Oleh. Muthia Romadhona
“Seorang laki-laki dilarang berduaan dengan wanita yang bukan mahramnya, sebab yang ketiganya adalah setan. Dan dalam Islam, berkhalwat atau berduaan berlainan jenis adalah zina, sedangkan zina adalah haram, dan termasuk dosa besar.”
CemerlangMedia.Com — Di dunia tipu-tipu yang sudah rusak seperti ini, aku bisa mengharapkan apa? Keadilan? Sudahlah, jangan berharap. Keadilan, peduli, tulus, dan sopan santun telah pergi jauh dari lubuk hati negeri tercinta, aku tak bisa lagi berharap apa-apa, selain percaya pada orang-orang yang terpilih.
Cowok ini salah satunya. Aku melirik dan menatap lamat-lamat dia yang duduk disampingku.
“Apa? Aku terlalu ganteng, ya?” tanyanya kepedean sambal cengengesan tidak jelas.
“Dih,” jawabku.
“Acha, udah selesai belom makannya? Lama banget dari tadi,” dia kembali bertanya.
“Ya, ‘kan makan itu pelan, dikunyah,” jawabku.
“Terserahlah.” Katanya sambil mengangkat bahu seraya mengemas barang-barang dan menuju kasir.
Aku segera mempercepat makanku, berdiri dan menyusulnya yang telah berada di kasir untuk membayar makan malam kami kali ini.
“Ayo!” ajaknya sambil menyerahkan tas kecil milikku yang dibawanya. Aku mengangguk, menerima tas tersebut dan mengekorinya dari belakang menuju parkiran.
“Langsung pulang aja, ya?” tanyanya.
“Ya, emang mau ke mana lagi? Udah larut juga,” jawabku.
Dia terkekeh pelan, memundurkan motor, memberi kang parkirnya uang. Aku segera menaiki motornya dan kami pun membelah jalanan malam di Kota Jakarta ini.
“Udah, cukup aja sampai sini,” kataku setelah sampai di depan perumahan.
“Loh? Kok di sini? Biasanya kan di depan blok,” ucapnya.
“Nggak, sampai sini aja.” Aku langsung menyerahkan helm yang kupakai padanya, dan segera pergi. Sebelum satpam perumahan tahu jika aku diantar pulang malam oleh cowok asing.
Untung saja, tak lama aku berjalan memasuki perumahan, aku berpapasan dengan Bang Iqbal—kakak laki-laki ku—yang kebetulan baru pulang dari klub futsalnya. Aku langsung naik motornya dan menuju rumah.
~
“Acha? Kamu udah tidur belom?” Tanya Bang Iqbal sambil mengetuk pintuk kamarku pelan.
“Iya, masuk aja,” jawabku.
Sedetik kemudian Bang Iqbal membuka pintu kamar dan segera menduduki pojokan kasurku.
“Kamu tadi abis dari mana?” tanyanya.
“Jalan sama makan,” ujarku santai, menutupi kepanikan di dalam diri ini.
“Sama siapa?” ia bertanya kembali.
“Amanda, apa sih, kenapa?” jawabku.
“Mana fotonya?” kata Bang Iqbal.
“Ih, apasih Bang.” Ujarku menggerutu sambil mencari fotoku random bersama Amanda di galeri.
“Nggak, itu foto kamu sama Amanda beberapa hari lalu, kamu sudah up foto itu di story Instagram,” jawab Bang Iqbal setelah kutunjukkan foto.
“Ih, Bang Iqbal,” batinku sambil mengumpat.
“Jujur, kamu tadi abis jalan sama siapa?” Bang Iqbal kembali bertanya.
Aku memutar mata, malas, tak menjawab pertanyaan yang diajukannya.
“Kamu kira, aku gak tahu? Ya, mungkin kamu berhasil bohongin Bunda dan Ayah, tapi aku nggak, Acha!” katanya dengan tegas.
“Terus, apa yang Bang Iqbal tahu?” tanyaku.
“Zafeer Anggara, 22 tahun, lahir di Jogja, anak fakultas kedokteran UI, IP hampir cumlaude, kaya, tapi muka standar,” ucap Bang Iqbal.
Aku tertegun, menatap Bang Iqbal tajam, “Itu semua tau dari mana?”
“Putusin dia.” Bukannya menjawab pertanyaanku, Bang Iqbal malah memberikan pernyataan yang mustahil menurutku.
“Gak jelas, asli! Tiba-tiba Bang Iqbal masuk kamarku, ngeinterogasi aku, kasih informasi yang gak tau tuh dapet dari mana, trus minta aku buat mutusin Zafeer, apasih?” jawabku kesal.
“Putusin, sebelum aku bilang ke Bunda sama Ayah!” kata Bang Iqbal.
“Ya udah, bilangin aja kali,” ucapku tak peduli.
“Kalau gitu, risikonya kamu bakalan dinikahin dan putus kuliah, Acha!” kata Bang Iqbal.
“Ya nggak bisalah, gak bisa kaya gitu konsepnya,” jawabku semakin kesal.
“Gak bisa gimana? Aku yakin, kamu tahu kalau di dalam Islam itu dilarang mendekati zina, kamu malah pacaran, yang nggak jelas itu siapa?” ucapan Bang Iqbal meninggi.
“Ya, tapi aku kan pacarannya islami, saling tolong menolong dan mengingatkan dalam kebaikan,” jawabku membantah.
“Urussai! Kalau nggak boleh, ya nggak boleh. Mau islami, mau kristeni, mau yahudi, mau kafiri, ya tetep aja gak boleh. Malah ngeyel, ciri-ciri follower dajjal, tau gak? Mau dibawa ke mana gelar hafidzah yang sudah kamu dapet? Mana kerudung semakin naik lagi, gak malu apa sama Allah? Gak malu kamu sama Bunda dan Ayah? Bukannya ngebanggain, malah nyemplungin ke neraka!” jawab Bang Iqbal.
Aku beranjak dari kasur seraya melenggang pergi menuju dapur.
Aku menoleh kaget, mendapati Bang Iqbal sudah memegang tanganku erat.
“Putusin, atau kamu terima risikonya,” ujar Bang Iqbal pelan dan tajam.
Aku menelan ludah dan segera menarik kembali tanganku dari cengkeraman Bang Iqbal.
~
Hari berikutnya, aku mulai memikirkan perkataan Bang Iqbal. Ada perdebatan di dalam batinku. Sisi baik diriku meminta agar aku memutuskan Zafeer. Tapi, sisi burukku meminta aku tetap melanjutkan hubungan dengan Zafeer.
‘Bener sih kata-kata Bang Iqbal, udah putusin aja Zafeernya’
‘Ya nggak semudah itulah, setelah semua apa yang dilalui bersama, emang bisa langsung mutusin? Mana udah terlanjur sayang…’
‘Kalau jodoh ya nggak bakal ke mana, Acha! Dari pada malah nyemplungin Bunda Ayah ke neraka? Lagian, semenjak ada Zafeer, kamu jadi nggak fokus belajar lagi, iya kan?’
‘Justru malah Zafeer yang bikin aku semangat belajar sih’
‘Halah, pacaran itu buang-buang waktu, tenaga, pikiran, mending dicurahkan ke hal yang lebih baik’
‘Sebenarnya ya, kalau mutusin masih sanggup, tapi aku takut gamon, gagal move on, kalau aku tambah stress gimana?’
‘Ya kan, belum dicoba’
Itulah perdebatan batin yang terjadi padaku. Namun, lamunanku buyar saat tanganku disentuh oleh seorang perempuan.
“Kayaknya masalahnya berat banget, ya?” Sapa kakak-kakak berkerudung pashmina syar’i berwarna baby blue dan dipadu dengan gamis crinkle biru gelap yang duduk di sampingku. Cantik. Aku buru-buru mengangguk, tersenyum kikuk.
Kakak itu malah tertawa, “Kamu mengingatkanku dengan seorang temanku, mirip sekali.”
“Kalau boleh tahu, Kakaknya kuliah di mana, ya?” tanyaku.
“Universitas Islam Negeri, kalau Adek?” ucapnya balik bertanya.
“Universitas Indonesia,” jawabku.
“Maaf sebelumnya, apa adek saudarinya Iqbal Nathantama?” tanyanya.
“Benar, saya adiknya, Acha Nathasama,” jawabku.
“Oh, pantesan kalian mirip. Saya Aulia Seraffya, temen organisasinya Iqbal,” ucapnya kembali.
Aku mengangguk kecil, tersenyum sopan.
“Kayaknya Acha punya masalah berat banget, ya? Tadi aku bener-bener ngerasa vibe meratapi hidupnya,” ujarnya.
“Yah, gimana ya, habis diamarahin Bang Iqbal semalam,” kataku.
Kak Seraf tertawa anggun, “Kamu kalau butuh temen cerita, ke aku aja boleh loh, kebetulan juga aku jurusan psikologi.”
“Iya kak. Nanti kalau saya ada longgar ya?” jawabku.
Mataku liar mencari palang nama daerah. Sebelum Kak Seraf menjawab, aku sudah buru-buru pamit dan berlari ke pintu keluar KRL.
‘Gawat, aku ketinggalan dua stasiun’
~
“Kak Seraf di mana? Aku sudah sampai di kafenya nih,” kataku.
“Aku masih di jalan, sebentar lagi sampai, kok. Acha pesen minum aja dulu, terserah apa aja, gak apa-apa,” jawab Kak Seraf.
“Chocolate creamy coffe satu sama Indonesian matcha tea satu,” ucapku kepada kasir di kafe.
“Baik, segera kami proses, Kak. Bisa ditunggu,” ucap kasir tersebut.
Aku mengangguk sopan, berbalik badan dan duduk di kursi yang telah dipesan.
“Acha nunggu lama?”
Tak lama, aku mendapati Kak Seraf sudah berdiri di belakangku dengan memakai kerudung segi empat berwarna pink nude, gamis berwarna merah maroon. Kak Seraf selalu tampil cantik dan elegan.
“Makasih ya, udah nungguin.” Ujarnya sambil menarik kursi di sampingku.
Tak lama setelah Kak Seraf duduk, minuman yang kupesan datang, jadi kami langsung memulai sesi curhat yang kunanti ini.
Mengalirlah cerita dari mulutku, diawal dengan pulangnya aku semenjak jalan dengan Zafeer, hingga perdebatan menyebalkan dengan Bang Iqbal.
“Jadi aku harus gimana, Kak?” tanyaku.
“Semua yang dikatakan Iqbal itu bener, tapi cara menyampaikannya salah, jadi mungkin kamu susah buat nerima pernyataan tersebut,” jawab Kak Seraf.
“Islam itu memuliakan wanita, oleh karena itulah laki-laki dilarang berduaan dengan wanita yang bukan mahramnya, sebab yang ketiganya adalah setan. Setan mudah saja membisiki sang pria untuk berbuat sesuatu hal yang Allah larang. Dan dalam Islam, berkhalwat atau berduaan berlainan jenis saja adalah zina, sedangkan zina adalah haram, dan termasuk dosa besar. Bisa dibayangkan, bila bujuk rayu setan merasuk pada dua insan itu,” Kak Seraf menjelaskan.
“Yah memang, sang pria bisa saja bertanggung jawab, namun tidak sedikit dari pria yang malah menyuruh aborsi, tidak bertanggung jawab, atau malah membunuh pacarnya. Yang justru menambah panjang daftar dosa yang diperbuat,” Kak Seraf menambahkan.
Kak Seraf menyeruput Chocolate creamy coffe miliknya.
“Sepertinya aku tak perlu menjelaskan panjang lebar ke Acha, aku yakin, Acha tahu persis tentang itu,” tambahnya.
Aku mengangguk pelan. Tentu saja aku paham, aku dididik dengan semua pemahaman itu.
“Lantas, apa yang membuat Acha pacaran?” tanya Kak Seraf.
“Kebawa arus, Kak, di UI susah banget. Acha gak punya temen yang bisa membuat Acha bertahan,” jawabku.
“Memang, lingkungan adalah faktor utama untuk kita melakukan maksiat, makanya kita harus bergabung ke komunitas yang bermanfaat agar bisa bertahan atas gempuran kerusakan di mana-mana. Bersama, kita akan saling mengingatkan satu dan lainnya, berlomba-lomba dalam kebaikan, dan menjunjung tinggi persaudaraan,” jelas Kak Seraf.
“Memang ada, Kak?” tanyaku.
“Ada, Kakak ini bukti anggotanya, nanti kalau kamu mau join, bisalah Kakak urus,” jawabnya santai.
“Acha mau join, Kak,” jawabku dengan cepat.
Kak Seraf tersenyum simpul, “Terus, apalagi yang bikin Acha gak nyaman?”
“Aku takut gamon sama Zafeer, Kak. Aku takut stress dan… gak tau, Kak, aku takut,” jawabku.
“Tingkat tertinggi mencintai adalah mengikhlaskan. Memang susah, butuh berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Tapi, nikmati saja prosesnya. Alihkan diri Acha ke kegiatan yang bermanfaat, asah lagi hobi Acha, aktif ke berbagai event, Acha mungkin memang tidak bisa melupakan, tapi tidak apa-apa, setidaknya tidak memikirkannya saja sudah cukup. Kakak yakin, Acha pasti bisa,” kata Kak Seraf memberi semangat.
Aku menghela nafas berat, menggigit bibir.
“Kalau memang jodoh, gak bakalan ke mana, pasti balik lagi. Doakan saja di setiap Acha salat Tahajud,” tambah Kak Seraf.
Drrt… drrt…
“Acha…” Kak Seraf menunjuk ponselku yang bergetar karena ada panggilan masuk.
Aku mengambil ponselku dan tertegun, tertulis jelas nama Zafeer pada kontak yang memanggil.
“Katakan saja padanya, tidak apa-apa, pasti bisa,” ucap Kak Seraf.
Aku menelan ludah, membulatkan tekad untuk menerima panggilan tersebut dan kutaruh ponsel di meja.
“Acha? Kamu di mana?” tanya Zafeer.
“Di kafe,” jawabku.
“Sama siapa?” tanyanya kembali.
“Sama kakak kelasku, kamu kenapa nelepon? Ada apa?” jawabku.
“Acha ngehindarin aku, ya?” tanya Zafeer.
Aku terdiam, aku tak tahu harus menjawab bagaimana.
“Zafeer, maaf, kita putus ya, terima kasih,” ucapku.
Aku lalu memutuskan panggilan sepihak, tersenyum lega. Kak Seraf mengusap punggungku pelan, turut senang, dan tiba saja air mataku lolos, satu, dua, dan tak terhitung.
“Nanti, kalau tidak sengaja bertemu Zafeer, jelaskan padanya kenapa Acha minta putus, tapi tetap perhatikan batasan-batasan yang ditentukan oleh Islam,” kata Kak Seraf.
“Kira-kira dosaku diampuni nggak, kak?” tanyaku.
“Ya kalau itu sudah urusan Allah, yang penting Acha salat tobat dan berjanji untuk tidak mengulangi,” ucapnya.
Aku mengangguk dan berterima kasih kepada Kak Seraf.
~
“Acha!” seseorang memanggilku.
Aku menghentikan langkahku, menoleh pada Zafeer dan segera menundukkan pandangan.
“Maaf, ada apa?” tanyaku.
“Kamu gak usah pura-pura gak tau, Cha. Tolong, aku butuh penjelasan!” kata Zafeer.
Aku menghela nafas. Aku telah siap untuk menjelaskan tentang ini pada Zafeer. [CM/NA]