Cinta untuk Normala

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Rihana El Lova
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)

CemerlangMedia.Com — Normala mematuk diri di cermin. Ia ingin bermanja-manja dengan tubuhnya setelah menghabiskan waktu di kamar mandi dengan perawatan. Kini tubuh wanita yang sedang mengandung 5 bulan itu terasa segar.

Rutinitas urusan domestik rumah tangga serta mengurus mertua yang sakit dan lumpuh nyaris tidak mempunyai waktu luang untuk dirinya sendiri. Saat sedang asyik membalurkan handbody ke tubuhnya, Normala mendengar sesuatu yang pecah dari kamar mertuanya. Sontak ia berlari ke sumber suara.

“Mamaaaa! Mama gak apa-apa, Ma?” Tanyanya panik melihat ke arah ibu mertuanya.

“Mama mau minum? Ya Allah Ma, maaf tadi Normala lama di kamar mandi. Normala lihat, Mama sedang tidur pulas, makanya Normala tinggal ke kamar mandi.” Ucap Normala sambil menyodorkan air minum ke ibu mertuanya.

“Sebentar, Normala bersihin dulu pecahan piringnya ya, Ma. Kesenggol karena mau ambil air ya, Ma? Maaf banget, ya, Ma.” Wanita muda itu terus mengoceh dengan kata-kata penyesalannya. Dengan sigap, ia juga membersihkan pecahan-pecahan piring tadi.

“Maaf, Nduk, piringnya Mama pecahin.” Suara lirih mertuanya memecah konsentrasi Normala yang tengah membersihkan serpihan-serpihan beling.

Gak apa apa, Ma.” Senyum mengambang Normala kepada mertuanya seolah menunjukkan bahwa kedekatan keduanya tidak seperti mertua dan menantu, melainkan ibu dan anak kandungnya.

Normala ke luar kamar untuk membuang sampah beling yang sudah dibungkus rapi, sekembalinya ke kamar ia bercengkerama dengan ibu mertuanya.

“Ma, ntar ba’da Maghrib, Normala pergi ke klinik ya, Normala ada jadwal cek kandungan.” Pamitnya seraya mengelus-elus perutnya yang sudah kelihatan agak membuncit.

“Raydhan belum datang? Nanti ditemani Raydhan kan kontrolnya?” Tanya Ibu mertuanya penasaran.

Normala diam sejenak, ia menggeleng kepalanya pelan, sambil tersenyum kaku.

Nggak, Ma, Mas Ray pulang kantor mau main sama Danis katanya.” Sahut Normala berusaha tenang, ada kecewa yang dipendam. Netra matanya tidak dapat berbohong bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Sekuat tenaga bulir-bulir bening yang akan melintasi pipinya ia tahan agar tak jatuh.

Ini adalah kedua kalinya Raydhan tidak menemaninya kontrol dengan alasan yang sama, yaitu menemani Danis, anak pertama Raydhan, buah pernikahan pertamanya dengan Rania. Sudah pasti, saat Raydhan bertemu Danis yang usianya baru menginjak 4 tahun, ibu Danis atau mantan istri Raydhan akan turut serta membersamai. Mereka kerap meluangkan waktu bersama dengan alasan demi Danis.

Cemburu? Tak usah ditanya, Normala adalah wanita normal yang takut suaminya berpaling kepada wanita lain. Terlebih pada wanita masa lalu suaminya yang telah lama menjalin hubungan asmara bahkan sejak di bangku kuliah. Namun, inilah konsekuensi menikah dengan duda anak satu, cerai hidup. Normala harus menelan rasa cemburunya itu.

Sementara itu, ibu mertuanya menatap sendu Normala. Usianya yang sudah 60 tahun tidak dapat dibohongi begitu saja. Senyum manis Normala yang sengaja ditujukan kepadanya tidak mampu menyembunyikan guratan kecewa.

“Kan baru dua hari lalu bertemu Danis, kok…” Ucapnya menggantung, Bu Farida, yang tak lain adalah mertua Normala, tak kuat meneruskan kata-katanya. Ia pun kecewa dengan putranya itu. Ia merasa telah gagal mendidik putra semata wayangnya menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Laki-laki yang mampu berbuat adil, tidak bertindak berdasarkan hawa nafsunya semata.

