Goresan Terakhir Livia

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Rahmatina
(Siswi SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan)

CemerlangMedia.Com — Livia Meisya adalah anak tengah dalam keluarga kecil yang hangat. Ia tumbuh di antara kakak dan adiknya yang selalu mencuri perhatian.

Kakaknya, Elara Anindya adalah sosok yang sangat membanggakan keluarga dengan prestasi akademik dan pencapaian cemerlangnya. Keberhasilan Elara sering menjadi topik pembicaraan dan pujian di rumah, menjadikannya teladan bagi semua anggota keluarga.

Sementara Raka Danendra adalah bungsu yang manis dan ceria. Sifatnya yang penuh semangat dan manja membuatnya sering mendapatkan perhatian lebih dari keluarga. Raka yang selalu mampu mencerahkan suasana dengan keceriaannya sering menjadi pusat perhatian dan kasih sayang.

Sebagai anak tengah, Livia merasa terkadang berada dalam bayang-bayang kedua saudara kandungnya. Meskipun ia memiliki sifat dan kualitas yang istimewa, terkadang ia merasa kurang diperhatikan dibandingkan dengan Elara yang berprestasi atau Raka yang manja.

Dalam lingkungan keluarga yang hangat ini, Livia memiliki kesempatan untuk menemukan perannya sendiri dan meraih pencapaiannya sambil mencari cara untuk menunjukkan bahwa ia juga memiliki kekuatan dan keistimewaannya tersendiri.

Di sekolahnya, SMAN 1 Langit Kencana, Livia adalah seorang siswi kelas 11 yang dikenal luas karena bakat luar biasanya dalam bidang seni lukis. Setiap goresan kuasnya menggambarkan dedikasi dan kreativitas yang tiada tara, membuatnya menjadi salah satu murid yang paling berprestasi dalam bidang tersebut.

Meskipun ia dikelilingi oleh teman-teman yang baik dan mendukung, kebahagiaan dan kebanggaannya atas prestasi tersebut sering kali pudar karena apresiasi yang dinantikan tak kunjung datang. Yang lebih memilukan adalah kenyataan bahwa prestasinya dianggap tak berarti, bahkan pada saat Livia mendapatkan juara pertama dalam lomba melukis.

Livia sering merasa bahwa pencapaiannya di bidang seni lukis tidak mendapatkan pengakuan yang pantas dari keluarganya. Di rumah, pembicaraan masih banyak berkisar tentang prestasi Elara yang akan segera melanjutkan kuliah di universitas ternama atau tentang Raka yang baru saja memenangkan pertandingan sepak bola di sekolahnya. Meskipun Livia bangga dengan saudara-saudaranya, ada rasa sepi yang menyelinap ketika prestasinya sendiri terasa seperti angin yang berlalu tanpa jejak.

Di tengah kesepiannya, Livia selalu berusaha untuk tetap sabar dan tawakkal kepada Allah. Dia memahami bahwa setiap ujian yang datang adalah bagian dari rencana-Nya.

Setiap kali merasa sedih, Livia akan berdoa, memohon kekuatan dari Allah.

“Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui segala yang tersembunyi di hati. Berikanlah aku kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapi semua ini,” bisiknya dalam doa malam yang sunyi.

Suatu hari, Livia pulang ke rumah dengan membawa kabar gembira. Ia baru saja memenangkan lomba melukis tingkat provinsi. Sebuah prestasi yang jarang dicapai oleh siswa seusianya.

Lukisan yang menggambarkan keindahan alam terlihat memukau dengan sentuhan abstrak, dipuji oleh para juri sebagai karya yang luar biasa dan penuh emosi. Sayang, ketika ia menceritakan kemenangan itu di meja makan, hanya ada reaksi singkat dari kedua orang tuanya.

“Bu, Ayah, lihat deh! Aku dapat juara pertama lagi di lomba melukis sekolah. Guruku bilang, hasil lukisanku ini bisa dipamerkan di galeri seni,” ucap Livia dengan wajah yang penuh semangat.

Ibu menjawab dengan nada datar. “Oh, begitu ya, tetapi apa gunanya, Liv? Melukis itu hanya hobi. Kamu tidak bisa hidup dari menggambar saja.”

Tidak ada senyuman dari wajah ibu Livia. Seolah-olah berita tentang kemenangan Livia hanyalah hal sepele.

Ayahnya mengangguk setuju saat mendengar jawaban ibunya. Dengan tatapan serius dengan alis yang sedikit mengkerut ayah Livia menjawab. “Ibumu benar, Livia. Kita lebih berharap kamu fokus pada pelajaran yang lebih penting, seperti matematika atau sains. Itu yang nanti akan menentukan masa depanmu.”

Setelah mendengar kata-kata orang tuanya, Livia menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya dari pandangan mereka. Air matanya hampir jatuh, tetapi ia menahan diri.

Bibirnya gemetar saat mencoba tersenyum, tetapi yang muncul hanyalah senyum kecut. Ekspresi putus asa terpancar jelas, tetapi ia tutupi kesedihannya dengan suara pelan yang nyaris patah.

“Tapi… ini penting buatku, Yah, Bu. Melukis adalah cara aku mengekspresikan diri dan aku merasa bahagia saat melakukannya.” Ucap Livia sambil berusaha tersenyum.

“Kebahagiaan itu tidak akan membayar tagihan, Livia. Kami hanya ingin kamu realistis dan tidak membuang-buang waktu.” Ucap ibunya dengan helaan napas yang berat.

“Aku hanya ingin kalian bangga padaku…” Livia berbicara pelan, hampir berbisik.

Dengan nada tegas, ayahnya menjawab, “Kami akan bangga kalau kamu bisa masuk universitas terbaik, Livia. Prestasi di bidang melukis itu hanya membuang-buang waktu. Lihat kakakmu! Ia selalu memenangkan olimpiade matematika dan sains. Itu yang bisa dibanggakan karena dapat menentukan masa depan.”

Mata ayahnya memancarkan harapan yang berbeda. Suaranya kaku dan lugas, seakan-akan apa yang diucapkan adalah kebenaran yang tak terbantahkan.

“Baiklah, Ayah, Ibu… aku mengerti.” Livia menunduk.

Livia menyelesaikan makanannya sambil menyembunyikan kesedihannya. Ia memaksakan senyum kecil, tetapi tidak berhasil menutupi luka yang baru saja tercipta.

Setelah perbincangan itu, Livia langsung menuju kamarnya. Livia terbaring dengan perasaan hancur.

“Ya Allah…” Livia berbisik pelan, suaranya bergetar penuh kepedihan. “Kenapa aku merasa sepi seperti ini? Kenapa rasanya sulit sekali untuk membuat mereka mengerti?”

Matanya yang sembab karena tangisan yang tak tertahankan membuatnya merasa makin kecil. Di ruangan yang penuh dengan peralatan lukisnya, ia menatap kosong pada kanvas yang tergantung di dinding, mengingatkan dirinya pada setiap usaha dan waktu yang ia habiskan untuk menuangkan emosi dan jiwanya dalam setiap lukisan.

Namun, semua itu tampak sia-sia tanpa dukungan dari orang-orang yang paling ia harapkan. Dalam kesepiannya, Livia memegang erat keyakinannya bahwa Allah pasti menyiapkan kebahagiaan untuknya.

Keesokan harinya, Livia terbangun dengan perasaan berat di dadanya. Perasaan Livia masih suram, tetapi ia coba mengalihkan pikirannya dengan berkonsentrasi pada rutinitas sehari-harinya.

Ia melangkah keluar dari kamar dengan tubuh yang terasa berat. Livia tak semangat menghadapi hari yang baru.

Suasana meja makan untuk sarapan masih sama, tak ada yang berubah. Seperti biasanya, perhatian tertuju pada Elara yang sedang membicarakan persiapan kuliah dan Raka yang bercerita tentang pertandingan sepak bola berikutnya. Livia hanya mendengarkan dengan diam, seolah-olah keberadaannya tidak terasa penting.

Seiring berjalannya waktu, Livia mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa. Tubuhnya sering merasa lelah, meski ia tidak melakukan aktivitas yang berat. Kepalanya sering pusing dan pandangannya kadang buram.

Meskipun begitu, Livia memilih untuk tidak mengeluh atau memberi tahu keluarganya. Ia tidak ingin membuat mereka khawatir, apalagi setelah reaksi dingin yang ia terima saat menceritakan prestasi melukisnya.

Hari-hari berlalu, gejala yang dialami Livia makin parah. Napasnya terasa berat dan ia mulai sering pingsan tanpa sebab yang jelas.

Pada suatu malam, setelah kembali dari sekolah, tubuh Livia tak sanggup lagi menahan beban yang dirasakan. Ia terjatuh di tengah jalan menuju rumah, tubuhnya menggigil dan keringat dingin membasahi wajahnya. Beberapa tetangga yang melihat segera membawanya ke rumah sakit.

Di rumah sakit, dokter melakukan serangkaian tes dan akhirnya menemukan bahwa Livia mengidap penyakit serius yang telah lama bersarang dalam tubuhnya. Penyakit yang awalnya tampak sepele telah berkembang dan tanpa disadari merenggut kesehatan Livia secara perlahan.

Dokter mengungkapkan kepada keluarga bahwa Livia menderita penyakit jantung bawaan yang selama ini tersembunyi. Kondisinya kini sudah sangat parah.

Kabar ini mengejutkan keluarga Livia. Orang tuanya yang selama ini lebih banyak fokus pada prestasi dan pencapaian anak-anak mereka, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa anak tengah mereka, Livia, telah menderita tanpa mereka sadari. Rasa bersalah dan penyesalan mulai menyelimuti hati mereka.

“Kenapa kamu tidak pernah cerita, Livia? Kenapa kamu menahan semuanya sendiri?” Ibu Livia menangis di samping ranjang rumah sakit sembari memegang tangan Livia yang lemah. Ayah Livia yang biasanya tegar, kini hanya bisa menatap putrinya dengan mata yang penuh dengan kesedihan.

Livia yang lemah hanya bisa tersenyum tipis. “Aku tidak ingin mengganggu kalian. Aku tahu kalian punya banyak hal yang lebih penting untuk diperhatikan.” Suaranya bergetar lemah, hampir tak terdengar.

Elara dan Raka yang selama ini juga tak begitu memperhatikan Livia, kini merasa sangat bersalah. Mereka tak pernah menyadari bahwa Livia yang selalu tampak tenang, sebenarnya menyimpan begitu banyak kesedihan dan penderitaan.

Hari-hari Livia di rumah sakit menjadi makin sulit. Meskipun keluarganya selalu ada di sisi dan menemaninya setiap saat, tetapi penyakit yang diderita Livia makin melemahkan tubuhnya.

Pada suatu malam yang tenang dengan cahaya bulan menerangi kamar rumah sakitnya, Livia menarik napas dalam-dalam, memandang keluarganya yang tertidur di kursi samping ranjangnya.

“Aku bahagia, meski hanya sebentar. Aku merasa, kalian peduli,” bisik Livia sambil menatap wajah anggota keluarganya yang kini penuh perhatian, wajah yang selama ini ia rindukan. Dengan senyum lembut di wajahnya, Livia menutup mata, ia menemukan kedamaian yang selama ini dicarinya.

Keesokan paginya, keluarga Livia menemukan putri mereka telah pergi dalam tidurnya. Tangis dan penyesalan memenuhi ruangan itu, tetapi semuanya sudah terlambat. Livia telah pergi membawa serta cintanya yang dalam untuk keluarga yang tidak pernah memahami dirinya.

Kehilangan Livia menjadi pukulan yang tidak terduga bagi keluarganya. Kini, mereka hanya bisa mengenang sosoknya melalui lukisan-lukisan yang ia tinggalkan.

Lukisan penuh dengan emosi dan perasaan yang tidak pernah bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Lukisan-lukisan itu menjadi saksi bisu akan perjuangan seorang gadis yang hanya ingin dihargai dan dicintai dan pada akhirnya yang ditemukan hanya kedamaian dalam kesunyian.

Pesan terakhir dari Livia tersirat dalam setiap goresan kuasnya—bahwa hidup adalah tentang menemukan kebahagiaan dalam hal-hal yang sederhana, meskipun dunia di sekitarmu mungkin tak selalu mengerti. [CM/NA]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *