Mahalnya harga beras, salah satunya disebabkan tingginya biaya produksi. Mulai dari pupuk, pestisida sampai bibit, semuanya mahal. Meski ada pupuk bersubsidi, tetapi jalan untuk memperolehnya pun cukup panjang. Para petani harus mengajukan ke kelompok tani (poktan) masing-masing dan disertai surat pajak. Jika pun pupuk bersubsidi ini ada, jumlahnya sangat terbatas dan tidak sebanding dengan kebutuhan pertanaman.
Mau tidak mau, para petani pun harus merogoh kocek cukup dalam untuk dapat membeli pupuk nonsubsidi yang harganya jelas lebih mahal. Bahkan, sering kali mereka harus berutang untuk bisa menebusnya.
Tidak hanya masalah pupuk, kebutuhan irigasi sawah yang menelan biaya besar pun harus dikelola petani secara mandiri. Meski para petani ini telah puluhan tahun meneriakkan kebutuhan mereka terhadap pengairan, tetapi pemerintah tidak kunjung merealisasikannya. Sementara tenaga ahli pengairan maupun sumber air itu sendiri di negeri ini sama sekali bukanlah masalah, semuanya berlimpah.
Selain itu, mayoritas petani negeri ini pun merupakan nett consumer. Mereka mengonsumsi beras dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang diproduksi. Alhasil, ketika harga beras naik, maka pengeluaran pun meningkat sehingga kesejahteraan mereka pun tidak membaik.
Pemerintah bukannya tidak tahu semua permasalahan tersebut. Namun, alih-alih menyelesaikan semua kekacauan tersebut sampai ke akarnya, penguasa negeri ini justru mempersilakan 85 persen produksi beras lokal diserap oleh rantai distribusi swasta. Tentu saja hal ini hanya akan mendatangkan keuntungan bagi para pengusaha lewat permainan harga, tetapi tidak bagi petani.
Inilah konsekuensi yang akan terus terjadi ketika kehidupan ini tidak diatur dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan pada syariat Allah, Sang Pencipta dan Pemilik alam semesta ini. Sistem pemerintahan batil (rusak) yang lahir dari pemikiran manusia yang serba terbatas hanya akan melahirkan berbagai kekacauan dan kesengasaraan.
Allah Taala telah memperingatkan konsekuensi tersebut pada QS Al Maidah ayat 49,
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
Sistem Sahih Melahirkan Pemimpin Amanah dan Kesejahteraan
Islam merupakan sistem kehidupan yang sempurna. Kesempurnaan Islam menjadikan ajarannya senantiasa relevan di setiap waktu dan tempat. Sebagai umat Nabi Mumahhad Shalallahu alaihi wassalam, kehidupan kita tidak akan pernah menjadi baik kecuali dengan menerapkan apa yang membuat generasi awal umat ini menjadi baik, yaitu syariat Islam.
Pengurusan rakyat berdasarkan sistem Islam telah dicontohkan Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam sebagai Kepala Negara Islam Pertama di Madinah, kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelahnya dalam bentuk Daulah Khil4f4h Islamiah. Sistem paripurna ini terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan dan keberkahan kehidupan di 2/3 wilayah dunia selama 1300 tahun lamanya.
Dari sistem Islam tersebut lahirlah para penguasa yang menjalankan amanahnya sebagai pengurus umat (raain). Mereka menjalankan amanah sebagai wujud ketaatannya kepada Allah Taala, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam dalam hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Ahmad,
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.”
Kesejahteraan hidup, salah satunya berhasil dicapai lewat perkembangan pesat sistem pertaniannya. Tinta emas sejarah mencatat adanya ‘Revolusi Pertanian Muslim’ di masa kejayaan Daulah Khil4f4h Islamiah karena keberhasilan sinergi semua faktor produksi, seperti cuaca, peralatan untuk mempersiapkan lahan, teknologi irigasi, pemupukan, pengendalian hama, teknologi pengolahan pasca panen hingga pengelolaan perusahaan pertanian. Revolusi ini berhasil meningkatkan panen hingga 100 persen.
Kemajuan tersebut berhasil dicapai ketika kaum muslimin mengembangkan pendekatan ilmiah berbasis tiga unsur. Pertama, sistem rotasi tanaman. Kedua, irigasi yang canggih. Ketiga, kajian jenis-jenis tanaman yang cocok dengan tipe tanah, musim, dan jumlah air yang tersedia. Lebih mengagumkan lagi, inovasi ilmiah warisan peradaban Islam inilah yang menjadi cikal-bakal precission agriculture dalam sistem pertanian modern saat ini.
Hukum pertanahan Islam yang rinci dan konsisten pun mendukung revolusi pertanian tersebut. Dengan adanya hukum pertanahan tersebut, maka tanah tidak lagi dimonopoli kaum feodal yang menyebabkan merajalelanya penindasan, sebagaimana pernah terjadi di masa kegelapan belahan Eropa. Bahkan, orang yang menghidupkan tanah akan mendapatkan insentif yang layak.
Sejarawan berkebangsaan Amerika, Will Durant dalam bukunya “The Story of Civilization” mengakui secara jujur kegemilangan Daulah Khil4f4h Islamiah tersebut, “Pada masa pemerintahan Abdurrahman III diperoleh pendapatan sebesar 12,045,000 dinar emas. Diduga kuat jumlah tersebut melebihi pendapatan pemerintahan negeri-negeri Masehi Latin jika digabungkan. Sumber pendapatan yang besar tersebut bukan berasal dari pajak yang tinggi, melainkan sebagai hasil dari pemerintahan yang baik serta kemajuan pertanian, industri, dan pesatnya aktivitas perdagangan.”
Jika seorang non muslim saja begitu kagum dan jujur dengan keagungan peradaban Islam, lantas mengapa kita sebagai umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam masih belum yakin untuk menerapkannya? Allahumma akrimna bil Islam, wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]