Adakah Intoleransi dalam Islam?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Ummu Rifazi, M.Si.

Syariat Islam yang agung mengajarkan konsep toleransi yang jelas, konsisten, dan sahih. Umat Islam diperintahkan memenuhi hak-hak non muslim dalam batas-batas yang telah ditetapkan syariat Islam.

CemerlangMedia.Com — Pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel di Kelurahan Watang Soreang Parepare, Sulawesi Selatan ditolak DPRD Parepare. Ketegasan sikap disampaikan setelah ada desakan dari Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P).

Siti Kholisoh menilai, penolakan tersebut sebagai sikap intoleransi. Plh Direktur Eksekutif Wahid Foundation yang juga merupakan aktivis moderasi beragama tersebut mengeklaim bahwa sikap mereka merusak hak umat beragama lain (beritasatu.com, 29-09-2024).

Intoleransi: Dari Siapa, untuk Apa?

Realitas pembangunan sekolah keagamaan di pemukiman mayoritas muslim memang ‘janggal dan dipaksakan’. Pasalnya, jumlah sekolah di kelurahan tersebut telah tercukupi. Bahkan, masih ada sekolah yang kekurangan murid. Jadi sebetulnya, pendirian sekolah keagamaan tersebut tidak dibutuhkan.

Oleh karenanya, tidak heran jika warga sekitar sekolah menduga kuat adanya misi pemurtadan. Dugaan makin menguat karena pihak sekolah mencanangkan gratis biaya pendidikan dan beasiswa bagi siswanya.

Pembebasan biaya sekolah merupakan tawaran yang sangat menggiurkan di tengah mahalnya biaya pendidikan. Mencium bahaya pemurtadan, maka warga Wattang Soreang pun menuntut pencabutan izin pembangunan. Mereka pun mendesak agar sekolah tersebut dipindahkan ke wilayah lain (timeberita.com, 07-10-2024).

Upaya mendirikan sekolah Kristen di tengah pemukiman muslim niscaya membawa misi. Allah telah mengingatkan tentangnya, “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu sebelum engkau mengikuti agama mereka.” (QS Al-Baqarah: 120).

Misi kaum kafir niscaya lancar terlaksana dalam sistem demokrasi karena asas liberal sistem ini, maka segala hal bebas dilakukan atas nama hak asasi manusia (HAM). Imperialis Barat, sang pemilik sistem batil ini melakukan berbagai upaya agar misinya sukses dijalankan, di antaranya dengan memopulerkan dan mengaruskan istilah toleransi dan intoleransi.

Ketika warga muslim menerima pembangunan sekolah tersebut, maka mereka dipuji bersikap toleran. Namun, tatkala menolak keberadaannya, maka mereka dituding bersikap intoleran. Klaim seperti ini berlaku untuk kasus-kasus lainnya.

Intinya jika seorang muslim mengikuti kemauan imperialis Barat, mereka disanjung sebagai individu yang toleran. Namun, manakala seorang muslim berpegang teguh pada ajaran Islam, maka mereka dicap bersikap intoleran.

Imperialis Barat merekrut para partisan untuk menyukseskan misi penyesatannya. Mirisnya, para pendukung mereka ini acap kali bagian dari umat Islam juga.

Mereka memarjinalkan peranan Islam dalam mengatur seluruh aspek kehidupan bernegara. Mereka pun bersatu padu mereduksi akidah umat Islam, demi melanggengkan sistem demokrasi sesat dan mengukuhkan hegemoni imperialisme di negeri kaum muslim.

Barat dan pendukungnya senantiasa berusaha menyematkan sikap intoleransi hanya kepada umat Islam saja. Upaya mereka kasat mata dalam berbagai kasus, misalnya yang terjadi di Papua beberapa tahun yang lalu.

Sepuluh tahun yang lalu, seorang siswi ditolak bersekolah di SD Negeri Papua karena berhijab. Beberapa tahun setelahnya, terjadi penolakan renovasi Masjid Raya Al-Aqsha di Senthani Papua. Namun, dunia pemberitaan sepi dari penyematan ‘sikap intoleran’ terhadap warga non muslim yang melakukan penolakan tersebut. Sementara sikap penolakan tersebut jelas intoleran dan nyata-nyata menghalangi umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya.

Konsep Toleransi Sahih dalam Islam

Sejatinya, sampai kapan pun seorang muslim tidak akan pernah bersikap intoleran. Sebab, syariat Islam yang agung mengajarkan konsep toleransi yang jelas, konsisten, dan sahih. Umat Islam diperintahkan memenuhi hak-hak non muslim dalam batas-batas yang telah ditetapkan syariat Islam.

Sejak masa Kanjeng Nabi Shalallahu alaihi wasallam, Khulafaur Rasyidin, maupun para khalifah setelahnya, Islam tidak pernah bermasalah dengan pluralitas dan toleransi. Tinta emas sejarah membuktikan keunggulan ajaran Islam yang agung dalam menyelesaikan problem keragaman dan perbedaan serta masalah turunannya.

Toleransi dalam koridor syariat Islam telah diterapkan dalam kehidupan nyata kaum muslimin dalam berbagai kebijakan negara Islam selama 1300 tahun lamanya, baik dalam negara Islam pertama di Madinah yang didirikan Kanjeng Nabi Shalallahu alaihi wasallam, Khilafah Islamiah yang dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin, maupun para khlalifah setelahnya. Kebijakan negara Islam dalam mengatur hubungan antarumat beragama, di antaranya:

Pertama, negara Islam tidak pernah memaksa siapa pun untuk memeluk Islam (QS Al-Baqarah: 256). Syariat Islam mengajarkan umatnya untuk mengajak manusia lain memeluk Islam lewat proses berpikir. Seorang mantan biarawati dan pemikir lintas agama, Karen Armstrong secara jujur mengakui dalam bukunya Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, McMillan London Limited, 1991, halaman 44, “Tidak ada tradisi persekusi agama dalam imperium (Khil4f4h) Islam.”

Kedua, negara Islam menerapkan syariat Islam secara kafah. Hukum syarak berlaku permanen dan relevan sampai kapan pun. Tidak ada tasamuh (toleransi) dalam kemaksiatan, seperti bertahkim kepada hukum buatan manusia (demokrasi), korupsi, homoseksual, perzinaan, pemurtadan, dan lain sebagainya.

Ketiga, negara Islam mengizinkan orang kafir zimmi melakukan peribadahan, pernikahan, mengonsumsi makanan dan minuman menurut tata cara agama mereka. Pada saat penaklukan Mesir, para sahabat menyaksikan dan membiarkan kaum kafir minum khamar serta beribadah sesuai keyakinan mereka. Namun demikian, warga negara muslim dilarang melibatkan diri dalam peribadatan orang kafir.

Tatkala seorang muslim turut serta dalam peribadatan orang kafir, maka itu bukanlah sikap toleransi, melainkan sinkretisme atau mencampuradukkan agama dan Allah melarang tegas hal ini dalam QS Al-Kafirun ayat 1—6 yang telah sangat kita pahami isinya. Warga muslim pun dilarang mencela sesembahan agama lain (QS Al-An’am: 108).

Keempat, warga muslim diajarkan untuk berdiskusi dengan orang-orang kafir dengan cara makruf (QS Al-‘Ankabut: 46).

Dengan semua fakta sejarah tersebut, terbukti tuduhan Islam intoleran merupakan penyesatan politik. Seiring berjalannya waktu, kebohongan propaganda negatif mereka akan terbongkar di hadapan publik. Mereka tidak akan pernah bisa menyembunyikan sejarah keagungan dan kegemilangan peradaban Islam yang telah menaungi 2/3 dunia selama 14 abad lamanya. Masyaallah, allahumma akrimna bil Islam. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *