Komersialisasi Daging Kurban di Bekasi

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Penulis: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com

Negara berbasis Islam wajib menjamin tersalurkannya daging hewan kurban kepada mustahik yang berhak. Negara tidak hanya memberikan perhatian di bidang teknis saja, tetapi sampai kepada pendistribusian daging kurban. Negara hadir mengawasi jalannya ibadah kurban demi menjaga kesucian syariat dan memastikan keadilan sosial.

CemerlangMedia.Com — Di tengah gema takbir yang berkumandang dan semangat kurban yang seharusnya mampu menyatukan umat, muncul ironi pahit dari tanah Bekasi. Dalam momen yang seharusnya menjadi simbol solidaritas dan kepedulian sosial, justru muncul kenyataan yang menyedihkan.

Beberapa warga, terutama mereka yang sebenarnya paling berhak menerima daging kurban secara gratis, malah diminta untuk mengeluarkan uang demi mendapatkan daging kurban. Tradisi berbagi yang semestinya menjadi bentuk kebaikan tanpa syarat, kini ternodai oleh praktik yang menyimpang dari nilai-nilai hakiki.

Kejadian memalukan tersebut berlangsung di Kelurahan Cikiwul, Kecamatan Bantargebang, Kota Patriot Bekasi, Jawa Barat. Pengakuan seorang warga bahwa ia telah menebus daging kurban seharga Rp15 ribu per kantong. Sementara salah seorang panitia kurban mengaku, uang tebusan tersebut untuk menutupi biaya operasional pemotongan hewan. Kontan, kejadian ini menjadi buah bibir warganet (Blok-a.com, 10-06-2025).

Hal tersebut adalah cerminan bergesernya ibadah kepada logika pasar. Lebih jauh, pengelolaan harta dan amal ibadah ketika tidak diatur oleh Islam, maka halal dan haram tidak lagi menjadi standar berperilaku. Ritual ibadah tidak mempunyai ruh, yang ada adalah pemikiran yang selalu ingin mendapatkan keuntungan secara materi, walaupun rakyat yang hidup dalam keterbatasan adalah korbannya.

Untung Rugi

Kejadian ini menjadikan kurban tidak lagi dipandang sebagai ibadah, melainkan disusupi oleh kepentingan transaksi ekonomi. Sementara hakikatnya, pembagian daging kurban adalah sedekah dan pembagiannya secara cuma-cuma kepada yang membutuhkan. Penarikan biaya, walaupun dikatakan sebagai biaya operasional mengeliminasi esensi ibadah. Daging kurban berubah status menjadi komoditas yang diperjualbelikan, bukan sebagai alat untuk menguatkan solidaritas umat.

Lebih jauh, kejadian ini adalah dampak langsung sistem ekonomi kapitalisme. Seluruh aspek kehidupan dipandang sebagai pabrik yang harus menghasilkan uang. Dalam nalar kapitalisme, bahkan ranah ibadah sekalipun tidak luput dijadikan ladang bisnis demi menggerakkan roda ekonomi.

Kapitalisme sekularisme membuat ibadah tidak lagi sakral. Selain itu, sistem ini mereduksi solidaritas umat yang berhak menerima sedekah terabaikan. Pengelolaan kurban yang diserahkan kepada individu membuka celah untuk dijadikan sebagai ladang bisnis.

Paradigma sekularisme kapitalisme telah memisahkan agama dari ruang publik. Agama dipandang sebagai urusan pribadi, sementara pengelolaan harta diatur dengan prinsip pasar bebas yang menempatkan untung-rugi sebagai parameter utama. Oleh karenanya, tidak heran jika panitia kurban tersebut memberlakukan pungutan-pungutan yang dibalut dengan biaya operasional, tetapi sejatinya mengandung unsur transaksi yang bertentangan dengan niat berkurban.

Di sisi lain, peran negara dalam sistem ini lemah. Aturan hanya bersifat teknis, seperti kesehatan hewan dan kelayakan tempat pemotongan (itu pun sebagian, tidak seluruh tempat), sedangkan pengawasan terhadap penyaluran kepada warga tidak terpantau oleh negara.

Ketiadaan pengawasan negara inilah yang memicu suburnya mental kapitalistik. Mereka memanfaatkan ruang kosong untuk mengambil keuntungan dari proses distribusi daging kurban. Alhasil, muncullah istilah “untuk biaya operasional”, kupon berbayar, dan lainnya.

Lebih dari pada itu, kapitalisme sekularisme menggeser hakikat ibadah sebagai komoditas, ladang bisnis, serta pembenaran terhadap pungutan. Akibatnya, kaum miskin yang seharusnya menjadi penerima utama daging kurban justru tertekan oleh adanya pembayaran yang seharusnya tidak pernah ada. Sementara oknum-oknum nakal mendapatkan keuntungan dari pengelolaan sedekah daging kurban.

Jika komersialisasi daging kurban ini dibiarkan, tentu akan memunculkan ketidakpercayaan terhadap panitia kurban. Di samping itu, akan menimbulkan kesenjangan sosial dan akses terhadap daging kurban hanya dinikmati oleh orang yang mampu untuk membayar saja.

Parahnya lagi, makna kurban akan tereduksi. Kurban tidak lagi sebagai ajang berbagi kepada kaum duafa. Hal ini pula akan memicu konflik horizontal. Orang-orang yang merasa berhak mendapatkan jatah daging kurban dan ia tahu bahwa daging tersebut tidak boleh dikomersialkan akan melawan oknum nakal untuk mendapatkan keadilan.

Aturan Islam

Agar praktik semacam ini tidak terulang dan bisa diberantas sampai ke akarnya, maka perlu adanya perubahan cara pandang dalam mengelola harta, termasuk proses pendistribusian daging kurban. Paradigma tersebut haruslah lahir dari asas berpikir yang bersumber dari wahyu Allah Swt., yakni hukum Islam yang komprehensif.

Dalam Islam, berkurban adalah bentuk taqarrub illallah dan dagingnya disalurkan kepada ahlul kurban (orang yang berkurban), kerabat, dan fakir miskin (secara cuma-cuma, bukan jual-beli). Sabda Rasulullah saw. terkait hal ini, “Makanlah darinya, sedekahkanlah, dan simpanlah.” (HR Muslim).

Berdasarkan hadis tersebut, mengomersialkan daging kurban adalah pelanggaran terhadap syariat karena pemberian daging kurban bukan transaksi, melainkan ibadah. Oleh karenanya, panitia atau ormas yang terlibat dalam praktik jual beli daging kurban wajib ditindak tegas oleh negara.

Negara berbasis Islam wajib menjamin tersalurkannya daging hewan kurban kepada mustahik yang berhak. Negara tidak hanya memberikan perhatian di bidang teknis saja, tetapi sampai kepada pendistribusian daging kurban. Negara hadir mengawasi jalannya ibadah kurban demi menjaga kesucian syariat dan memastikan keadilan sosial.

Dalam Daulah Islam, pemisahan agama dengan kehidupan sosial dan ekonomi tidak pernah terjadi. Negara bukan hanya berfungsi sebagai regulator teknis, tetapi juga penjaga, pelindung akidah, dan keadilan distribusi kekayaan, termasuk daging hewan kurban.

Khatimah

Kasus penjualan daging kurban mencerminkan buruknya implementasi sistem kapitalisme, sekularisme. Sistem ini merusak esensi ibadah. Ibadah yang seharusnya diniatkan tulus dalam bentuk ketaatan kepada Allah Swt., kini terkontaminasi oleh logika pasar untung-rugi, transaksi dan pengelolaan bisnis. Mengembalikan periayahan hidup, termasuk pengelolaan hewan kurban kepada sistem Islam kafah adalah solusi yang absolut agar niat tulus ibadah, keadilan sosial, dan kemanusiaan tetap terjaga sesuai fitrah manusia. Wallahu a’lam. [CM/Na]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *