Oleh: Meta Nisfia Falah, S.Ak.
Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, kesejahteraan rakyat tidak hanya sekadar slogan, tetapi benar-benar diwujudkan secara nyata. Hasil pengelolaan kekayaan negara akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik yang berkualitas, distribusi kekayaan yang adil, serta terpenuhinya kebutuhan dasar setiap warga negara.
CemerlangMedia.Com — Presiden Prabowo Subianto meresmikan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada 24 Februari 2025 sebagai langkah strategis dalam mengonsolidasikan dan mengoptimalkan aset negara melalui investasi. Pemerintah berharap badan ini dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Namun, efektivitas Danantara dalam meningkatkan daya saing ekonomi nasional masih menjadi tanda tanya.
FTSE Russell, penyedia indeks saham global melihat Danantara sebagai langkah strategis untuk meningkatkan daya saing Indonesia di mata investor asing dengan proyeksi aset mencapai USD 900 miliar. Mereka menekankan pentingnya strategi investasi terdiversifikasi dan transparansi untuk menarik lebih banyak investasi asing (metrotvnews.com, 01-03-2025).
Peningkatan investasi dari negara lain terhadap Indonesia justru menunjukkan bahwa Indonesia memiliki posisi strategis yang seharusnya dimanfaatkan untuk memperkuat industri dalam negeri, bukan mengalihkan fokus pada pengelolaan aset negara yang belum tentu berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi nasional. Kebijakan yang diambil harus berorientasi pada pengembangan sektor produktif yang dapat meningkatkan daya saing dan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Kapitalisme dan Dominasi Oligarki
Pembentukan Danantara mencerminkan desain ekonomi yang mengarah pada kapitalisme negara dengan mengusung ekonomi kerakyatan, tetapi tetap mempertahankan dominasi oligarki yang telah menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan. Langkah ini sejalan dengan model ekonomi Tiongkok. Pemerintah menggunakan badan investasi untuk mengoptimalkan modal dan aset negara, demi pertumbuhan ekonomi yang agresif.
Namun, dalam praktiknya, aktor utama yang menikmati manfaat dari badan semacam ini cenderung berasal dari kalangan oligarki, sebagaimana terlihat dari jajaran petinggi Danantara. Dengan struktur seperti ini, Danantara berisiko menjadi alat konsolidasi kekuasaan ekonomi bagi kelompok tertentu daripada memberikan manfaat nyata bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Tanpa strategi yang konkret dan transparansi dalam pengelolaan aset, kebijakan investasi seperti ini berpotensi hanya menguntungkan segelintir elite ekonomi. Jika tidak diarahkan dengan baik, Danantara bisa menjadi instrumen yang memperkuat kepentingan oligarki daripada meningkatkan daya saing industri nasional. Sementara itu, negara lain makin agresif menarik investasi dan memperkuat sektor industrinya.
Uang Rakyat untuk Investasi
Modal raksasa yang dikelola oleh Danantara sejatinya berasal dari uang rakyat yang kini dipertaruhkan dalam persaingan bebas global. Pemerintah berencana menggunakan dana ini untuk menarik investasi asing, melakukan ekspansi modal Indonesia ke luar negeri, serta mendukung program prioritas nasional, seperti hilirisasi mineral dan batu bara (minerba) serta penguatan industri sawit.
Dengan skema seperti ini, keuntungan utama dari Danantara akan dinikmati oleh para oligarki di sektor minerba dan sawit. Mereka akan makin leluasa memperluas ekspansi bisnisnya di pasar global dengan dukungan dana negara, sementara rakyat hanya menjadi penonton tanpa memperoleh manfaat langsung.
Lebih dari itu, investasi selalu memiliki risiko. Jika strategi investasi yang dilakukan Danantara tidak berjalan sesuai harapan atau mengalami kegagalan, maka uang rakyat yang dipertaruhkan bisa lenyap begitu saja tanpa ada jaminan untuk kembali.
Pada akhirnya, beban kerugian akan ditanggung oleh negara dan masyarakat. Sementara kelompok elite yang telah menikmati keuntungan tetap dapat mempertahankan dominasinya di perekonomian nasional.
Solusi Ekonomi yang Menyeluruh
Islam memberikan tuntunan yang jelas tentang konsep kepemilikan dan bagaimana mengelolanya. Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga kategori utama, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Setiap jenis kepemilikan memiliki aturan tersendiri yang bertujuan untuk memastikan keadilan dalam distribusi sumber daya serta kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Islam menetapkan bahwa sumber daya alam yang bersifat strategis dan menjadi kebutuhan hidup orang banyak, seperti tambang, minyak, gas, serta hutan, tidak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok tertentu, melainkan harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat secara luas.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Hadis tersebut menegaskan bahwa sumber daya vital, seperti air, energi, dan sumber daya alam lainnya adalah milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh segelintir pihak untuk kepentingan pribadi atau golongan. Hal ini bertolak belakang dengan praktik ekonomi kapitalisme yang memungkinkan segelintir elite menguasai sumber daya negara dan memperoleh keuntungan besar dari hasil pengelolaannya.
Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, kesejahteraan rakyat tidak hanya sekadar slogan, tetapi benar-benar diwujudkan secara nyata. Hasil pengelolaan kekayaan negara akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik yang berkualitas, distribusi kekayaan yang adil, serta terpenuhinya kebutuhan dasar setiap warga negara.
Sistem ini menghilangkan dominasi oligarki dan memastikan bahwa kebijakan ekonomi benar-benar berpihak pada kesejahteraan rakyat, bukan hanya menguntungkan segelintir pihak. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam dalam bingkai Khil4f4h Islamiah, eksploitasi sumber daya oleh korporasi atau elite tidak akan terjadi karena seluruh kebijakan ekonomi berorientasi pada kemaslahatan umat.
Wallaahu a’lam bisshawab. [CM/NA]