Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Kehadiran Gen Z dalam dunia dakwah diharapkan mampu membawa Islam ke arah kebangkitan. Oleh karena itu, upaya-upaya mengaktifkan mereka kepada dakwah Islam yang nantinya berdampak baik pada kesehatan mental Gen Z perlu dimaksimalkan.
CemerlangMedia.Com — Generasi Z adalah generasi yang lahir dan tumbuh dalam lanskap digital dengan dunia di ujung jari. Mereka hidup dalam era yang menawarkan kesempatan tidak terbatas, tetapi juga tuntutan yang menyesakkan. Di satu sisi, Gen Z tampil sebagai agen perubahan. Mereka berani bersuara untuk hal-hal yang dianggap tabu oleh generasi sebelumnya.
Akan tetapi, di balik layar ponsel mereka, ada bayang-bayang lain yang mengintai. Dunia media sosial sering kali menuntut kesempurnaan sehingga menjadikan mereka rentan terkena gangguan mental. Generasi yang diharapkan mampu membawa perubahan, justru dihadapkan pada krisis mental yang menghambat langkah mereka.
Gambaran kerapuhan mental generasi terlihat dari maraknya Gen Z yang melakukan aksi bvnvh diri (bundir), seperti yang terjadi di Bekasi. Seorang remaja ditemukan tewas diduga bundir pada Selasa (22-10-2023). Polisi menemukan pesan pada secarik kertas yang terselip di topi korban. Pesan tersebut mengisyaratkan korban dalam keadaan sedih, bahkan di akhir kalimatnya, korban merasa menjadi orang yang gagal (Kompas.com, 26-10-2024).
Krisis mental pada generasi tidak lepas dari pengaruh teknologi. Banyak penelitian yang mengungkapkan hubungan antara penggunaan teknologi berlebih dengan peningkatan stres, kecemasan, hingga depresi. Terlebih pada era kapitalisme sekularisme liberalisme yang menjadi media utama bertumbuhnya gangguan mental pada generasi.
Sistem Hidup Rusak
Sistem kapitalisme sekularisme liberalisme mempunyai dampak serius terhadap aspek psikologis, sosial, dan spiritual generasi. Hal inilah yang menyebabkan generasi hancur karena dalam sistem ini, individualisme tinggi. Sistem ini menekankan pada kebebasan individu sehingga membentuk pola pikir bahwa kebahagiaan atau kesuksesan adalah tanggung jawab pribadi, sedangkan kesuksesan sering diukur dari kemampuan individu untuk mencapai standar tertentu, khususnya standar materi.
Alhasil, standar untuk mencapai kesuksesan tersebut menyebabkan Gen Z cemas, minder, stres, dan kurang percaya diri saat tidak dapat memenuhi ekspektasi tersebut. Efek dari individualisme ini menyebabkan ikatan sosial, seperti keluarga dan komunitas melemah. Hal ini menyebabkan generasi muda kehilangan dukungan sosial yang mampu memberikan rasa aman dan stabil.
Di sisi lain, kapitalisme mengutamakan konsumsi sebagai cara untuk mencapai kebahagiaan (konsumerisme). Generasi muda dibombardir melalui iklan dan media sosial dengan citra kehidupan mewah nan glamor. Kebahagiaan bertumpu pada kepemilikan barang-barang mewah, pengalaman unik, atau gaya hidup selebritas yang sulit terjangkau.
Lebih jauh, konsumerisme ini menjebak generasi muda dalam rat rice (perlombaan hidup) untuk mengejar kepemilikan materi. Oleh karena itu, ketika kebahagiaan digantungkan kepada kepemilikan materi, maka seseorang rentan mengalami depresi, sebab materi tidak mampu mengisi ruang kosong emosional. Akhirnya, generasi muda tetap merasa hampa walaupun mendapatkan materi yang dituju.
Di samping itu, pada sistem kapitalisme terjadi kompetisi yang tidak berkesudahan. Banyak generasi muda yang harus terus-menerus berkompetisi untuk mendapatkan nilai yang terbaik, pekerjaan terbaik, atau jabatan tertinggi. Hal ini dapat menimbulkan kelelahan mental dan perasaan cemas secara terus-menerus, bahkan sampai mengganggu kesehatan fisik.
Ketika tidak memenuhi target yang diharapkan, mereka merasa tidak berharga dan gagal, meskipun sebenarnya kompetisi tersebut sering kali tidak adil. Banyak di antara Gen Z yang kemudian merasa kurang motivasi dan putus asa, sebab merasa dunia ini hanya dihargai oleh mereka yang “sukses” dalam aspek material.
Begitu pula sekularisme yang menghilangkan peran agama dalam kehidupan sehari-hari, telah menciptakan kekosongan batin generasi. Tanpa landasan agama yang kokoh, Gen Z cenderung terombang-ambing dalam mencari makna hidup.
Peran agama pun sering diabaikan dalam sistem pendidikan maupun media. Hal ini menyebabkan generasi kehilangan pegangan yang dapat menenangkan batin sehingga mudah terjebak pada gaya hidup hedonis dan cenderung berpikir pragmatis. Hal ini berdampak pada ketidakseimbangan emosional dan mental, sebab hidup hanya berfokus pada kepuasan duniawi tanpa tujuan yang lebih mendalam.
Begitu juga pada sistem kapitalisme, media sosial menjadi alat kapitalisasi yang mengubah interaksi sosial menjadi ajang kompetisi popularitas. Sering kali kehidupan yang dibangun di media sosial sarat pencitraan dan tidak sesuai dengan aslinya. Anehnya, Gen Z suka membanding-bandingkan hidupnya dengan orang lain sehingga sering menimbulkan perasaan rendah diri.
Lebih jauh, interaksi dengan media sosial yang berlebih membuat mereka mudah terjebak dalam Fear of Missing Out (FOMO) atau ketakutan ketinggalan tren. Fenomena ini menambah tekanan mental pada generasi muda, sebab mereka merasa harus selalu up to date agar dianggap tidak ketinggalan zaman. Ketergantungan terhadap validasi dari media sosial seperti ini dapat menyebabkan generasi kehilangan jati dirinya.
Parahnya lagi, kapitalisme sekularisme cenderung mengarahkan tujuan hidup berdasarkan nilai-nilai ekonomi. Generasi muda didorong untuk memilih jalur pendidikan berdasarkan prospek ekonomi, bukan berdasarkan bakat dan minat. Akibatnya, mereka mengalami krisis jati diri —hidup tidak sesuai dengan diri mereka yang sebenarnya.
Lebih jauh, ketika hidup hanya berdasarkan pada tujuan ekonomi semata, maka generasi muda sering kali kehilangan tujuan hidupnya. Banyak di antara mereka yang merasa hidupnya tidak berarti. Walaupun sudah mencapai standar hidup kapitalistik, tetapi tidak pernah merasa puas. Hal ini lantaran mereka tidak menemukan kebahagiaan sejati dari pemenuhan materi.
Dampak yang tidak kalah mengerikan dari sistem kapitalisme terhadap Gen Z adalah terkikisnya rasa kemanusiaan. Kompetisi yang menjadi adat dalam sistem ini menjadikan rasa kemanusiaan tidak penting dalam mengejar kesuksesan. Individu cenderung memprioritaskan diri sendiri. Hal ini menihilkan rasa empati dan kebersamaan. Kondisi demikian berkontribusi pada meningkatnya perasaan kesepian dan isolasi sosial yang berdampak negatif terhadap kesehatan mental.
Reaktivasi pada Dakwah Islam Kafah
Rapuhnya mental Gen Z di sistem kapitalisme sekularisme bukan sekadar masalah individu, tetapi fenomena sosial yang membutuhkan penanganan secara menyeluruh. Oleh karenanya, perlu adanya upaya untuk men-setting ulang pemikiran generasi terhadap penggunaan teknologi, termasuk adanya media sosial.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penyadaran melalui edukasi, menata lingkungan yang men-support Gen Z untuk lebih bijak terhadap penggunaan teknologi, serta jaminan negara untuk menciptakan kondisi Gen Z yang sehat. Pasalnya, saat ini adalah era Gen Z yang memegang peranan penting dalam dakwah Islam kafah karena mereka lebih fasih —mempunyai potensi— dalam penggunaan teknologi dibandingkan generasi sebelumnya.
Dengan demikian, kehadiran Gen Z dalam dunia dakwah diharapkan mampu membawa Islam ke arah kebangkitan. Oleh karena itu, upaya-upaya mengaktifkan mereka kepada dakwah Islam yang nantinya berdampak baik pada kesehatan mental Gen Z perlu dimaksimalkan. Ada tiga komponen utama yang menjadi pilar dalam membina Gen Z untuk aktif berperan dalam dakwah Islam.
Pertama, keluarga. Keluarga merupakan fondasi pertama dalam pembentukan jiwa dakwah. Di sinilah anak-anak ditempa dengan ditanamkan nilai-nilai dasar Islam. Keluarga bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan fisik. Lebih dari itu, harus mengarahkan anak-anak kepada tujuan hidup yang lebih tinggi, melampaui cita-cita duniawi.
Hal ini bisa dilakukan dengan pendampingan sejak dini oleh orang tua. Orang tua harus memupuk rasa tanggung jawab anak kepada agamanya, menciptakan keterikatan emosional dan intelektual pada hukum-hukum Islam. Anak-anak yang dibimbing sejak dini cenderung mempunyai komitmen lebih kuat terhadap dakwah.
Ini bisa dilakukan dengan membangun komunikasi terbuka, mendiskusikan ajaran Islam dan mengaitkannya dalam kehidupan sehari-hari, serta memberi pemahaman bahwa Islam adalah solusi hidup yang sempurna. Hal lainnya adalah peran teladan dalam keluarga.
Orang tua harus menjadi figur yang memiliki nilai-nilai Islam. Dengan begitu, bukan hanya perintah yang diberikan orang tua kepada anak, melainkan contoh sehingga anak mampu memahami syariat dengan baik. Ketika anak-anak melihat orang tuanya salat 5 waktu, misalnya atau berperilaku jujur dan adil, maka anak-anak akan mencontoh dan menjadikannya sebagai standar berperilaku.
Kedua, masyarakat. Tidak dapat dimungkiri, manusia sebagai makhluk sosial bisa terpengaruh oleh lingkungannya. Oleh karenanya, masyarakat harus menciptakan lingkungan yang memotivasi pemuda untuk terlibat dalam perubahan sosial melalui dakwah. Hal tersebut melibatkan berbagai aspek, di antaranya menciptakan komunitas yang mendukung nilai Islam. Masyarakat perlu menghadirkan aktivitas yang mendekatkan Gen Z dengan Islam, misalnya kajian rutin dan majelis taklim.
Ketiga, negara. Negara mempunyai peran sebagai fasilitator yang dapat membentuk kebijakan yang sejalan dengan hukum Islam. Negara dapat menjadi payung bagi keluarga dan masyarakat dalam membentuk Gen Z. Hal ini bisa dilakukan melalui sistem pendidikan. Negara membuat kurikulum yang berbasis iman dan takwa. Bukan hanya berfokus pada akademis saja. Hal ini akan membentuk karakter Gen Z yang sadar akan peran dakwah terhadap kehidupan.
Selain itu, negara harus membatasi pengaruh budaya luar yang dapat menganggu jiwa dakwah Gen Z. Hal ini bisa dengan menghapus konten media yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Begitu pula dukungan negara terhadap kegiatan dakwah. Negara harus memberikan ruang kepada Gen Z untuk terlibat dalam kegiatan dakwah, seperti program dakwah kampus yang dapat mendorong pemuda untuk terlibat dalam dakwah dengan lebih terorganisir dan terarah.
Demikianlah cara mereaktivasi Gen Z dalam dakwah Islam kafah. Mereka mempunyai potensi besar yang mampu mendorong perubahan sosial dan membawa perbaikan dalam masyarakat dengan Islam kafah. Peran ketiga pilar tersebut tidak hanya mampu melahirkan generasi yang aktif berdakwah, tetapi juga memiliki semangat yang tidak tergoyahkan untuk membawa umat ke arah kebangkitan Islam yang hakiki. Insyaallah. Wallahu a’lam. [CM/NA]