Narasumber: K.H Hafidz Abdurrahman, M.A.
Imam Al Mawardi memberikan nasihat, “Hendaknya Anda tidak menyia-nyiakan kesehatan tubuhmu, waktu luangmu, dan jangan yakin dengan amalmu yang telah lalu. Jadikanlah kerja keras sebagai ghanimah/keuntungan, amal adalah kesempatan ketika kamu luang. Waktu yang sudah lewat tidak bisa didapatkan kembali.”
CemerlangMedia.Com — Selama ini, mungkin kita merasa amal saleh kita banyak dan sudah sempurna. Akan tetapi, ternyata amal saleh tersebut tidak ada yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Taala karena rusak oleh perkara-perkara yang membinasakan atau al-muhlikat.
Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa orang yang melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat mempunyai penyakit yang bisa merusak amal. Pertama, melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat bukannya mendapat pahala, tetapi justru mendapatkan dosa. Kedua, melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat bukan memperberat pahala, tetapi justru meringankan pahala. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh merasa pede dan merasa sudah selesai dengan amal salehnya.
Adapun penyakit yang merusak dan mendatangkan dosa, di antaranya,
Perkara pertama, mengagumi dan membanggakan amal-amal yang telah dilakukannya. Akan tetapi, dalam konteks seorang guru yang ingin memberikan contoh dan teladan bagi muridnya adalah sesuatu yang dibolehkan, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Kitab Bidayatul Hidayah.
“Seorang guru ketika melakukan amal dan dilakukan di hadapan santri adalah dalam rangka memberi contoh dan keteladanan.”
Allah Subhanahu wa Taala berfirman dalam surah Al Mulk ayat 2,
“Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Al Mulk: 2).
Berdasarkan ayat di atas, dalam melakukan amal, kuncinya adalah ahsanu amala (paling sempurna), bukan yang paling banyak. Syaratnya adalah ikhlas dan benar. Kedua syarat itu ditetapkan di dalam Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama ketika menafsirkan ayat ini.
Ahsanu amala menjadi patokan, apakah amalan tersebut diterima atau tidak. Jika amal itu dilakukan dengan ikhlas, tetapi caranya salah, maka tidak diterima. Begitu pula sebaliknya, ketika caranya benar, tetapi tidak ikhlas, maka amal tersebut juga tidak diterima. Jadi kedua syarat itu, yakni ikhlas dan benar harus ada.
Terkait keikhlasan, seseorang yang ikhlas akan melakukan amal hanya untuk Allah. Ia tidak akan mengingat-ingat amalannya, cukup Allah saja yang menilai. Dengan begitu, amal yang ia lakukan tidak terciderai oleh penyakit yang merusak (mengingat-ingat amal). Oleh karena itu, keikhlasan ini perlu dijaga terus-menerus.
Di dalam Kitab Taqarrub Ilallah Jalan Menuju Taufik dari Allah Swt., karangan Syekh Fauzi Sinuqruth, menuliskan kisah seseorang yang berperang menggunakan cadar sehingga tidak seorang pun mengenalinya. Ini dilakukannya agar tidak ada unsur membanggakan diri untuk menjaga amalnya.
Perkara kedua yang merusak amal saleh adalah mengungkit-ungkit amalan dan menolak nikmat Allah Taala. Jika seseorang membanggakan amalnya, berarti orang tersebut lancang. Sementara orang yang lancang terhadap Allah dihukumi maksiat.
Muwarriq Al Hijri rahimahullah mengatakan, “Tidak melakukan ketaatan lebih baik daripada kamu ujub dalam ketaatan.”
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Orang yang tertawa dan pada saat yang sama mengakui dosanya lebih baik daripada orang yang menangis, tetapi lancang kepada Allah Taala. Orang yang menangis diliputi penyesalan karena dosa-dosanya, tentu lebih baik daripada orang yang tertawa dan mengakui kelalaiannya.”
Oleh karena itu, kita mesti berhati-hati, jangan sampai amalan tersebut menjadi kebanggaan dalam diri. Tertawa dan senang hanya karena mensyukuri luasnya nikmat Allah Taala.
Perkara ketiga yang merusak amal adalah fasiq, yakni terlalu yakin/pede bahwa amalan itu diterima oleh Allah Taala. Sikap demikian akan melahirkan dua hal, yaitu merasa puas dan meremehkan. Sikap tersebut akan melahirkan sifat malas, yakni bersandar pada amalan yang telah lalu dan lalai terhadap amalan yang akan datang.
Sementara sudah menjadi fitrah manusia, berupa rasa malas, kelemahan secara fisik, dan tidak memiliki kekuatan terus-menerus. Untuk itulah, Nabi Shalalalahu alaihi wasallam mengajarkan doa,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian).” (HR Bukhari no. 6367 dan Muslim no. 2706).
Selanjutnya, seseorang yang sudah merasa yakin dengan amalnya, ia akan merasa aman dan tidak takut kepada Allah Taala. Jika perasaan takut sudah tidak ada, seseorang akan mudah meremehkan perintah Allah. Segala larangan-Nya akan dianggap biasa dan mudah mengabaikan perintah-Nya.
Imam Ibnu Sammak berkata, “Sesungguhnya milik Allah apa yang sudah berlalu. Amal yang dilakukan sudah menjadi milik Allah. Dan sesungguhnya milik Allah juga yang tersisa.”
Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk memperbanyak kebaikan dan menyedikitkan dosa. Imam Al Mawardi memberikan nasihat, “Hendaknya Anda tidak menyia-nyiakan kesehatan tubuhmu, waktu luangmu, dan jangan yakin dengan amalmu yang telah lalu. Jadikanlah kerja keras sebagai ghanimah/keuntungan, amal adalah kesempatan ketika kamu luang. Waktu yang sudah lewat tidak bisa didapatkan kembali.” [CM/Na]