Oleh: Nayla Putri Azzahra
(Siswi Kelas IV SDIT HMD Syarif Padang Panjang Timur)
CemerlangMedia.Com — Nayla dan Taqiya sudah bersahabat selama tiga tahun. Kami sangat dekat dan selalu bermain bersama. Namun, pada semester terakhir, Taqiya harus pindah ke Bangladesh bersama keluarganya.
Adik Taqiya sedang sakit dan harus berobat ke kampung ayahnya yang jauh di sana. Aku merasa sangat sedih dan kehilangan karena tidak ada lagi teman bermain dan bercerita. Persahabatan kami begitu erat, dan perpisahan ini membuatku merasa hampa.
Di hari penerimaan raport akhir tahun, aku dan Taqiya saling bertukar kado sebagai kenang-kenangan. Kami berpelukan erat sambil menangis. Itulah hari terakhir aku bertemu dengan Taqiya.
Setelah Taqiya pergi, hari-hariku terasa sepi. Aku sering menangis saat mengingatnya. Setiap kali teringat kebersamaan kami, hatiku terasa sedih. Aku mencoba menghubungi Taqiya melalui nomor handphone mamanya, tetapi tidak ada jawaban. Pesan-pesan yang kukirim hanya centang satu. Aku hanya bisa berdoa, “Ya Allah, semoga Taqiya dan keluarganya baik-baik saja di sana.”
Suatu sore, handphone mama berdering. Ternyata, itu pesan balasan dari mama Taqiya. Mama Taqiya mengatakan bahwa sinyal di Bangladesh sering dimatikan karena adanya demo besar. Taqiya sedang sibuk dengan sekolahnya dan belum bisa pulang ke rumah.
Mama juga bercerita bahwa Taqiya sering menangis karena merindukanku, sama seperti aku yang selalu merindukannya. Kami berdua begitu rindu dan berharap bisa bertemu lagi. Akhirnya, mama kami berjanji akan mengatur video call jika sinyal di Bangladesh sudah membaik.
Kenangan bersama Taqiya selalu ada di pikiranku. Aku ingat saat kami bermain di sekolah dan ketika Taqiya jatuh saat pelajaran olahraga. Aku segera membantunya dengan lembut. Kami juga sering berpuasa sunah bersama, meskipun Taqiya jarang ikut berbuka di sekolah karena rumahnya yang jauh dan ayahnya sering bekerja di luar kota.
Taqiya adalah sahabat yang selalu membuatku tertawa. Dia sangat pintar melukis. Gambarnya selalu bagus dan indah. Ketika ada pelajaran menggambar, aku sering meminta bantuannya.
Selain itu, Taqiya juga pandai berbahasa Inggris. Masyaallah, dia memiliki banyak kelebihan. Namun jika sudah pelajaran Bahasa Arab, giliran aku yang membantu Taqiya. Kami saling melengkapi satu sama lain, berbagi ilmu dan kebahagiaan.
Waktu yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Sore itu, Taqiya menghubungiku melalui video call. Kami tertawa bersama saat Taqiya menceritakan kehidupan barunya di Bangladesh. Sekolahnya jauh dan dia harus naik mobil atau becak yang mirip seperti di film-film India.
Dia juga bercerita tentang rumah neneknya yang besar dan luas. Di halaman belakang ada banyak pohon rindang dan di depan rumah ada restoran dengan lampu-lampu indah yang berkelap-kelip di malam hari.
Taqiya pulang sekolah jam 1 siang waktu setempat, sementara aku pulang sekolah jam 4 sore WIB. Perbedaan waktu kami cukup jauh dan sehari-hari mereka menggunakan bahasa Inggris. Aku tersenyum sendiri karena belum sempat bertanya tentang mata uang di Bangladesh. Nanti aku akan tanyakan pada Taqiya.
Percakapan kami berakhir karena sinyal Taqiya kembali terputus. Namun, kami berjanji untuk selalu menjaga persahabatan ini. Taqiya berkata akan kembali ke Padang Panjang tiga tahun lagi.
Aku tak sabar menunggu saat itu tiba. Kami mungkin akan tumbuh menjadi remaja saat bertemu lagi. Aku yakin, itu akan menjadi momen yang sangat indah.
Sahabatku, semoga persahabatan kita abadi hingga ke surga. Aamiin. [CM/NA]