Oleh. Zafira Islam Farihaqi Ahd Ruhiyat
CemerlangMedia.Com — Hari ini aku menatap langit sore yang dihiasi oleh senja, mungkin ini akan menjadi kenangan yang sangat indah karena langit ini yang menghiasi awal mula langkah baruku. Teringat 3 tahun lalu aku sangat membenci tempat asing ini, tempat yang begitu ramai dengan orang yang penuh tujuan. Tempat yang aku sendiri pun tak tahu untuk apa aku ada di sini. Tempat yang selalu tenang ketika bacaan itu dilantunkan.
Teringat dulu…
“Pokoknya Dira gak mau ke tempat itu,” kesalku, karena sedari tadi ayah dan ibu berusaha membujukku
“Ayoklah Nak, Ayah dan Ibu itu tahu yang terbaik untuk kamu,” suara ibu yang berusaha pelan di balik pintu kamar yang kukunci.
“Dir, Ayah tahu ini sulit bagi kamu. Tapi, ini tempat terbaik untuk kamu. Ayah dan Ibu gak mau kamu menyesal di masa depan nanti,” suara ayah berusaha membujukku.
“Ibu sama Ayah memang berhak mengatur masa depan aku, tapi semua keputusan ada di tangan aku, Yah, Bu. Coba dong kalian paham,” jawabku yang begitu frustasi dengan keputusan mereka.
Rasanya hati dan pikiran ini sangat kacau, bingung apa yang harus aku lakukan. Tiba-tiba pikiranku terbayang Ana, sahabat karibku sejak SMP.
Aku ke luar dengan membawa tas gendong yang berisikan kebutuhanku selama sehari. Ke luar kamar secara mengendap-ngendap seperti berada pada rumah orang lain.
“Uhh… semoga aja gua gak ketahuan,” bisikku dalam hati
“Yah, Ibu itu pengen banget punya anak saleh dan salihah. Ibu nyesel kenapa ibu gak dari dulu mendidik mereka dengan benar.”
“Sama, Ayah juga. Ayah kecewa sama diri sendiri. Kenapa, Ayah sebagai kepala keluarga gak bisa mendidik keluarga Ayah sendiri dengan didikan Islam. Untung Allah masih menyelamatkan kita, Bu.”
“Iya, Yah. Allhamdulillah.”
Aku yang berada di balik tembok yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka sungguh menggerutu kesal.
“Wuhh … anak salihah. Aku juga bisa, tinggal ngaji alif, lam, mim, selesai,” gerutuku karena kesal mendengar percakapan mereka berdua.
Setelah melihat ayah dan ibu yang sedang asyik mengobrol di ruang tamu, akhirnya aku memutuskan untuk pergi lewat pintu belakang.
Mengendap-ngendap melewati lorong kamar ayah dan Bang Ghani.
“Eh, Dir! mau ke mana kamu? Ngendap-ngendap kayak maling,” suara itu tiba-tiba menghentikan langkahku.
“Eh, Bang Ghani, Abang gak kuliah?” Jawabku sambil cengar-cengir
“Enggaklah, kan hari Ahad.”
“Oh … iya yah. Lupa aku. Heheheh.” Jawabku sambil tertawa halus
“Terus kamu mau ke mana?”
“Ehmm… aku mau ke rumah Ana, Bang.”
“Oh, kamu sendiri?”
“Yah, udah biasa.”
Aku memang bukan terlahir dari keluarga yang agamis, mungkin kata lainnya aku dan keluarga hanyalah Islam KTP.
Ayah dan ibu serasa tidak sangat peduli dengan agama. Mereka pikir, salat dan ngaji pun sudah sangat cukup, begitu juga denganku.
Tapi, itu semua berubah drastis ketika ayah bertemu dengan salah satu pasien di rumah sakit. Seorang pasien yang didiagnosis memiliki penyakit leukemia yang berada pada tangan ayah itulah yang mengubah ayah dan ibu menjadi orang yang taat pada agama secara kafah.
Pasien itu memiliki keluarga yang sungguh sangat membuat ayah terkesan. Dari perilakunya, tutur katanya, cara berpakaiannya, cara mereka menghadapi ujian. Sungguh manusia yang berbeda dari manusia lainnya. Di saat manusia lain sibuk dengan hartanya, tapi berbeda dengan pasien ini.
Hingga akhirnya ayah berani untuk menanyakan suatu hal kepadanya yang berkaitan dengan kehidupan dan pemikiran hingga tertancaplah tentang akidah keimanan. Mulai dari situ aku sering sekali diajak ayah dan ibu untuk ikut dengannya di setiap Sabtu dan Ahad.
Terkadang aku merasa aneh dengan diri sendiri, mengapa semua ini bisa terjadi tepat di keluargaku.
Semua kehidupanku seolah-olah menjadi seperti penjara. Padahal sebelumnya ayah dan ibu sangat tidak peduli dengan apa yang anak-anaknya lakukan.
Hingga hari itu aku dipaksa untuk pergi dan menetap di tempat asing. Aku memang berbeda dari Bang Ghani, ia yang selalu semangat menuntut ilmu, yang selalu menuruti apa kata ayah dan ibu. Karena ia berpikir bahwa itulah yang terbaik untuknya di masa depan. Dan itu kenyataan, seandainya dulu Bang Ghani tidak turuti apa kata ayah, mungkin Bang Ghani sekarang tidak akan bisa masuk kedokteran.
Bahkan Ana, sahabat karibku menyetujui keputusan yang ayah dan ibu berikan untukku. Aku sedikit kesal dengannya karena saat itu tak ada yang memihak padaku.
Hingga aku memutuskan untuk mengikuti keputusannya. Pergi ke tempat yang begitu asing. Entah apa yang ada di pikiranku terkait tempat ini.
Saat hari itu aku hanya bisa mengucurkan air mata. Semua impianku ingin masuk SMA favorit dibatalkan.
Tapi, semua itu terbayar dengan yang lebih indah. Entah mengapa hidup dan menuntut ilmu di tempat asing ini begitu menyenangkan. Aku jadi mengerti bahwa ketika kita taat syariat secara kafah maka Allah akan membuat hidup kita bahagia.
Saat itulah aku mulai bertekad untuk berubah dengan dipandu teman dan kakak pembinaku. Meski jalan yang kulalui tidak selalu mulus. Tapi aku berhasil berubah untuk selamanya, memegang erat syariat Islam kafah di tanganku, menancapkan keimanan yang kuat pada diriku.
Di tempat asing ini aku banyak belajar tentang agama. Mulai dari salatku, ngajiku, hingga akidahku.
Tempat yang selalu dikerumuni orang-orang hebat, orang-orang saleh.
Ada satu momen yang sungguh membuatku bahagia dan tak ada yang paling bahagia pada hari itu selain aku, yaitu hari di mana aku berhasil mengkhatamkan 30 juz Al-Qur’an. Tangis haru ibu dan senyum bangga ayah dan Bang Ghani masih tersirat di pikiranku, sungguh tak bisa dilupakan.
Hingga hari ini, hari terakhirku menginjakkan kaki di tempat asing ini yaitu penjara suci. Semuanya akan menjadi kenangan manis yang tak pernah kulupakan. Semuanya tak boleh berhenti ketika aku sudah tak lagi di sini. Semua harus berlanjut hingga titik akhir hidupku. [CM/NA]