Oleh: Ahmadi
(Siswa SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan)
CemerlangMedia.Com — Matahari perlahan mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan langit yang memerah jingga. Di sebuah desa kecil yang tenang, suara azan Maghrib terdengar syahdu dari masjid di ujung jalan.
Di rumah sederhana itu, Iky tengah menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Usianya baru menginjak 20 tahun, seorang laki yang gagah, tampan, dan penuh kasih sayang. Meskipun hidup dalam kesederhanaan, ia selalu merasa cukup dan bersyukur atas apa yang dimilikinya.
Iky tinggal bersama ibunya, Bu Mariam, seorang janda yang membesarkannya dengan penuh cinta setelah sang ayah meninggal saat Iky masih kecil. Mereka menjalani hidup dengan sederhana, tetapi selalu dipenuhi dengan kehangatan keluarga dan kebahagiaan kecil.
Setiap hari, Iky mengajar mengaji anak-anak di kampungnya. Menjadi teladan bagi mereka dan selalu mengajarkan nilai-nilai keislaman yang luhur.
Di kampung yang tenang ini juga tinggal seorang gadis bernama Efa. Seorang gadis yang saliha dan rajin beribadah.
Efa sering membantu di masjid dan aktif dalam kegiatan sosial di kampung. Meskipun kehidupannya juga tidak berlebihan, ia selalu berusaha membantu sesama dan menjalani hidupnya dengan penuh keikhlasan.
Sejak lama, Iky dan Efa saling mengenal. Dalam diam, mereka saling menyimpan perasaan yang mendalam.
Efa dan Iky tidak pernah mengungkapkan perasaan mereka secara langsung. Keduanya sadar bahwa perasaan cinta harus dilandasi oleh niat yang suci dan mengarah kepada rida Allah.
Dalam keheningan malam, mereka sering berdoa, memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk jika memang mereka ditakdirkan untuk bersama. Namun, perjalanan hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana.
Suatu hari, Iky dipanggil untuk bekerja di luar kota. Ia mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah perusahaan di ibu kota.
Sebuah kesempatan yang tidak bisa ia lewatkan. Dengan begitu, ia bisa membantu keluarganya yang hidup dalam keterbatasan.
Sebelum berangkat, Iky datang ke rumah Efa untuk berpamitan. Saat itu, Efa tengah menjemur pakaian di halaman depan.
“Efa, aku pamit. Aku akan berangkat ke Jakarta besok,” kata Iky dengan suara yang sedikit bergetar.
Efa terkejut mendengar kabar itu. Ia merasa ada sesuatu yang hilang di dalam hatinya, tetapi ia berusaha menyembunyikan perasaannya.
“Semoga Allah memudahkan urusanmu, Iky. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu,” jawab Efa, berusaha tersenyum meskipun hatinya berat.
Setelah kepergian Iky, Efa merasa ada kekosongan yang sulit ia jelaskan. Meskipun ia terus menjalani hidupnya seperti biasa, mengaji dan membantu ibunya, pikirannya sering melayang memikirkan Iky.
Setiap malam, ia selalu menyelipkan doa untuk Iky. Memohon agar Allah menjaga dan melindunginya di tempat yang jauh.
Iky juga merasa berat meninggalkan kampung halamannya. Namun, ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini adalah bagian dari takdir yang harus dijalani.
Di kota besar, Iky bekerja keras. Ia berusaha untuk selalu menjaga imannya di tengah kehidupan kota yang gemerlap.
Iky berencana melamar Efa setelah ia merasa mapan di pekerjaannya. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk Efa dan membangun rumah tangga yang diberkahi Allah.
Beberapa bulan berlalu. Suatu hari, Efa menerima kabar dari seorang teman lamanya yang tinggal di kota tempat Iky bekerja. Iky mengalami kecelakaan parah saat hendak pulang dari tempat kerjanya dan berada dalam kondisi kritis di rumah sakit. Kabar itu membuat hati Efa hancur berkeping-keping.
Dengan hati yang diliputi kesedihan, Efa memutuskan untuk pergi ke kota untuk melihat Iky. Sesampainya di rumah sakit, ia menemui keluarga Iky yang sudah berada di sana. Wajah-wajah mereka penuh kesedihan dan saat melihat Efa, ibu Iky menangis sambil memeluknya.
“Efa, dia memanggil namamu sebelum tak sadarkan diri,” ujar ibu Iky dengan suara lirih.
Efa merasa hatinya makin hancur. Dengan langkah yang berat, ia memasuki kamar tempat Iky dirawat.
Di sana ia melihat Iky terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Matanya terpejam dan wajahnya tampak pucat.
“Iky…” bisik Efa sambil mendekatkan dirinya ke tempat tidur Iky. Air mata mulai mengalir dan tidak bisa ditahan lagi.
Iky perlahan membuka matanya saat mendengar suara Efa. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia mencoba tersenyum.
“Efa… Alhamdulillah, kamu datang,” kata Iky dengan suara yang sangat lemah. Tangan Iky terasa dingin.
Iky menatap Efa. “Aku selalu berdoa, berharap kita bisa bersama, Efa, tetapi mungkin… Allah punya rencana lain.”
“Jangan bicara seperti itu, Iky. Insyaallah, masih ada harapan…” kata Efa dengan suara hampir terisak.
Iky menggeleng pelan. “Kalau ini takdirku, aku menerimanya dengan ikhlas. Doa terbaikku untukmu, Efa.”
“Aku yakin kamu sembuh. Aku selalu berdoa untuk kesembuhanmu.”
“Kalau kita tidak berjodoh di dunia ini, aku harap kita bisa bertemu di surga-Nya nanti, Efa. Jangan lupa selipkan namaku dalam doamu, ya.”
Efa mengangguk sambil terus menangis. Ia melihat Iky yang makin lemah.
“Insyaallah, Iky. Aku akan selalu mendoakanmu,” ucap Efa dengan suara yang hampir tak terdengar.
Dengan napas yang makin berat, Iky tersenyum untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya matanya tertutup selamanya. Suara alat-alat medis mulai terdengar monoton, menandakan bahwa detak jantung Iky telah berhenti.
Hari itu, Efa kehilangan seseorang yang diharapkan bisa hidup bersamanya. Merajut hari-hari indah bersama.
Namun ia yakin, perpisahan di dunia ini bukan akhir segalanya. Efa berharap dan berdoa, Allah mempertemukan mereka di surga-Nya yang indah.
Efa menjalani hidupnya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Ia selalu mendoakan Iky dalam setiap sujudnya.
Baginya, Iky mungkin telah pergi dari dunia ini, tetapi ia akan selalu ada dalam setiap doa yang dipanjatkan. Efa berharap, Allah akan mempertemukan mereka kembali di surga-Nya, tempat di mana cinta yang suci dan abadi akan menemukan rumahnya. [CM/NA]