Oleh: Irma Sari Rahayu
“Islam memandang, setiap persoalan harus diselesaikan dengan tuntas karena menyangkut hak hidup manusia. Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar selain sandang, pangan, papan, dan menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Pun dengan ekonomi, seyogianya negara menyelesaikan persoalan keduanya dengan tuntas.”
CemerlangMedia.Com — Kualitas udara beberapa kota besar di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Hal ini terpantau dari kondisi udara pada pagi dan sore hari atau pada jam-jam padat, langit Kota Jakarta dan Bekasi tampak pekat, bak berkabut.
Berdasarkan data di IQAir, indeks kualitas udara (AQI) Kota Bekasi masuk dalam kategori tidak sehat dengan nilai 157 mengacu pada penilaian PM2,5 dengan nilai konsentrasi 64.5 mikrogram per meter kubik. Tidak sehatnya kualitas udara Kota Bekasi membuatnya masuk dalam peringkat terburuk kedua di Indonesia setelah wilayah Pagak di Kabupaten Malang Jawa Timur.
Dari beberapa daerah di Kota Bekasi yang memiliki kualitas udara buruk, Bantargebang menjadi wilayah dengan udara terkotor pertama dengan AQI 166. Urutan berikutnya adalah Kayuringin menjadi wilayah dengan udara terkotor kedua di Kota Bekasi dengan AQI 157 (RadarBekasi.id, 26-7-2024).
Sementara itu, kualitas udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat pada Sabtu (27-7-2024) pagi. Level itu menempatkannya pada posisi kedua sebagai kota dengan udara terburuk di dunia.
Berdasarkan data situs pemantau kualitas udara, IQAir, Indeks Kualitas Udara (AQI) di Jakarta berada di angka 164. Artinya, kualitas udara ibu kota negara kita masuk dalam kategori tidak sehat dengan polusi udara PM2,5 dan nilai konsentrasi 73,5 mikrogram per meter kubik.
Konsentrasi tersebut setara 14,7 kali nilai standar kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). PM2,5 adalah partikel udara yang berukuran sangat kecil, yakni 2,5 mikron (mikrometer) (Republika.co.id, 27-7-2024).
Penyebab Polusi Udara
Banyak faktor yang menyebabkan polusi udara, antara lain asap kendaraan bermotor, debu, pembakaran sampah, kebakaran hutan, asap pabrik, pembangkit listrik, dan lain sebagainya. Apalagi di saat udara panas seperti sekarang, adanya polusi udara dirasakan makin memperburuk keadaan.
Kualitas udara yang buruk sangat rentan bagi kelompok sensitif, yaitu anak-anak, penderita penyakit paru-paru, dan lansia. Meski demikian, bukan berarti kelompok yang tidak rentan akan aman. Paparan yang terus-menerus dapat mengakibatkan orang sehat lama-kelamaan akan sakit juga.
Dari sekian banyak sumber polusi udara, pembangkit listrik bertenaga batu bara dituding sebagai biang keladi penyebab polusi udara terbesar di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Ya, banyaknya kendaraan bermotor yang memenuhi Kota Jakarta dan Bekasi menyumbang emisi karbon monoksida (CO) terbesar.
Berikutnya adalah pembangkit listrik bertenaga batu bara. Pun dituding sebagai biang keladi penyebab polusi udara terbesar di dunia, tidak terkecuali di Indonesia karena menghasilkan sulfur dioksida (SO2) yang berbahaya bagi kesehatan.
Peduli Lingkungan vs. Keuntungan Ekonomi
Permasalahan polusi udara adalah sebuah momok sekaligus dilema bagi negara. Di satu sisi ada persoalan lingkungan yang harus diatasi, di sisi lain ada sudut pandang ekonomi yang membuat negara sulit untuk mengambil kebijakan yang tepat.
Penggunaan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik masih tetap dipertahankan karena harganya yang murah. Dengannya, pertumbuhan ekonomi dapat terdorong dan keterjangkauan listrik pun meningkat.
Namun, permasalahan besar dari penggunaan batu bara adalah emisi pembangkit listrik ini berkontribusi besar bagi polusi udara di negara ini. Data International Energy Agency (IEA) menunjukkan, 51 persen emisi CO2 di Indonesia berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara.
Porsi batu bara dalam bauran energi Indonesia sebesar 30 persen pada 2021. Sementara secara sektoral, kontributor terbesar emisi CO2 adalah sektor kelistrikan (44 persen), diikuti sektor industri (24 persen), transportasi (24 persen), dan rumah tangga (5 persen) (Sektetariat Kabinet Republik Indonesia, 14-9-2023).
Dengan digunakannya batu bara sebagai bahan pembangkit listrik, membuat tarif listrik di negara ini relatif lebih murah dibandingkan negara-negara di Eropa, misalnya. Tarif yang murah ini dianggap masih dapat dijangkau dan tidak menjadi beban bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas kondisi ekonominya adalah menengah ke bawah. Akan tetapi, pada faktanya tidak demikian, tarif listrik justru tinggi, terlebih bagi kalangan menengah ke bawah.
Dua kondisi ini, yaitu persoalan polusi dan keuntungan ekonomi menjadi dilema terberat bagi pemerintah. Bak dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi, negara dianggap abai terhadap persoalan lingkungan dan kesehatan masyarakat, tetapi di sisi yang lain ada pertimbangan ekonomi yang harus terus tumbuh.
Sementara energi adalah bagian penting bagi tumbuhnya ekonomi, terutama energi listrik. Digunakannya pembangkit listrik berbahan batu bara bisa membuat perekonomian meningkat. Namun, polusi udara makin pekat. Jika polusi dikurangi, perekonomian akan lesu. Sungguh pilihan yang berat.
Beralih ke Energi Alternatif
Pemerintah bukan tidak peduli terhadap buruknya kualitas udara negeri ini. Beberapa langkah telah dilakukan untuk mengurangi polusi, misalnya imbauan dibukanya ruang terbuka hijau di kota-kota besar dan peralihan kendaraan berbahan bakar fosil ke listrik.
Namun, upaya ini belum dirasakan keampuhannya. Faktanya, lahan yang disediakan untuk RTH jauh lebih sedikit dibandingkan untuk lahan perumahan dan pusat perbelanjaan. Pun kendaraan listrik, harganya yang mahal belum sepenuhnya mampu dijangkau oleh masyarakat.
Penggunaan energi terbarukan pengganti batu bara pun sudah diwacanakan. Namun, lagi-lagi alasan mahalnya biaya operasional yang harus ditanggung pemerintah dan pemakaian yang dibebankan kepada masyarakat menjadi kendala. Akhirnya, penggunaan batu bara tetap dipertahankan sekalipun polusi dan kesehatan masyarakat menjadi korbannya.
Ekonomi dan Kesehatan Sama Pentingnya!
Perbedaan mendasar cara pandang sistem kapitalisme dalam menyelesaikan persoalan yang seolah-olah saling bertentangan adalah harus memilih salah satu yang dianggap prioritas, meskipun harus mengorbankan yang lain. Sementara Islam memandang, setiap persoalan harus diselesaikan dengan tuntas karena menyangkut hak hidup manusia.
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar selain sandang, pangan, papan, dan menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Pun dengan ekonomi, seyogianya negara menyelesaikan persoalan keduanya dengan tuntas.
Energi termasuk kepemilikan umum yang menjadi tugas negara untuk mengelolanya guna kepentingan masyarakat. Jika energi fosil sudah tidak layak digunakan karena alasan berbahaya bagi kesehatan, negara harus menyediakan energi alternatif yang ramah lingkungan sebagai gantinya. Negara dapat mendorong para ahli energi untuk melakukan riset dan menemukan berbagai bahan yang dapat digunakan dengan biaya yang terjangkau.
Oleh karena energi adalah milik umum, maka negara tidak boleh mencari laba dalam pengelolaannya. Dengan konsep ini, maka polusi udara dapat diatasi dan roda perekonomian tetap berjalan.
Inilah bentuk riayah atau kepengurusan yang sepatutnya dilakukan oleh kepala negara sebagai bentuk tanggung jawab dan kasih sayang atas amanah yang dibebankan di pundaknya, sebagaimana sabda Nabi saw.,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam bisshawab. [CM/NA]