CemerlangMedia.Com — RUU Penyiaran menimbulkan polemik. Di Sumbar, RUU Penyiaran tersebut banyak dikritisi, di antaranya oleh beberapa lembaga advokat dan sejumlah organisasi. Pasalnya, ada temuan yang cukup kompleks, seperti ancaman, intimidasi, bahkan tindak kekerasan dari aparat penegak hukum saat melakukan tugas-tugas jurnalistik, seperti peliputan aksi demonstrasi dan sejenisnya. Ilhamdi Putra selaku Manajer Riset LBH Pers Padang mengatakan, RUU Penyiaran terkesan mewajibkan media-media arus utama yang umumnya dimiliki atau dikelola politisi berfungsi sebagai corong politik kekuasaan (28-05-2024).
Kuat dugaan, adanya revisi UU Penyiaran berawal dari sebuah persaingan politik antara lembaga berita melalui platform teresterial versus jurnalisme platform digital. Sebab, lembaga pemberitaan atau karya jurnalistik yang hadir di digital platform saat ini makin menjamur dan tidak bisa dikontrol oleh Dewan Pers, maka keluarlah ide revisi UU Penyiaran tersebut.
Draf revisi UU tentang penyiaran yang teranyar menuai kontroversi karena dianggap akan mengancam kebebasan pers, membatasi informasi publik, hingga membatasi keberagaman konten di ruang digital, misalnya Pasal 50 B ayat (2) dalam RUU Penyiaran, dinilai dapat mengancam kebebasan pers. Sebab, pasal tersebut memuat Standar Isi Siaran (SIS), salah satu poinnya adalah huruf c, yakni melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi. RUU tersebut berpotensi memudahkan pemerintah membatasi berita yang menurut mereka meresahkan atau mengancam kekuasaan, misal terkait skandal-skandal yang dilakukan para penguasa dan kroni-kroninya.
Ada tiga poin penting yang perlu diperhatikan terkait rancangan RUU Penyiaran tersebut, yaitu definisi penyiaran yang diperluas, larangan jurnalistik investigasi, dan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menindaklanjuti permasalahan jurnalistik. Ketiga poin tersebut dapat memberangus kinerja Dewan Pers. Semua ini seolah sudah dirancang guna melindungi kepentingan para penguasa yang tidak ingin tindak-tanduknya terendus sehingga membahayakan posisi mereka.
Media dalam sistem demokrasi kapitalis cenderung mengikuti tipikal politik pemerintahan. Media sejatinya merupakan alat politik bagi sebuah negara karena dapat memengaruhi kebijakan institusi politik dan dijadikan katalis (penetral) ketika terjadi konflik perubahan institusional. Media juga merupakan alat yang paling efektif untuk melakukan hegemoni dan memengaruhi masyarakat.
Di dalam sistem Islam, media memiliki peran strategis, yaitu melayani ideologi Islam yang berfungsi membangun masyarakat yang kokoh secara agama, menginformasikan segala keagungan Islam kepada umat. Adapun informasi selain hal tersebut, seperti informasi keseharian, program atau acara politik, pemikiran dan sains, serta informasi tentang peristiwa dunia, itu semua mendapat arahan dan kontrol langsung dari negara.
Negara dalam sistem Islam tidak menyediakan tempat bagi penyebaran pemikiran dan pemahaman yang rusak dan merusak, pemikiran sesat dan menyesatkan, kedustaan dan berita manipulatif. Media hanya akan menjadi “penyambung lidah” penguasa kepada rakyat. Segala informasi apa pun akan disiarkan secara transparan sehingga menumbuhkan kecintaan dan bela negara dalam diri masyarakat Islam.
Terlebih lagi, di dalam sistem Islam, rakyat memiliki hak terhadap penguasa (syura). Rakyat berhak mengkritisi, memberikan pendapat, dan mengontrol kinerja penguasa. Apabila penguasa tidak meminta pendapat dari rakyat (dalam berbagai urusan), ini berarti penguasa tersebut sudah melakukan suatu kelalaian. Wallahu a’lam
Rina Herlina
Payakumbuh, Sumbar [CM/NA]