Oleh: Reni Sopiani Ummu Ibrahim
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Sungguh tidak terbayangkan bagaimana nasib generasi penerus bangsa kita hari ini, jika setiap hari selalu dibayangi oleh monster perusak generasi. Makin hari makin banyak kasus yang menimpa generasi, sungguh membuat kita resah dan gelisah melihat fenomena ini.
Kasus kehamilan yang tidak diinginkan sebagian besar menimpa perempuan berusia remaja, perilaku seks bebas yang dianut saat ini menjadi momok mengerikan di tengah generasi sebagai buah dari pornografi sehingga menjadi pemicu utama atas meningkatnya angka KTD.
Di sepanjang 2021, tercatat ada 99 kasus dan meningkat pada 2022 menjadi 135 kasus, tidak menutup kemungkinan terjadi peningkatan pada 2023, data ini dihimpun oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman (tribunjogja.com, 20-05- 2023)
Kasus kehamilan yang tidak diinginkan menjadi masalah yang sulit teratasi karena faktor pemicunya begitu masif. Dampak yang begitu jelas akibat tingginya angka KTD mendorong meningkatnya dispensasi pernikahan dini yang dilayangkan para orang tua kepada pengadilan agama. Data yang didapat mencapai angka 52.338 surat dispensasi yang dikeluarkan oleh pengadilan agama pada 2022. Angka yang sangat fantastis (Kumparanplus.com, 27-01-2023).
Menurut pengakuan Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor, ada beberapa faktor pemicu terjadinya kasus KTD. Pertama, adalah peran orang tua yang minim dalam mengedukasi anak-anak nya. Orang tua terkesan abai dalam masalah edukasi sehingga anak-anak lebih banyak tertarik pada hal-hal yang menjurus pada imajinasi tentang seks, ketika rasa penasaran itu muncul, mereka mencoba mempraktikkan tanpa adanya edukasi. Kedua, mudahnya anak-anak mengakses informasi melalui internet, yang berperan besar dalam hal ini adalah media sosial. Sekarang, konten-konten pornografi sangat mudah diakses oleh siapa pun, bukan hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak remaja bahkan anak di bawah umur.
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bahwa sebanyak 66,6 persen anak laki-laki dan 62,3 persen anak perempuan di Indonesia menyaksikan kegiatan seksual (pornografi) melalui media daring. Menurut Asisten Deputi Pelayanan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Robert Parlindungan S menyatakan bahwa data tersebut berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) KPPPA (Republika.co.id, 7-7-2023). Alhasil, konten pornografi ini menjadi monster perusak generasi yang terus membayangi para pemuda saat ini.
Di Mana Peran Negara?
Dari faktor pemicu yang dijabarkan oleh Maria Ulfah tersebut, maka timbul pertanyaan, di manakah peran negara? Jika melihat data yang ada, apakah tidak ada upaya dari pemerintah dalam mengatasi konten pornografi yang begitu bebas diakses oleh para penerus generasi? Tentunya negara juga tahu bahwa hal tersebut dapat merusak anak bangsa.
Dari tulisan yang dibuat oleh Supadiyanto, S. Sos.I., M.I.Kom. Pemerhati Masalah Sosial dan Pembantu Ketua I STIKOM Yogyakarta, menyatakan bahwa soal pornografi sudah diatur oleh Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornagrafi Pasal 17 dan 20, “Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi serta pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.” Artinya, masyarakat dan pemerintah (serta pemerintah daerah) berkewajiban melakukan pencegahan terjadinya pelanggaran pornografi.
Bahkan pada Pasal 29 dan 30 menegaskan bahwa, “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. Namun, kemudian ia menambahkan bahwa penegakan hukum dan regulasi di atas sangat lemah sehingga memerlukan regulasi khusus untuk internet.
Bagaimana tidak lemah jika di dalam pemerintahan ada oknum-oknum yang merasa diuntungkan dengan beredarnya situs-situs porno tersebut, bahkan sebagian dari mereka justru menjadi penikmat konten tersebut. Kasus ini bukan isapan jempol semata, bahkan pernah beredar, salah satu anggota DPR tertangkap kamera sedang menonton video syur saat mengikuti rapat di parlemen. Yang lebih mencengangkan lagi, salah satu pejabat yang digadang-gadang akan menjadi petinggi mengaku bahwa pernah tak sengaja mengakses situs porno dan ia tidak merasa hal itu adalah perbuatan yang salah, hanya karena ia suka dan sudah memiliki pasangan yang sah (warta ekonomi.co.id, 15-8- 2023). Sungguh miris, akan menjadi apa generasi penerus bangsa ini, jika calon pemimpinnya saja membenarkan tindakan yang tercela.
Buah dari Sistem Kapitalisme
Melihat dari data bagaimana banyaknya generasi kita yang mengakses konten pornografi, bahkan para pejabat ikut mengakses konten tersebut, maka yang terjadi bukan hanya kasus KTD saja yang meningkat, tetapi kasus kekerasan seksual pada anak yang dilakukan orang dewasa akibat tidak adanya penyaluran, sedangkan hasrat bejat mereka makin meningkat. KPAI mengungkapkan ada 4.683 aduan yang masuk ke lembaga nya yaitu tentang kasus kekerasan seksual pada anak, angka ini nyaris mencapain 5000 kasus (inilah.com, 20-5-2023).
Hal ini buah dari sistem kapitalisme yang diterapkan. Pada sistem ini, negara bukan menjadi pelayan rakyatnya melainkan menjadi penjual sehingga sesuatu yang bisa memberikan keuntungan bagi mereka, maka akan dijaga eksistensinya. Sejatinya, dalam sistem kapitalisme, yang dilihat adalah materi yang menghasilkan keuntungan sehingga negara tidak segan untuk mengorbankan generasi penerus bangsa hanya demi keuntungan semata. Walaupun ada aturan atau regulasi yang mengatur tentang pembatasan konten pornografi yang beredar, itu hanya sebagai formalitas belaka yang sifatnya lemah dan tidak akan menyelesaikan masalah.
Islam Memberantas Pornografi Hingga ke Akar
Sistem kapitalisme yang rusak dan merusak, sudah saatnya kita ganti ke sistem yang benar, yang berasal dari Allah Sang Pencipta, yaitu Islam. Hanya dengan Islam, masalah pornografi akan bisa diselesaikan hingga keakarnya. Sebab, Islam memiliki konsep mencegah, menangani, melindungi, dan penegakan hukum terhadap sesuatu yang melanggar syariat seperti hukuman kepada para penikmat konten porno, baik remaja atau orang dewasa.
Pertama, Islam mengajarkan penganutnya bahwa sesuatu yang menjurus kepada kemaksiatan adalah perbuatan dosa yang tidak boleh dilakukan. Sebagai hamba Allah, manusia wajib menaati aturan yang telah diperintahkan oleh Allah, maka jika mendekati dosa saja dilarang apalagi melakukannya.
Kedua, Islam memiliki sanksi yang tegas kepada pelaku zina, baik itu zina mata, zina hati, atau zina perbuatan, menyaksikan situs pornografi termasuk ke dalam zina mata yang akan berlanjut pada zina perbuatan, maka hukuman yang diberikan berupa hukum cambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun bagi pezina yang belum menikah, sedangkan untuk yang sudah menikah diberikan hukuman berupa rajam (dilempari dengan batu hingga mati). Sanksi ini dilakukan di hadapan umum agar yang menyaksikan dapat melihat bagaimana para pelanggar syariat ini diberikan hukuman. Ini berfungsi agar tidak ada lagi orang yang berani melakukan hal serupa di kemudian hari.
Lebih tegasnya, Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al Isra ayat 32 yang artinya,“Janganlah kamu mendekati zina, sebab zina adalah perbuatan keji lagi jalan yang amat buruk.”
Dari ayat ini seharusnya para generasi sadar bahwa mendekati zina, apa pun caranya, baik itu pacaran, atau mengakses, dan melihat konten pornografi adalah perbuatan yang mendekati zina, dan kita harus menjauhkan diri dari aktivitas tersebut.
Ketiga, negara tegas terhadap para pembuat konten pornografi. Hukuman diberikan bukan hanya kepada pelaku yang mengakses situs-situs pornografi saja, tetapi juga harus diberikan kepada para pembuat situs dan konten tersebut. Hukumannya berupa dibekukannya situs mereka secara permanen serta diawasi oleh lembaga negara yang berpegang teguh pada syariat Islam sehingga mereka tidak punya kesempatan untuk mengaktifkannya kembali.
Bahkan harus juga diberikan hukuman yang sama dengan para pelaku yang menikmati konten tersebut, walau alasan mereka hanya ingin meraup keuntungan dari usaha yang mereka jalankan. Sebab, tidak mungkin tujuannya hanya semata keuntungan, sudah pasti mereka juga adalah para pelaku. Negara juga harus menyisir lembaga-lembaga yang berkaitan dengan dunia remaja untuk melakukan edukasi terhadap para generasi bahwa pornografi adalah bahaya laten yang bisa merusak keberlangsungan potensi mereka sebagai generasi penerus agama dan bangsa
Keempat, harus dengan sistem Islam yang diterapkan oleh negara. Penanganan terhadap pornografi tidak akan tuntas jika negara masih menggunakan kapitalisme sebagai dasar dari penerapan aturan. Kapitalisme sudah terbukti tidak dapat menyelesaikan masalah apa pun, bukan hanya tentang pornografi. Negara harus benar-benar mengganti sistem ini dengan sistem Islam yang menerapkan aturan Islam secara kafah sehingga dapat menyelesaikan segala masalah.
Maka jelaslah permasalahan manusia tidak dapat teratasi jika masih berharap pada aturan kapitalisme, begitu pun dengan masalah pornografi tetap akan menjadi monster perusak generasi jika tidak diselesaikan dengan Islam. Wallahu a’lam. [CM/NA]