CemerlangMedia.Com — Di tengah pembahasan rencana pengesahan Omnibus Law RUU Kesehatan, ratusan massa yang tergabung di dalam organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan tenaga kesehatan lainnya menggelar demonstrasi di depan gedung DPR, Jakarta pada Senin (5/6/2023).
Mahesa Pranadipa Mikael selaku Jubir Aliansi Nasional Nakes dan Mahasiswa Kesehatan Seluruh Indonesia sekaligus Calon Ketua Terpilih PB IDI 2022—2025 di tengah unjuk rasa menjelaskan tujuan aksi untuk menolak keberadaan RUU Kesehatan Omnibus Law yang saat ini masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2022.
Penolakan dilakukan karena proses-proses yang terjadi dalam Prolegnas ini terkesan sembunyi-sembunyi, tertutup, dan terburu-buru. Tanpa melibatkan sama sekali organisasi profesi sebagai dasar pengajuan naskah akademik yang kuat sebagai penjelasan dasar filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Dengan alasan tersebut, terindikasi adanya upaya liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan. Salah satunya dengan penghapusan UU profesi yang memarjinalisasi peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, serta penerbitan rekomendasi. Pasti akan mempertaruhkan keamanan kesehatan rakyat.
Selain itu, protes diajukan disebabkan perubahan pada masa berlaku surat tanda registrasi (STR) dalam RUU Kesehatan. Dalam aturan terkini yakni Permenkes Nomor 83 tahun 2019, STR berlaku selama lima tahun sejak pendaftaran oleh tenaga kesehatan berubah menjadi berlaku untuk selamanya, yang di seluruh negara tidak ada yang memberlakukan izin STR seumur hidup karena tetap harus dievaluasi secara berkala dengan tujuan untuk keselamatan pasien dan rakyat.
Sebenarnya jika kesehatan ditempatkan sebagai kewajiban negara dalam melayani rakyat, maka kesehatan tidak mungkin menjadi bagian yang dapat diindustrialisasi. Karena jika kesehatan dikapitalisasi maka pasti berorientasi pada keuntungan yakni orang sakit justru akan dieksploitasi.
Fungsi negara saat ini hanya sebagai regulator maka potensi industrialisasi kesehatan akan terjadi dan berkembang, mulai dari obat-obatan, tenaga kesehatan, peralatan medis, juga rumah sakitnya. Berbeda jika negara memegang kendali penuh pusat-pusat pelayanan kesehatan. Dengan kekayaan sumber daya alamnya, negara seharusnya mampu mengendalikan fasilitas dan pelayanan kesehatan sehingga tidak perlu melibatkan pihak swasta dalam pengelolaan kesehatan. Oleh karenanya, pelayanan kesehatan murah bahkan gratis dapat dirasakan oleh rakyat.
Rumah sakit adalah tempat yang benar-benar mementingkan urusan kesehatan bagi semua orang tanpa memandang latar belakang ekonomi dan sosial pasien. Seharusnya hal seperti ini yang menjadi patokan bagi dunia medis bahwa rumah sakit haruslah berdiri untuk semua golongan.
Tari Handrianingsih
Kota Yogyakarta, DIY [CM/NA]