Sebenarnya sudah sering Bu Farida menasihati putranya itu untuk mengajak serta Normala jika ingin menemui Danis agar terhindar dari fitnah. Lagi pula jalan bertiga sekalipun bersama Danis melanggar syariat Islam, sebab Raydhan dan Rania bukan lagi sebagai suami istri.

“Maafkan anak Mama ya, Nduk.” Ucapan itu terlontar dari Bu Farida, ia tahu menantunya kini sedang dilanda cemburu.

Gak apa apa kok, Ma, Normala bisa sendirian kok.” Ujar Normala masih disertai senyuman di bibirnya.

Magrib pun tiba, usai salat, Normala siap-siap ke klinik kandungan, tak lupa pamit dan cium tangan ibu mertuanya itu. Langkah Normala diiringi tatapan pilu Bu Farida. Ia merasa iba sama menantunya itu.

Setibanya di klinik, Normala melakukan registrasi kemudian berjalan ke arah sofa yang kosong. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa itu. Sambil menunggu dipanggil ke ruangan dokter, ia mengambil gawai dan menyasar aplikasi hijau, ia arahkan ke kolom Pembaruan, di sana ia mendapatkan unggahan Rania dengan foto Danis dicium oleh Rania dan Raydhan di pipi kanan kiri, seolah menunjukkan keluarga utuh bahagia, disertai kata-kata, “Hempaskan orang ketiga yang mau menghancurkan kebersamaan kita.”

Kalimat tersebut menghujam dada Normala, siapakah yang dianggap orang ketiga oleh Rania? Namun, Normala tak mau ambil pusing, ia tetap fokus pada kondisi janinnya.

Jari Normala berpindah pada aplikasi biru, di situ tak kalah terkesiapnya. Ia melihat postingan suaminya dengan unggahan foto bersama Danis.”Susah memang kalau kangen sama Ibunya, beralasan ingin ketemu anak.” Komentar salah seorang temennya yang disambut gelak tawa teman-teman yang lainnya, seolah tak mengindahkan kehadiran Normala sebagai istri Raydhan.

Tiba di rumah, Normala melihat Raydhan sedang di kamar ibunya, sepertinya sedang membahas sesuatu yang serius sampai tidak mendengar ucapan salam Normala. Sekilas Normala melihat Bu Farida menyeka pipinya berkali kali, sementara Raydhan tak henti-hentinya menenangkan ibunya itu. Tak ada keinginan Normala untuk bergabung, ia berlalu melewati kamar tersebut menuju kamarnya.

Seusai membersihkan diri dan berganti pakaian, Normala hendak ke dapur untuk mengambil air, tenggorokannya kering, selama di klinik nyaris tak nafsu untuk minum walaupun dahaga melanda. Postingan Riana dan komentar teman-temannya di media sosial yang seolah-olah sengaja membuat panas hati Normala berhasil membuat gundah istri Raydhan itu.

Bruukk…
“Awwww,” seru Normala.

Saat tangan Normala hendak meraih handle pintu, pintu itu terbuka dengan dorongan yang kuat. Raydhan membuka pintu dan daun pintu tepat mengenai tubuh istrinya. Tatapan tajam Raydhan pada Normala yang tengah kesakitan membuat Normala ketakutan. Empati Raydhan pada istrinya dikalahkan oleh emosi yang membumbung tinggi.

Ngomong apa tadi sama Mama, udah aku bilangin, jangan ngadu macam-macam sama Mama,” bentak Raydhan.

“Tadi Mama nanya Mas, ke klinik sama Mas Raydhan tidak, yaa aku…” Belom sempat Normala menyelesaikan kalimatnya, tetapi Raydhan menggapai tangan Normala dengan kasar dan membawanya ke tepian ranjang. Raydhan tidak ingin pertengkarannya dengan Normala terdengar Mamanya.

“Asal kamu tahu ya, Danis itu anak kandungku, dan Rania adalah ibu Danis, bagaimanapun mereka akan tetap berhubungan sama aku, Rania adalah cinta pertamaku sampai kapan pun tak akan pernah tergantikan.” Ujar Raydhan penuh penekanan. Ucapannya pelan, tetapi kalimat terakhir itu terdengar seperti suara petir di telinga Normala.

Seketika bulir bening Normala tak tertahan keluar. Jadi selama ini benar yang dirasakan bahwa cinta yang selama ini dirasakan adalah cinta sisa dari Raydhan yang bahkan nyaris habis. Tulusnya mengurus ibu mertua sebagai buah bakti kepada suaminya ternyata tidak serta merta membuat suaminya itu menghargai sebagai seorang istri yang salihah.

Raydhan seharusnya tahu bahwa tidak ada kewajiban Normala untuk mengurus ibunya, melainkan adalah kewajiban Raydhan sendiri sebagai anak. Sebagai seorang suami, tidak sepatutnya Raydhan mengeluarkan kata-kata yang dapat menyakiti istri salihahnya itu.

Bukankah sebaik-baiknya seorang laki-laki adalah yang berbuat baik kepada istrinya sebagaimana hadis Rasulullah saw. “Orang yang imannya paling sempurna di antara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istrinya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Sikap Raydhan sekaligus mematahkan anggapan bahwa laki-laki yang berbakti kepada ibunya akan baik kepada istrinya. Nyatanya tidak, Raydhan hanya berbakti kepada ibunya saja, sikapnya kepada Normala makin menjadi-jadi, dingin, kaku, dan seringkali berbuat seenaknya.

Selentingan kabar yang sampai di telinga Normal bahwa Raydhan rela melepas Rania demi bakti kepada ibunya. Rania tidak mau mengurus Bu Farida yang sakit-sakitan. Inilah yang menjadi pertimbangan Normala untuk menerima pinangan Raydhan dulu. Namun, ternyata, harapan itu kini tak sesuai kenyataan.

Normala tidak dapat berbuat banyak di dalam pernikahannya, rasanya ingin segera pergi dari Raydhan. Namun, ia sadari, ada sosok yang sangat memerlukannya, terlebih ia sedang mengandung. Ia memutuskan untuk tetap dalam pernikahannya dan tetap mengurus ibu mertuanya dengan tulus.

Sementara itu, rupanya pertengkaran suami istri tersebut terdengar sampai ke kamar Bu Farida. Walaupun samar, ia dapat mengetahui bahwa anak mantunya sedang dalam pertengkaran hebat. Untuk kedua kalinya dalam pernikahan anaknya, Bu Farida menjadi penyebab pertengkaran dalam rumah tangga anaknya.

Ingatannya kembali berputar pada beberapa tahun lalu, bayangan cucunya yang masih 2 tahun meringkuk ketakutan melihat kedua orang tuanya saling berteriak. Bayangan Rania dulu yang berlaku kurang ajar kepadanya terus menghantui. Raydhan yang kala itu baru pulang kantor, murka kepada istrinya dan melempar vas bunga kepada Rania.

Bayangan-bayangan masa lalu itu terus berputar tanpa henti, jantung Bu Farida berdegup kencang, tubuhnya tiba-tiba kaku, kakinya dingin dan terus menjalar ke suruh tubuhnya, matanya membelalak dan berkunang-kunang, pandangannya kabur kemudian gelap.

Menjelang subuh, Normala bangun melewati suaminya yang tidur di sofa kamar. Ia hendak berwudu dan menunaikan salat. Sebelum keluar dari kamar, ia melihat sekilas ke cermin, ternyata basuhan air wudu tidak menghilangkan sembab di wajahnya akibat menangis semalam.

Normala ke luar kamar, ia ingin ke dapur mengambil minum yang semalam tertunda. Tak sengaja ia melihat pintu kamar mertuanya terbuka, Ia masuk dalam keadaan was-was, alangkah terkejutnya setelah melihat keadaan mertuanya, sontak ia berteriak memanggil Raydhan.

Raydhan yang saat itu tertidur, setengah sadar mendengar suara Normala, disipitkan matanya, memastikan bahwa memang ada yang memanggil. Setelah menyadari bahwa Normala berteriak memanggil namanya dengan histeris, ia bangkit dan segera beranjak.

Tubuhnya bergetar hebat melihat ibunya telah terbujur kaku. “Innalilahi wa innailaihi rajiun,” ucapnya dengan suara parau seraya menutup mata jenazah ibunya.

Teman dan kerabat Raydhan datang silih berganti untuk melayat, begitupun Rania dan Danis, Danis duduk di pangkuan Raydhan dengan gadget di tangannya. Sementara Rania duduk di samping Raydhan, sesekali bergelayut manja pada mantannya itu dan berbincang dengan para pelayat, seolah nyonya rumah.

Melihat pemandangan itu dari teras rumah, Normala makin muak dengan tingkah laku mereka. Ia merasa tak ada lagi yang bisa dipertahankan dalam rumah tangganya, selama ini Raydhan menikahinya hanya untuk membantu mengurus ibunya.

Sekarang ibunya sudah tidak ada, sudah saatnya Normala keluar dari rumah itu. Ia pun beranjak ke kamarnya, mengemasi barang-barangnya, kemudian berbaur dengan para pelayat yang keluar dari rumah itu. Normala pergi dengan luka dan duka.

Menjelang sore, pelayat mulai sedikit. Tapi Raydhan tak melihat Normala, ia belum menyadari bahwa Normala telah pergi. Setelah semua pelayat berpamitan pulang, ia pun tetap tak menemukan Normala di rumahnya. Setiap sudut ruangan ia sisir, tetapi Normala tidak ada. Raydhan mulai gelisah setelah ia mendapati barang dan baju-baju Normala sudah tidak ada di tempatnya.

Raydhan dilanda kebingungan, ia tak tahu ke mana harus mencari Normala. Selama ini ia tidak kenal teman Normala karena selama yang ia tahu Normala tidak pernah ke luar rumah, hanya mengurus ibunya.

Di kampung pun, Normala tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Raydhan mengusap wajah dengan kasar. Apalagi ia menyadari bahwa Normala sedang mengandung anaknya.

Raydhan bergegas ke luar rumah, sambil bertanya kepada setiap orang yang ia temui tentang keberadaan Normala, tetapi hasilnya nihil.

Tepat tiga hari kepergian Normala, Raydhan tidak pulang ke rumah. Ia berjalan menyusuri jalanan dan berhenti di setiap masjid yang dilaluinya, puluhan panggilan dari Rania tidak Ia hiraukan. Hingga akhirnya, kerumunan orang di sebuah masjid menuntunnya untuk bergerak mendekati.

“Normalaaa, Diiiiik…!” Sambil teriak Raydhan bergegas memangku wanita pingsan yang dikerumuni warga itu. Buru-buru ia meminta tolong untuk segera membawa istrinya ke rumah sakit, beruntung seorang berbaik hati mau mengantar mereka.

Tiba di ICU rumah sakit, Raydhan terus memegangi tangan Normala sambil berbisik, “Mas janji akan menjagamu dan anak kita, bertahanlah, mMs akan selalu membahagiakanmu,” ujar Raydhan di telinga Normala.

Mata Normala membuka dengan lemah, ia tak percaya, Raydhan menunggunya dengan penuh kegalauan sambil terisak. Selang oksigen masih menempel di hidungnya, ia masih lemah untuk menggerakkan tangannya yang digenggam erat laki-laki yang masih berstatus suaminya itu.

“Aku haus,” ujar Normala lemah dan pelan tetapi mampu membuat Raydhan menatap kemudian mendekati wajahnya ke arah wajah Normala.

“Adik haus? Mas ambil air dulu, ya, “Raydhan berbisik dengan penuh rasa bahagia, segera ia ambil air untuk Normala, kemudian menyuapi dengan penuh rasa sayang.

Sepulang dari rumah sakit, Raydhan berjanji akan menjaga Normala lahir dan batin. Ketika menemui Danis pun, ia selalu mengajak serta Normala. Bahkan sering mengajak Danis menginap di rumah mereka, tentu saja tanpa Rania karena Raydhan sudah memahami pergi bersama Rania adalah perbuatan yang mendekati zina dan Raydhan telah bertaubat atasnya. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *