Oleh: Nuniek ts
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Alana menghentakkan kaki dengan kesal, kaki berbalut sepatu butut inilah yang membuatnya jadi bahan rundungan Cyntia di kelas. Bukan sekali dua kali bahkan mungkin setiap hari sejak Alana dan Cyntia menginjak kelas 11.
Menjadi orang yang berbeda dengan kawan sekelas, alias ‘miskin’ bukan berarti Alana layak untuk dirundung. Lagi pula, siapa sih anak yang sudi jatuh miskin?
Jangan ditanya soal perasaan dan harga diri, Alana sudah lama tak punya itu. Beruntungnya Alana masih sabar dan tak gelap mata. Entah nanti, jika batas sabarnya berganti dendam membara.
Alana terluka dengan ejekan Cyntia, tetapi itu tak membuatnya lemah apalagi kalah. Akan ada waktunya derita Alana berganti senyum ceria.
Seperti siang ini, setelah ritual perundungan kembali dilakukan Cyntia, bukan menangis seperti biasa, Alana malah tersenyum ketika sebuah ide jahat tiba-tiba melesat dalam benaknya.
Suasana kelas pagi ini tak seperti biasa yang ceria. Kelas tampak mendung, tetapi tak begitu dengan suasana hati Alana.
Hari baik itu akhirnya datang, senyum semringah yang sejak pagi Alana pamerkan pasti membuat heran kawan sekelas. Alana sungguh tak perduli dengan tatapan aneh Atira kawan sebangkunya.
Alana bergegas membereskan buku dan alat tulis saat bel pulang memekik di ujung koridor kelas. Alana tak sabar menunggu sore menjelang. “Sore nanti pasti menyenangkan.” Alana bergumam sendiri sambil berlari kecil keluar kelas.
Sore ini, Alana, Bu Wali Kelas dan kawan sekelas menjenguk Cyntia di rumah sakit. Cyntia baru saja selesai menjalani operasi amputasi kakinya tadi malam.
Senyum Alana mengembang sempurna, bahkan di bagian hatinya yang hitam, Alana bersorak kegirangan. Alana sangat yakin setelah kejadian ini, Cyntia tak akan lagi merundung dirinya dan sepatu bututnya.
Bagaimana mungkin Cyntia masih punya muka untuk merundungnya, sedangkan kaki saja Cyntia sudah tak punya. Alana menyembunyikan senyumnya dalam-dalam saat Cyntia menangis histeris tatkala kawan sekelas menjenguknya. Alana memandang Cyntia dengan rasa yang ia sendiri tak paham namanya, sambil tak henti bermonolog.
“Selalu ada harga yang harus dibayar dari sebuah perundungan, bukan begitu Cyntia?” Alana menghela napas lega dan menyeringai bagai serigala.
Mereka yang tak melawan ketika dirundung bukan berarti lemah, mereka hanya menunggu waktu yang tepat untuk memberi hukuman yang lebih hebat. [CM/NA]