CemerlangMedia.Com — Pajak menjadi kewajiban yang harus dibayar rakyat, baik miskin atau kaya. Pembayaran pajak rutin dilakukan setiap bulan atau tahunnya, mulai dari pajak listrik, air, alat transportasi, penghasilan, tanah, dan masih banyak lagi. Pajak tersebut menjadi sumber pemasukan negara.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pajak menjadi tulang punggung dan instrumen penting bagi negara. Hasil dari pembayaran pajak dapat digunakan untuk membangun negara yang sejahtera dan adil. Dengan demikian, perkembangan negara akan terus membaik dari masa ke masa (14-7-2024).
Menkeu terlihat bangga dengan penghasilan negara yang meningkat dari pembayaran pajak, padahal banyak rakyat yang mengeluh dan keberatan dengan pembayaran tersebut. Ya, mau tidak mau, rakyat harus membayar. Jika tidak dibayar, rakyat akan terkena denda, bahkan fasilitas yang dipakai akan dicabut oleh pemerintah.
Begitu pula dengan fasilitas umum yang dinikmati rakyat, tidak ada yang gratis, semua terkena pajak. Pajak bagaikan buah simalakama dan rakyat tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti peraturan yang sudah ada.
Akibatnya, nasib rakyat makin melarat. Wakil rakyat yang diharapkan bisa mewakili dan membela rakyat kecil, justru bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Makin banyak pungutan yang dibebankan kepada rakyat, maka makin banyak pula pemasukan yang diterima oleh negara.
Jika benar uang pajak menjadikan negara maju, adil, dan sejahtera, kenapa masih banyak rakyat yang hidup serba kekurangan? Apalah artinya negara maju dengan berbagai kemegahan bangunan, sementara rakyatnya sendiri hidup dalam kemiskinan.
Masyarakat pun tidak menyadari jika mereka menjadi mesin uang bagi negara. Bahkan, banyak rakyat menganggap wajar jika ada pajak karena mereka menikmati fasilitas yang ada. Jika rakyat taat pajak, berarti mereka telah menyumbang dan berperan untuk kemajuan negara.
Di sini terlihat, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator saja. Negara abai dengan nasib dan kesejahteraan rakyat dan hanya mengutamakan keuntungan.
Sungguh miris hidup dalam sistem kapitalisme. Peran negara sangat minimalis sehingga rakyat makin sengsara. Sistem ini menjadikan rakyat sebagai sumber pendapatan melalui berbagai cara.
Kondisi yang berbeda jika sistem Islam diterapkan. Sistem yang memanusiakan manusia dan mengembalikan fungsi negara sebagai pelindung rakyat.
Dalam sistem Islam, rakyat merupakan amanah yang harus dijaga dan dijamin kesejahteraannya. Sementara itu, pendapatan negara dalam sistem Islam berasal dari berbagai sumber, seperti pengelolaan SDA, jizyah, dan masih banyak lagi.
Jizyah merupakan pajak yang diberikan kepada orang kafir yang hidup dalam negara Islam. Jizyah tidak dibebankan kepada seluruh orang kafir, tetapi hanya kepada laki-laki merdeka, balig, berakal, sehat, dan kuat. Jizyah dilakukan sebagai imbalan karena negara telah menjaga keamanan diri, harta, kelangsungan hidup, keadilan, dan kesejahteraan mereka.
Ketentuan mengenai jizyah dijelaskan dalam Al-Qur’an surah at-Taubah ayat 29, yang artinya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Alhasil, tidak ada pajak yang dipungut dari rakyat miskin. Sebaliknya, mereka akan dijamin dan diperhatikan oleh negara. Negara akan memberikan fasilitas untuk rakyat secara gratis, tanpa pungutan pajak. Dengan demikian, rakyat tidak akan memikirkan dan merasa terbebani oleh pungutan pajak.
Jadi, hanya sistem Islam yang bisa mewujudkan negara maju, adil, dan sejahtera. Ini karena Islam mengatur kepemilikan melalui sistem ekonomi Islam sehingga keadilan dapat dirasakan secara merata oleh rakyat.
Rita Razis [CM/NA]