Dana Desa Diperbesar, Peluang Korupsi Kian Lebar?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh. Hanimatul Umah
(Kontributor CemerlangMedia.Com)

CemerlangMedia.Com — Korupsi seolah menjadi tradisi di kalangan pejabat negeri, tak terkecuali petinggi desa dan jajarannya. Dengan adanya penggelontoran dana desa diduga akan makin masif dan berpotensi makin maraknya korupsi. Mengacu pada revisi UU no.6 tahun 2014 tentang desa yang mulanya periode menjabat Kades selama 6 tahun, kini diubah menjadi 9 tahun dan dana desa dinaikkan (Rejogja.co.id, 1-7-23).

Dana desa yang seharusnya bertujuan untuk membangun fasilitas dan memajukan ekonomi yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat ternyata belum terwujud sepenuhnya. Pasalnya dikorupsi para perangkat desa. Seperti di Desa Lontar Kecamatan Tirtayasa Kabupaten Serang, Banten, yakni kepala desa menjadi tersangka korupsi yang merugikan negara sejumlah Rp988 juta. Pada periode 2015 sampai 2021 telah menyelewengkan alokasi dana desa untuk kepentingan pribadi, pesta hiburan malam hingga poligami (tirto.id, 30-6-23).

Demokrasi Melanggengkan Korupsi

Pada 2022 saja rata-rata setiap desa memperoleh dana sebesar Rp907,2 juta bertujuan untuk membangun sarana dan prasarana, menurunkan kemiskinan, dan memajukan perekonomian. Jika perolehan dana desa yang sumber dananya 10 persen dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), maka jumlah dana akan lebih besar lagi.

Menjadi rahasia umum, ketika mencalonkan diri sebagai kepala desa telah mengeluarkan biaya, maka ketika menjabat seolah harus mengembalikan modal tersebut. Maka perpanjangan masa jabatan kades yang sebelumnya 6 tahun jika terpilih dua putaran, setelah direvisi menjadi 9 tahun, seolah membuka celah atau peluang untuk korupsi. Hal ini sangatlah disayangkan, niat awal dan janji kampanye adalah menyejahterakan dan memajukan ekonomi rakyat, tetapi tinggal wacana semata. Mengapa demikian?

Tidak lain karena kapitalisme sekuler sebagai landasannya, pemisahan agama dari kehidupan inilah awal dari berani melakukan korupsi dan memandang suatu hal biasa bukan dosa, padahal merugikan masyarakat. Cara pemilihan pemimpin desa tak ubahnya seperti pemilihan pejabat lainnya yang membutuhkan dana besar. Maka berapa pun dana desa untuk kepentingan rakyat, jika masih dalam sistem kapitalisme, maka kesejahteraan hanyalah angan-angan. Hukuman pun tidak akan membuat jera pelakunya.

Alam kapitalisme memaklumkan perilaku korupsi, seolah tindakan lumrah dan wajar. Ini dikarenakan pola pikir masyarakat pada umumnya adalah asas sekularisme. Mengutip pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahwa korupsi tidak akan bisa hilang karena sifat dasar manusia, tetapi hanya bisa ditekan dan dikurangi dengan digitalisasi sebagi kunci pemberantasan korupsi (18-7-2023). Oleh karena itu mustahil demokrasi mampu memberantas korupsi, justru sebaliknya melanggengkan korupsi.

Islam Menyolusi Korupsi

Pembangunan adil dan merata baik di kota atau di desa sebagai indikator kesejahteraan suatu wilayah. Namun, jika dana untuk pembangunan diselewengkan untuk kepentingan pribadi tentu merupakan kezaliman dan ini bertentangan dengan Islam.
Firman Allah Swt. dalam QS Al-Baqarah: 188, “Janganlah kamu makan harta di antara kalian dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Islam adalah problem solved dalam kehidupan termasuk menuntaskan korupsi. Dalam Islam, jabatan adalah amanah bagi seseorang, maka penting bagi seorang pejabat memimpin jalannya pemerintahan dengan beriman dan takwa. Ketakwaan individu inilah sebagai dasar untuk memimpin bangsa. Akidah Islam sebagai asas kehidupan bernegara, sedangkan hukum/aturan dalam Islam berstandar halal dan haram merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunah sehingga pejabat tidak berbuat ghulul.

Islam juga melarang keras praktik ghulul (korupsi) dan gasab (merampas harta) sebagaimana dalam QS An-nisa ayat 29, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil.”

Solusi sistemik berpengaruh pula dalam menyelesaikan tindak korupsi, seperti sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam dan takzir yakni hukuman tegas bagi pelakunya. Secara administrasi, juga sangat detail. Seseorang yang diangkat sebagai pejabat akan dihitung terlebih dahulu harta yang dimilikinya sebelum menunaikan tugasnya.

Jika ada kejanggalan dalam hitungan harta sebelum dan di akhir menjabat, maka negara akan mengambil harta tersebut dan diserahkan ke baitulmal untuk kaum muslimin. Dalam sebuah riwayat, Umar mengambil harta Abu Sufyan yang didapat dari putranya Muawiyah bin Abu Sufyan pada saat itu menjabat sebagai walinya.

Mudir istilah dalam sistem pemerintahan Islam sama dengan kepala desa dipilih langsung oleh khalifah, ini menjadi efektif dan tidak membuang waktu dan biaya seperti dalam sistem demokrasi. Alhasil, celah korupsi dapat tertutup rapat dengan sistem kepemimpinan Islam sehingga akan terwujud keadilan dan kesejahteraan. Maka hanya dengan penerapan Islam di seluruh aspek kehidupan semua itu bisa teratasi. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *