Oleh: Ummu Iffah
CemerlangMedia.Com — Jamuan siang begitu menggugah selera siapa pun yang memandangnya. Namun, tidak bagi Arianna, gadis cantik berkulit putih dan berlesung pipit itu merasa muak. Rasa benci, marah, dan kesal, jadi satu melihat adegan di depan matanya.
Semua yang ada di hadapan Arianna sangat memuakkan baginya. Begitu rakusnya mereka menikmati santapan siang, tak ubahnya seperti manusia-manusia yang kelaparan. Senyum-senyum mereka bak seringai serigala yang menakutkan bagi Arianna. Darahnya mendidih, tetapi gadis berdarah melayu itu tak berdaya.
Arianna hanya bisa memandang, tak mampu membubarkan pesta mewah para raja dan penggawanya. Apalah daya, Arianna hanyalah seorang perempuan lemah dan hanya bergantung kepada kursi roda.
Tangan dan kaki gadis berusia 20 tahun itu terpaksa diamputasi setelah kotanya diluluh lantakkan perampok. Sedangkan orang tua dan adik-adiknya dibunuh dengan keji dan tak manusiawi.
Tiba-tiba seorang laki-laki parlente menghampiri Arianna. Laki-laki yang beberapa waktu lalu datang bersama beberapa orang tamu ke rumahnya.
“Dik, mari ikut makan bersama kami.” Suaranya sontak membuyarkan lamunan Arianna.
Arianna memandangnya tak berkedip. Gadis berkerudung itu ingat betul, para tamu tersebut telah menginjak-injak harga dirinya, mengambil harta warisan leluhurnya, membunuh orang tuanya, dan membuat ia lumpuh. Bahkan saudaranya direcoki minuman beralkohol hingga meninggal.
“Setelah apa yang kalian lakukan terhadap keluargaku, lalu kalian seenaknya membujukku dengan makanan ini?” ucap Arianna sinis.
“Nyawa orang tua dan juga saudara-saudaraku tidak akan pernah bisa ditukar dengan harta,” ucap Arianna berapi-api.
“Dan aku tak kan pernah sudi, apa lagi duduk dengan penjahat seperti kalian, orang-orang yang tangannya berlumuran darah saudaraku,” lanjut Arianna menahan amarah.
Lelaki tersebut tidak menghiraukan ucapan Arianna. Ia terus membujuknya agar bersedia ikut pesta bersama mereka.
Ia pun menjanjikan kebahagiaan dan kehidupan yang layak, jika Arianna mau duduk bersama mereka.
“Lihatlah! Teman-temanmu banyak yang ikut bersama kami, ada saudara-saudaramu juga,” ucap laki-laki tinggi besar itu setengah memaksa. Senyum kemenangan begitu tampak nyata di wajahnya.
“Realistis saja, Dik, hidup ini harus dinikmati. Kapan lagi bisa makan enak dan hidup enak.” Ucapnya lagi sambil tertawa.
Ingin rasanya Arianna berteriak, tetapi lidahnya kelu. Semua orang sudah tertipu oleh lezatnya makan siang, tanpa peduli rencana busuk mereka.
Arianna tak habis pikir, kenapa saudara-saudaranya begitu mudah tertipu dan terpedaya oleh bujuk rayu yang terus berulang. Mereka lupa karena harta dunia yang begitu mengoda. Padahal sudah jelas, para begundal itu adalah perampok dan penipu.
Gadis bermata biru itu bingung, tidak tahu ke mana mesti mengadu. Sedangkan mereka yang Arianna anggap akan membelanya, justru ikut memusuhinya. Semua orang larut dalam pesta pora sesaat tanpa peduli penderitaannya.
Arianna merasa dirinya kini sendiri, meskipun ia yakin ada Allah yang selalu menemani. Gadis itu hanya bisa berdoa dan berharap agar penderitaannya segera berakhir.
“Assalamu’alaikum. Dik Arianna, ya? Kami menjemput Adik untuk ikut bersama kami.” Dua orang muslimah dengan balutan jilbab mengucapkan salam sambil tersenyum kepada Arianna. Keduanya menjabat tangan Arianna dengan begitu erat. [CM/NA]