By. Irsad Syamsul Ainun
(Tim Redaksi CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Kita akan terus berjalan. Terkadang kita akan menjadi tanda koma, sekadar berhenti mengambil nafas dan mengumpulkan tenaga. Lalu, hadir pula tanda titik. Bukan untuk mengakhiri, namun lebih kepada mengumpulkan lebih banyak referensi untuk melanjutkan tulisan-tulisan kita.
Adakalanya hadir pula tanda seru, meski tidak selamanya masuk dalam tulisan kita. Kehadirannya terkadang bisa tersirat. Ini kode keras bahwa kita harus berhati-hati. Ada pula tanda tanya. Ini juga wajib adanya, dan terkadang tanda tanya ini bisa jadi kehadirannya dari luar tulisan kita. Apakah tulisan kita layak dibaca atau kita harus revisi lagi.
Hmmm… Ada dua rasa tatkala tulisan kita masuk dapur koreksi. Pertama berharap diterima dan terbit, kedua ada was-was dalam diri, apakah akan dikembalikan dengan maksud perbaikan?
Jika harus direvisi, ini juga campur aduk dalam hati. Terkadang siap menerima juga tidak. Padahal jika difikirkan dengan kepala dingin, hati yang ikhlas, alangkah indahnya, kita masih mendapatkan koreksian.
Saat-saat kita membayangkan perjalanan hidup kita yang demikian, jika kelak kita akan bertemu dengan akhir dari perjalanan hidup ini, apakah kita telah mampu untuk menikmati segala konsekuensi dari perbuatan kita di dunia yang fana ini? Saat ini diri kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum akhirnya benar-benar terhimpit di antara liang lahat, yang jika dibayangkan dengan akal terbatas manusia, seluas apa sih dia? Paling 1-3 meter kedalamannya, lebarnya cukup untuk badan kita saja. Tidak lebih, tidak kurang.
Lantas, sudahkah kita menyiapkan perbekalan hidup ini agar kita tidak hanya terlihat padu, koheren dan aktif di dunia? Sudahkah diri kita dibekali dengan ribuan tanda baca yang membuat hidup kita terasa indah jika telah tayang di tengah kumpulan yang mana tak ada lagi hiruk-pikuk referensi yang harus dikumpulkan?
Alangkah manisnya hidup kita kelak, jika hari ini kita mempersiapkan referensi lalu merangkai jalinan tulisan yang terbentuk dari frasa-frasa yang terus melahirkan makna baru. Menjadikan hidup kita jauh lebih terasa bermakna dari sekadar menulis untuk sekadar menyalurkan hobi.
Sama halnya dengan hidup ini. Jika kita hidup hanya sekadar hidup sebagaimana kata petuah ulama kita yakni Buya Hamka, ‘monyet di hutan juga hidup’. Menjadikan hidup ini lebih bermakna ternyata bukan hanya menjadikan diri kita baik dan benar, namun menjadi jauh lebih bermakna dengan sama-sama membangun dan melahirkan peradaban.
Menjadi insan yang tidak hanya mencerdaskan diri sendiri, tapi juga orang lain. Sama halnya dengan tulisan kan? Ya, menulis untuk diri sendiri, dan membagikan kepada orang lain dengan harapan menjadi wasilah kebaikan untuk aku, kamu, dan kita semua.
Jangan terlalu fokus pada tulisan sendiri, sekali-kali tengoklah tulisan orang lain. Karena di sana ada ilmu-ilmu baru yang akan menjadikanmu pelajar sejati. Teruslah mencari, dan jangan lupa ada penggerak abadi yang membuatmu mampu berkarya yakni Allah, Sang Khaliq.
Akhir dari tulisan kita adalah penerimaan dan pelajaran yang akan membuat kita bahagia. Begitu pula perjalanan hidup yang kita lakoni saat ini. Tak ada satu insan pun yang ingin hidupnya berakhir dengan sebuah kesengsaraan, seperti lembar-lembar sejarah yang telah tertuliskan dan diisi oleh mereka para pendahulu kita.
Tak ada maksud membandingkan hidup mereka dengan diri kita saat ini. Akan tetapi sebagai hamba, kita sering diingatkan untuk menjadikan itu sebagai pelajaran. Dan ini dinisbatkan kepada mereka yang memiliki akal dan berpikir.
Kemampuan berpikir pun Allah karuniakan kepada setiap makhluk-Nya yang bernama manusia, namun lagi-lagi, sedikit sekali dari kita ini yang mampu menjaga dan mengolahnya dengan baik. Kita hanya tergesa-gesa dengan kenikmatan sementara. Selalu melihat yang nampak dan menyimpulkannya bahwa itulah kebaikan hakiki.
Hmmm… Kita tertipu oleh mata kita sendiri, kita tertipu oleh pendengaran kita, kita melalaikan peringatan dari kalbu kita bahwa ada loh yang lebih hakiki kenikmatannya. Bukan di dunia. Bukan, sungguh bukan, tapi di akhirat.
Olehnya itu, hiasi dan isi lembaran-lembaran hidup ini dengan tulisan-tulisan kita yang mampu melahirkan makna baru, menggerakkan hati kita yang kalut, dan menjadi penopang langkah kaki dan pundak kita yang terkadang jatuh dan tergelincir pada hal-hal yang tak mampu dilewati sendiri. Gunakan referensi untuk memperkaya kenikmatan kosa kata, yang pada akhirnya akan menjadi tulisan yang akan membawamu pada bahagia yang hakiki. Wallahu a’lam. [CM/NA]