Oleh: Novida Sari, S.Kom.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Allow, Bestie, di mana pun berada? Bangga deh, punya bestie yang salihah, cerdas, dan gak kudet all about Islam, ajaran terbaik sejagat raya. Salah satunya, bestie-ku yang sedang baca tulisan ini. Iya, kamu.
Selama ini, kita tau-nya hukum Islam itu cuma lima. Mulai dari wajib, sunah, makruh, mubah, dan haram atau lebih dikenal dengan Ahkamu Asy-Syar’i. Padahal, ya, Bestie, hukum syar’i tidak hanya meliputi itu saja, masih ada 5 jenis hukum lainnya. Oleh karena itu, yuk kita bahas satu per satu.
Mengenal Hukum Syariat Lebih Dekat
Mengenal hukum itu memang harus lo, Bestie. Tidak sekadar dihafal dan dipahami, tetapi lebih kepada penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pemuda yang sadar kalau hidup itu bukan hanya sekadar makan dan minum, tetapi juga punya banyak fase hingga kehidupan abadi di akhirat, tentu kita harus hati-hati dalam menjalani kehidupan. Meski sekarang dunia kita penuh warna, jangan sampai warna dunia kita itu menjadi sesuatu yang gak Allah suka.
Saat mengupas hukum syariat, tentu kita harus melihat dari definisinya dahulu, maka para ulama ushul fiqh, menyebutkan hukum yang diberlakukan pada manusia dengan Al-Hukmu Asy-Syar’iyyu, yakni
الحكم الشرعي هو خطاب الشارع المتعلق باءفعال العباد بالاءقتضاء اوالتخيير او الوضع
Dimana خطاب (khitabun) merupakan dalil yang mengandung tuntutan untuk diamalkan ataukah ditinggalkan.
Sementara الشارع (Asy-Syari’i) itu penegasan bahwa Allah-lah satu-satunya yang menjadi legislasi hukum. Manusia tidak punya hak membuat hukum, meskipun manusia telah diberikan akal yang sempurna untuk memilah dan memilih yang benar. Akan tetapi, peranan akal ini diciptakan untuk memahami seruan (khitab) dari Allah Swt..
Kata المتعلق (al-muta’allaqu) bersifat mengikat, seruan dari Allah sebagai Asy-Syari’i itu menjadi standar atas semua perbuatan. So, setiap yang dilakukan manusia itu tidak boleh asal, kudu tau dulu, ya, Bestie, status hukumnya.
Terus باءفعال (biaf’alin) itu meliputi perkataan dan perbuatan hati manusia. Sementara hati itu beda ranah, ya, Bestie, hati itu masuk pada kategori akidah.
Kata العباد (Al ‘ibadi) mencakup seluruh manusia tanpa terkecuali karena hukum dan perlakuan itu ada lo, Bestie, ke semua manusia, termasuk pada orang gila, anak kecil, bahkan orang kafir.
Lanjut, kata بالاءقتضاء (bil iqtidhoi) berasal dari dalil berupa tuntutan untuk kita lakukan atau kita tinggalkan.
Kata التخيير (At Takhyiri) berasal dari dalil berupa pilihan terhadap perbuatan ataupun terhadap benda.
Nah, inilah yang kita kenal dengan hukum taklifi alias Al-Ahkamu Asy-Syari’i. Hukum taklifi ini merupakan perintah dari Allah Swt. kepada manusia secara langsung.
Selain hukum taklifi, kita juga kudu paham, nih, sama hukum berikutnya yang disebutkan pada pengertian hukum syariat tadi, ya, yakni الوضع (Al Wadh’i), yang merupakan dalil penetapan dan penentuan terhadap berlakunya tuntunan dari Allah Swt.. Nah, lantas apa bedanya? Simak lanjut, yuk!
Perbandingan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i
Ada 5 hukum taklifi, demikian juga dengan hukum wadh’i. Kalau dalam hukum taklifi, kita sudah biasa mengenal;
Pertama, wajib (fardhu), berupa tuntutan Asy-Syari’ untuk dikerjakan, dengan tuntutan yang tegas sehingga jika tidak sesuai dengan perintah Asy-Syari’ (Allah Swt.) akan berdosa.
Kedua, mandub (sunah, nafilah, mustahib) merupakan perintah dari Asy-Syari’ untuk dikerjakan, tetapi bukan dengan tuntutan yang tegas (غير جازم) sehingga kalau ditinggalkan tidak membuat berdosa, ya, Bestie.
Ketiga, mubah memilih antara mengerjakan ataupun meninggalkan.
Keempat, makruh yang mengandung perintah untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntutan yang tidak tegas sehingga kita tidak berdosa mengerjakannya.
Kelima, haram yang merupakan tuntutan dari Asy-Syari’ untuk meninggalkan perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Kalau dikerjakan juga, maka kita berdosa.
