Tak Ada Lagi Dusta Setelah Gaza

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Penulis: Lailin Nurul
Aktivis Mahasiswa

Nour berkata, “Ustazah, apakah kita bisa merasakan hadirnya Khil4f4h suatu hati nanti?” Laila diam sejenak. Meminum tehnya dengan tenang, lalu menjawab, “Entahlah! Tetapi yang kutahu, jika kita tidak melihatnya tegak, semoga kita menjadi alasan mengapa ia akhirnya tegak.”

CemerlangMedia.Com — Langit Istanbul sore itu diselimuti mendung jingga, seolah malu atas kisah yang diperdengarkan di dalam ruang konferensi tua itu. Di atas panggung, seorang perempuan dengan kerudung kelabu dan jubah panjang berdiri tenang, membawa secarik kertas penuh coretan yang telah ia hafal sejak dalam perut ibunya—tentang tanah yang tak pernah menyerah, Gaza.

Namanya Laila Issam. Seorang da’iyah, penulis, sekaligus mantan analis diplomatik yang memilih menjelma menjadi bara, bukan lilin. Ia menatap audiensnya dengan mata yang menyimpan ribuan nisan dan seribu satu konferensi yang telah ia hadiri di kota-kota yang memuja demokrasi, tetapi memekakkan telinga atas jeritan bayi di Khan Younis.

“Saudara-saudaraku,” katanya lirih, tetapi menggema. “Hari ini, kita bukan sedang menyaksikan kehancuran Gaza semata. Kita sedang menyaksikan kehancuran terakhir peradaban yang membanggakan diri sebagai penjamin hak asasi manusia.”

Ruang itu terdiam. Tak ada bunyi, selain jantung yang mendadak berdetak lebih cepat dari biasanya. Kalimat itu bukan sekadar metafora. Itu tudingan. Itu peringatan. Itu mungkin nubuwwah yang disamarkan dalam bahasa politik.

Laila melanjutkan.

“Gaza bukan medan perang biasa. Ia adalah arena antara batil yang mencoba bertahan dan hak yang sedang menata langkah. Setiap bom yang dijatuhkan bukan hanya menghancurkan dinding rumah, tetapi membuka jendela baru dalam kesadaran umat bahwa kita butuh tameng dan tameng itu hanya satu, Khil4f4h.”

Dari kursi barisan ketiga, seorang muslimah Mesir dengan abaya hitam mencatat dengan tergesa. Namanya Nour Assalam. Ia bukan siapa-siapa, tetapi malam itu ia merasa seperti segumpal bara yang mulai menyala. Baru kali itu ia melihat konferensi internasional di mana tak satu pun diplomat Barat diundang karena forum ini bukan tentang resolusi. Ini tentang revolusi.

Laila berjalan mendekat ke tepi mimbar, nadanya merendah, tetapi justru makin menusuk.

“Barat telah lama menanam ranjau pada jalan menuju Khil4f4h. Dari sekularisasi pendidikan, pembusukan media, hingga pemecahan geopolitik negeri-negeri muslim, tetapi Gaza…” Ia berhenti, menatap ke langit-langit ruangan.

“Gaza membuat mereka gagal. Mereka bisa membungkam negeri-negeri, tetapi tidak bisa membungkam ruh umat yang telah bangkit. Gaza adalah lonceng kematian bagi peradaban mereka dan seruan fajar bagi kebangkitan kita.”

Tepuk tangan tak pecah. Bukan karena pidatonya tidak menggugah, tetapi karena para hadirin tahu, tepuk tangan hanya pantas diberikan pada kemenangan, bukan pada peringatan.

Malam itu pasca surat menusuk yang dibacakan Laila Issam, Nour menulis di laman media sosialnya.
“Jika Khil4f4h itu utopia, mengapa Barat begitu takut? Jika ia mitos, mengapa setiap krisis di Gaza membuat mereka menggigil?”

Unggahannya menyebar seperti doa di malam lailatulqadar. Tidak terlihat, tetapi berdampak. Satu per satu, pesan masuk ke ponselnya dari berbagai negeri—Sudan, Malaysia, Pakistan, hingga sebuah pesan tanpa nama yang hanya berbunyi, “Lanjutkan! Kau sedang membangunkan ruh umat.”

Seminggu kemudian, Laila berada di Qatar, diundang oleh forum intelektual muda Islam. Di aula kampus Hamad Bin Khalifa University, ia kembali mengangkat satu tema, Kesadaran sebagai Pintu Perubahan. Pemikiran Laila begitu indah menajam hingga bukan lagi kemanusiaan yang disuarakanya, tetapi bagaimana Islam membangun perubahan, bahkan memanusiakan manusia secara layak.

“Bukan senjata yang akan menegakkan Khil4f4h,” ucapnya lantang. Suara bergema di sepanjang penjuru gedung. “Tetapi kesadaran kolektif yang tumbuh dari keyakinan akidah, dari dakwah yang menggugah, dari opini umum yang tidak bisa dibungkam. Kita sedang berjuang, melanjutan estafet Nabi Muhammad. Lantas, apakah kita akan tumbang hanya karena dongeng media Barat?” Laila mengguncang langit-langit gedung dengan bahasa Arab yang fasih. Pelafalannya menggunakan fushah yang lantang, seolah tidak terbesit goncangan takut dalam setiap bait nada yang terucap.

Ia menyitir metode Rasulullah yang membangun opini melalui tiga fase, pembinaan individu, pembentukan opini umum, dan akhirnya dukungan kekuatan masyarakat. Metode yang sama ketika Rasulullah membangun negara di Madiah.

“Metode dakwah Rasul tidak diawali perang terbuka, tetapi perang kesadaran dan Gaza hari ini sedang menjadi katalis perubahan itu.” Laila mengacungkan telunjut ke atas langit, memberi ultimatum keras kepada semua audiens gedung.

“Ketika Negara Islam telah tegak sempurna, maka mengirim bala tentara adalah kewajiban. Kita wajib memberikan bahasa perang kepada kaum laknat yang telah membantai umat kesayangan Rasulullah.”

Riuh tepuk tangan memenuhi gedung. Semua melafalkan takbir sebagai tanda persetujuan hingga seorang profesor senior bertanya, “Tetapi, bukankah konsep Khil4f4h terlalu besar untuk umat yang masih tercerai?”

Laila tersenyum getir. “Justru karena umat tercerai, Khil4f4h menjadi satu-satunya ikatan yang bisa menyatukan mereka. Tanpa itu, setiap aksi akan tetap terisolasi. Setiap tangis tetap sunyi.” Laila tersenyum menatap profesor di hadapannya.

“Jika kita masih berpegang pada selain hukum Allah, maka permulaan konsep yang Anda nilai terlalu besar, justru akan menjadi wacana. Kita sendiri yang akan mengubur sejarah indah perjuangan Rasulullah jika beranggapan bahwa Khil4f4h adalah wacana publik.”

Ruang auditorium sunyi seketika.

Sementara itu, di London, sebuah laporan intelijen dari salah satu think tank Barat bocor. Isinya mencemaskan.

“Krisis Gaza bukan hanya memperkuat posisi kelompok perlawanan, tetapi mendorong radikalisasi opini global muslim. Narasi tentang Khil4f4h telah menemukan relevansi baru. Jika tidak dihentikan, kita akan melihat munculnya simpati publik terhadap ideologi yang selama ini kita stigmatisasi.”

Koran The Guardian mengulasnya dengan tajuk yang dingin, “Khilafah is No Longer a Myth Among the Youth.” Barat gelisah. Mereka tahu, bukan hanya perang yang mereka kalahkan, tetapi juga narasi.

Berbanding terbalik dengan sisi dunia yang lain, di sebuah kamp pengungsi di Rafah, seorang anak kecil bertanya pada ibunya, “Ummi, kenapa dunia tak membantu kita?” Anak kecil itu mengayunkan tangannya yang sebatas siku. Dia masih berandai-andai, apakah tangannya bisa tumbuh lagi seperti anak lainnya.

Sang ibu memeluknya erat dan menjawab dengan lembut, “Karena mereka tidak bisa mendengar, Sayangku. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri.”

Sang anak mulai menangis, menekan perutnya yang terasa lapar.

Sementara di kota-kota besar dunia, dari Jakarta hingga Johannesburg, aksi bela Palestina makin besar dan makin terorganisir. Spanduk bertuliskan “Khil4f4h untuk Palestina, Khil4f4h untuk Umat” dikibarkan dengan lantang. Seruan jihad tidak lagi menjadi bisik-bisik sunyi, tetapi pekikan penuh tekad.

Barat mencoba mengalihkan narasi, memutarbalikkan fakta, menuduh bahwa ini adalah gerakan ekstrem dan radikal, tetapi narasi itu tak lagi berhasil. Terlalu banyak yang sudah tercerahkan. Terlalu dalam luka Gaza menancap di dada umat.

Malam itu, Nour Assalam kembali menulis, melanjutkan koran kabar pemberitaan yang menjadi tanggung jawabnya. Dia merenung sejenak sembari mengingat momentum ketika mengikuti konferensi di Turki bersana Laila Issam.

“Kita bukan sedang membangun Khil4f4h dari nol. Kita hanya sedang membangunkan kesadaran umat bahwa ia adalah milik kita yang telah lama dirampas.”

Dan ia tahu, tak lama lagi, suara-suara yang hari ini masih berbisik akan menjadi gema. Gema itu akan membesar, mendobrak batas nasionalisme, menumbangkan pagar-pagar buatan penjajah. Gema itu akan menuntut satu, tegaknya Khil4f4h ‘ala minhaj an-nubuwwah.

Koran beredar begitu cepat, bahkan pemberitaannya disiarkan dan dikutip oleh media ternama dunia. Nour Assalam berhasil membangung opini baru, membangun fondasi Islam di tengah rusaknya umat. Nour Assalam tersenyum sembari mendengarkan radio yang mengulik pembahasan dalam kontaknya. Sebungkus teh dia seduhkan ke dalam gelas seseorang yang selama ini menjadi panutannya dalam berpikir.

Nour berkata, “Ustazah, apakah kita bisa merasakan hadirnya Khil4f4h suatu hati nanti?”

Laila diam sejenak, meminum tehnya dengan tenang, lalu menjawab, “Entahlah! Tetapi yang kutahu, jika kita tidak melihatnya tegak, semoga kita menjadi alasan mengapa ia akhirnya tegak.”

Langit malam itu bening. Hilal tak hanya mengabarkan Ramadan, tetapi juga menandai fajar yang sedang merambat naik dari Gaza, menuju seluruh umat yang telah lama tertidur. [CM/Na]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *