Oleh: Rihana El Lova
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Derai air mata masih melintasi pipi Rima. Ia berzikir, mengadu kepada Tuhannya tentang ketidakberdayaan hati menerima takdirnya. Taaruf kelimanya kandas. Aiman, ketua Rohis di SMA-nya dahulu memutuskan proses taaruf tanpa alasan yang jelas. Sebetulnya, kehadiran Aiman mengajaknya bertaaruf melalui Ustaz Ramzi, mampu mengembalikan kepercayaan dirinya yang telah empat kali gagal.
Namun, kali ini, lebih mengiris hati, setelah tiga hari, Aiman memutuskan tidak melanjutkan taaruf. Ia datang bersama keluarganya untuk mengkhitbah Salma, adik bungsu Rima. Bukan salah Salma, sebab gadis lulusan Aliyah itu tidak tahu-menahu perkara taaruf kakaknya.
Begitupun Abi dan Umi, sebagai orang tua, mereka hanya tahu bahwa putri sulungnya itu telah dilangkahi oleh ketiga adiknya. Sekali pun berparas cantik, mempunyai prestasi segudang, bahkan menjadi guru terbaik di tempatnya mengajar, tidak menjamin putri sulungnya itu segera mendapatkan jodoh. Fadhlan dan Dahlan, kedua anak laki-lakinya kini bahkan telah memberinya cucu. Dan putri bungsunya, Salma, kini tengah berbulan madu bersama suaminya.
Bukan pula sengaja Aiman menikahi adik bungsu Rima, ia tidak tahu bahwa gadis yang diputus saat proses taaruf itu adalah kakak iparnya. Wajahnya pucat pasi, saat menjelang pernikahan baru mengetahui bahwa Rima adalah kakak Salma, tetapi pernikahannya tetap harus berjalan, sebab semuanya telah dipersiapkan.
Setelah menikah, Salma dan Aiman langsung pindah ke Mesir, Salma akan meneruskan kuliah S1 sedangkan Aiman akan meneruskan S3-nya. Mereka memutuskan untuk segera menikah agar di Mesir keduanya sudah memiliki hubungan halal. Beruntung, Rima dan adik iparnya itu tidak canggung karena tidak hidup satu atap.
Rima masih melantunkan zikir paginya, “Sakit, ya Allah…” Lirihnya dengan suara sendu dan air mata yang tak henti mengalir.
“Hamba ikhlas, Salma mendapatkan jodohnya, tetapi kenapa harus Aiman, ya Rabb?” ucapnya menyayat hati.
Zikir pagi ia akhiri dengan sujud panjang. Ia percaya, Allah telah mempersiapkan laki-laki terbaik di waktu yang tepat. Kemudian ia melipat mukena yang sedari pagi buta dikenakannya.
“Sudah zikirnya?” Tanya Abi yang melongok di pintu kamar, disusul Umi yang membawakannya teh hangat.
“Barusan bakda Subuh, Gus Furqon datang menemui Abi, dia hendak melamarmu, kalau kamu mau, jam 8 pagi ini akan datang bersama keluarganya untuk mengkhitbahmu.” Lanjut Abi seraya menatap lekat putrinya.
“Masyaallah.” Hanya itu yang mampu terlontar dari bibir Rima dengan mata berkaca-kaca.
Seorang anak ulama besar yang dipersiapkan untuk meneruskan memimpin sebuah pondok pesantren ternama di kota itu datang melamar Rima. Selama ini, Furqon menjadi dosen di Universitas Madinah. Namun, kini pulang ke kota itu dan siap meneruskan perjuangan Abahnya.
“Ini buah kesabaranmu, Nak,” ucap Umi penuh haru.
Tibalah saatnya, semua keluarga berkumpul. Ternyata tidak hanya proses khitbah, tetapi sekaligus melakukan ijab kabul karena keduanya tak mau menunggu lebih lama.
“Saya selalu sebut nama Rima di setiap doa untuk menjadi pendamping hidup. Sejak Rima menjadi guru pengajar di pesantren, saya takjub pada kepribadian Rima yang lembut, tetapi tegas. Semoga kelak lahir dari rahim Rima keturunan yang mempunyai kepribadian tangguh, beradab luhur, dan berwawasan luas seperti ibunya.” Ujar Gus Furqon sambil menatap gadis yang baru dinikahi dengan senyum manisnya.
Rima menunduk dengan wajah tersipu, “Insyaallah, Gus,” ucapnya malu-malu. [CM/NA]