Oleh karena itu, dalam hukum wadh’i, kita juga harus mengenal. Pertama, sebab itu merupakan tanda akan adanya suatu hukum syarak. Kedua, syarat merupakan perkara yang padanya bergantung hukum. Ketiga, mani’ merupakan apa-apa saja keberadaannya memastikan tidak adanya hukum atau yang memastikan batalnya sebab. Dengan kata lain, hal yang menjadi penghalang, nih, Bestie. Keempat, azimah dan rukshah. Azimah merupakan hukum pokok, sementara rukshah adalah keringanan atas hukum.
Kelima, sah, batal, dan fasad. Sah merupakan amal yang sesuai dengan perintah Asy-Syari’ (Allah Swt.), batal kebalikan dari sah, yakni tidak sesuai dengan perintah Asy-Syari’, dan fasad itu kondisi yang asal perbuatan itu sesuai dengan syarak, tetapi ada sifat dari perbuatan itu (di luar rukun dan syarat) yang membuat cacat perbuatan asal tersebut. So, ada yang nyimpang dan harus diperbaiki gitu, Bestie.
Nah, hukum taklifi itu langsung mengatur perbuatan manusia dan berada dalam kuasa manusia (maqdur lil mukallaf), sementara hukum wadh’i itu tidak langsung mengatur perbuatan manusia, dan kadangkala nih, Bestie, hukum wadh’i ini berada dalam kuasa mukallaf, terkadang berada di luar kuasa mukallaf. Untuk memudahkan kita lebih memahaminya, kita masukkan contoh yuk!
Memahami Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i
Allah telah berfirman di dalam surah Al-Baqarah ayat ke-183,
ياءيهاالذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلهم لعلكم تتقون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa.”
Dalam hukum taklifi, berpuasa itu hukumnya wajib karena Allah menyebutkan dengan tuntutan yang jelas, dengan penggunaan kata كتب (kutiba) ataupun diwajibkan. Oleh karenanya, kalau kita tidak mengerjakan puasa, kita akan berdosa.
Sementara dalam hukum wadh’i, yang berkenaan dengan puasa, bisa kita detaili begini, Bestie,
Pertama, sebab. Terjadinya puasa dengan melihat rukyatul hilal, itu lo, Bestie, pantauan bulan baru pada 29 Syakban. Jika hilal terlihat, maka besoknya jatuh 1 Ramadan, jika hilal tertutup atau tidak nampak, apakah karena kabut, cuaca, atau yang lainnya, maka besoknya belum masuk Ramadan, melainkan menggenapkan Syakban menjadi 30 hari.
Kedua, syarat yang merupakan tempat bergantungnya hukum. Kalau dalam puasa, berarti kita harus hadir, bukan dalam kondisi perjalanan (safar), syarat berikutnya kudu muslim, terus balig alias udah dewasa.
Ketiga, mani’. Perempuan haidh dan nifas menjadi penghalang untuk berpuasa. Meskipun mungkin perempuan-perempuan yang sedang haidh atau nifas sanggup, tetapi kondisi haidh dan nifas ini menjadi batalnya sebab berpuasa.
Keempat, azimah. Puasa itu hukum pokoknya adalah wajib, tetapi jika kita berada dalam perjalanan (safar) atau dalam keadaan sakit yang tidak memungkinkan untuk puasa, maka kita bisa mengambil rukshah, yakni keringanan untuk tidak berpuasa dan diganti di hari yang lain.
Kelima, sah apabila kita melakukan ibadah puasa sesuai dengan tuntutan Asy-Syari’, seperti tidak makan, tidak minum, menahan diri dari perkara-perkara yang membuat puasa batal dari Subuh hingga Maghrib tiba. Sementara batal jika melakukan perkara yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan perkara yang membatalkan puasa lainnya. Akan tetapi, untuk fasad itu berkaitan khusus dengan muamalah, ya, Bestie. Tidak ada kaitannya dengan ibadah.
Pentingnya Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i
Setelah mengenal 5 hukum taklifi dan 5 hukum wadh’i, harusnya kita kian tenang menjalani kehidupan, ya, Bestie. Hanya dengan memahami kedua hukum ini, kita bisa meraih yang dinamakan dengan rida Allah Swt.. Kondisi yang pasti dirindukan oleh seorang hamba yang bertakwa.
Nah, hukum syariat ini bisa meliputi semua aktivitas kita secara langsung maupun tidak langsung, ya, Bestie. Oleh karenanya, yuk, dalami lagi ilmu-ilmu yang mengantarkan kita pada ketenangan jiwa karena berbuat sesuai dengan apa yang Allah suka, termasuk dalam muamalah maupun dalam beribadah.
Baik dalam muamalah juga ibadah, hukum taklifi dan hukum wadh’i ini diperlukan banget lo, Bestie. Gimana, sudah siap memperdalam dan mengenal hukum taklifi dan hukum wadh’i dalam setiap aktivitas kita sehari-hari selama hidup di dunia? Yuk, bergabung bersama circle yang peduli pada hukum syariat agar kita bisa jadi bestie di dunia hingga akhirat. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]