Penulis: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Sejatinya, makna haji dan kurban luruh jika tidak ditopang oleh sistem yang tunduk pada Ilahi secara menyeluruh. Sejarah membuktikan hal ini selama berabad-abad lamanya. Negara berbasis Islam bertugas untuk menjaga umat, membela kehormatan, merespons tegas penindasan terhadap umat Islam, serta menyelenggarakan ibadah haji dan menjamin keamanannya tanpa kapitalisasi.
CemerlangMedia.Com — Setiap tahun, sebagian umat Islam melaksanakan ibadah haji. Mereka berkumpul di Makkah untuk menunaikan perintah Allah Swt. sebagaimana ritual yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.. Sebagian yang lain, jutaan umat Islam melaksanakan kurban sebagai wujud ketaatan dan solidaritas sosial.
Kedua ibadah tersebut mencerminkan satu visi, yakni tunduk kepada Allah Swt. dalam satu ajaran Islam. Namun ironisnya, di balik kemegahan ritual peribadatan yang mencerminkan persatuan ini, umat Islam berada dalam perpecahan yang kronis.
Tanpa adanya persatuan dalam sebuah institusi politik Islam, potensi semangat berkurban dan berhaji seolah hanya simbol, padahal jika ditelisik lebih dalam, kurban dan haji adalah semangat ukhuah global. Namun kini, hanya wujud persatuan yang tertinggal. Sistem sekularisme terus mengoyak tubuh kaum muslim hingga tidak terasa lagi ruh kebersamaannya.
Teladan Nabiyullah
Kurban dan haji adalah jejak kenabian yang seharusnya mengikat umat dalam satu barisan, bukan sekadar ritual tanpa arah. Nabi Ibrahim alaihissalam, ketika menerima wahyu dari Allah Swt. di dalam mimpinya agar menyembelih anak kesayangannya, Ismail, perintah tersebut dilaksanakan secara ikhlas. Hal ini menunjukkan ketaatan total kepada Rabb-nya.
Begitu pula ibadah haji. Nabi Muhammad saw. telah menyempurnakan ibadah haji dalam kerangka Daulah Islam di Madinah. Hal itu menjelaskan bahwa pelaksanaan syariat tidak sekadar simbolik, melainkan harus terwujud dalam institusi politik yang memayungi umat.
Kedua hal tersebut bukan sekadar ibadah spiritual individual, tetapi manifestasi ajaran dasar Islam, yakni ketaatan yang dilakukan bersama-sama kepada Allah Swt. secara totalitas dalam satu kepemimpinan. Namun sayang, saat ini umat Islam melaksanakan ibadah haji dan kurban di tengah ketiadaan kepemimpinan dalam institusi Daulah Islam yang melindungi mereka.
Tidak ada lagi institusi politik global yang mampu menyalurkan semangat ibadah kolektif kepada kebijakan nyata yang mampu membela umat Islam di kancah internasional. Umat Islam terpecah dalam batas-batas nasionalisme akibat penjajahan/kolonialisme. Ironisnya, nasionalisme ini diaminkan atau dilestarikan hingga kini oleh umat Islam sendiri.
Umat tidak lagi mempunyai payung perlindungan. Kerangka nasionalisme dibentuk dengan asas sekularisme yang memisahkan peraturan agama dari kehidupan. Alhasil, kedua ibadah tersebut nilainya tereduksi, hanya menjadi ritual ibadah tahunan tanpa mempunyai dampak politik dan sosial secara signifikan.
Dengan kapitalisme, negeri-negeri muslim membuat kebijakan tanpa fondasi agama. Mereka menjalankan sistem hukum dan tata kelola pemerintahan warisan dari kolonial Barat. Wahyu Ilahi tidak lagi dipakai sebagai sumber legislasi, maka tidak heran, tatkala ibadah haji dan hari raya Iduladha berlangsung damai, sementara nun jauh di sana, muslim Gaza, Myanmar, Uighur dibantai dan dijajah. Tidak satu pun negeri muslim yang membela karena mereka tunduk kepada sistem sekularisme yang memisahkan aturan agama dengan kebijakan politik luar negeri.
Sementara itu, sistem ekonomi kapitalisme memperburuk keadaan umat Islam. Haji menjadi ladang bisnis yang tidak luput dari komersialisasi. Biro haji adalah industri yang memanfaatkan ibadah umat Islam untuk mendapatkan keuntungan. Tempat-tempat suci dibanjiri mega proyek properti.
Hotel-hotel mewah, pusat perbelanjaan bertebaran di Makkah dan Madinah, sebagai area yang dekat dengan pusat ibadah. Tujuannya bukan untuk kenyamanan para jemaah haji, melainkan untuk menarik jemaah kaya sebagai pelanggannya. Kapitalisme mengubah ibadah menjadi komoditas pasar.
Lalu hadir liberalisme, turunan pemikiran sistem kapitalisme ini mengajarkan bahwa kebebasan individu adalah segalanya. Dalam paradigma ini, persatuan umat dipandang sebagai ancaman terhadap pluralitas, sementara syariat Islam dianggap otoriter dan tidak kompatibel dengan demokrasi. Alhasil, umat Islam digiring untuk beragama secara moderat, yakni hanya sebatas ibadah personal tanpa ada kewajiban untuk memperjuangkan syariat Islam sebagai sistem hidup secara menyeluruh.
Pandangan liberalisme, haji dah kurban sebatas “hak beribadah”, bukan dipandang secara menyeluruh sebagai persatuan umat. Nilai ibadah ini hanya menjadi simbol spiritual yang nihil dari muatan ideologis.
Gabungan ketiga sistem ini (kapitalisme-sekularisme-liberalisme) telah mencabut akar kekuatan umat Islam. Mereka menunaikan ibadah haji dan kurban, tetapi dalam bingkai struktur dunia yang tidak dibangun dalam fondasi Islam.
Mereka sujud di depan Kakbah dan menangis di Arafah, tetapi arah hidupnya adalah warisan dari Napoleon, hukum sipil Eropa, dan konstitusi kolonial. Dituntun setia pada konstitusi buatan manusia, bukan pada dakwah Rasulullah.
Oleh karena itu, tidak heran jika persatuan ritual haji dan kurban hanya menjadi nostalgia spiritual tanpa ada dampak nyata terhadap kondisi politik, sosial, atau kekuatan umat Islam secara global. Ibadah ini seolah tidak mendorong terwujudnya satu kepemimpinan. Semua hanya berakhir di meja administrasi dan tataran personal.
Pelaksanaan haji pun lebih mirip perayaan nasionalisme keagamaan daripada forum persatuan umat secara global. Jemaah dari berbagai negara datang dengan atribut nasionalnya masing-masing dan tidak ada upaya serius untuk memperkuat solidaritas politik umat Islam secara global. Di tanah suci, mereka berkumpul, tetapi terkotak dalam batas negara.
Lebih jauh, kapitalisme sekularisme liberalisme tidak hanya menghancurkan tatanan politik umat Islam, tetapi juga menyusup ke cara berpikir umat. Tidak sedikit di kalangan umat Islam yang membela sistem buruk ini. Mereka menganggap sistem ini lebih fleksibel, lebih toleran, lebih maju daripada sistem Islam. Bahkan, seruan untuk menyatukan kembali umat di bawah naungan institusi negara Islam dianggap utopis, ekstrem, radikal, dan berbahaya.
Hal ini merupakan kemenangan bagi musuh Islam. Mereka tidak hanya menguasai tanah milik kaum muslim, tetapi juga pemikiran dan nurani kaum muslim.
Bermakna dalam Islam
Sejatinya, makna haji dan kurban luruh jika tidak ditopang oleh sistem yang tunduk pada Ilahi secara menyeluruh. Sejarah membuktikan hal ini selama berabad-abad lamanya. Negara berbasis Islam bertugas untuk menjaga umat, membela kehormatan, merespons tegas penindasan terhadap umat Islam, serta menyelenggarakan ibadah haji dan menjamin keamanannya tanpa kapitalisasi.
Tanpa sistem Islam, ibadah-ibadah besar tersebut hanya akan terus menjadi wujud “persatuan yang tertinggal”. Indah dalam simbol, kosong dalam persatuan hakiki. Umat Islam harus menyadari bahwa memisahkan ibadah haji dan kurban dari perjuangan menegakkan syariat Islam adalah pemahaman sekularisme.
Dengan demikian, kembalinya kepemimpinan di bawah Daulah Islam adalah prasyarat ibadah haji dan kurban, bukan sekadar ritual. Hal ini sekaligus menjadi kekuatan pemersatu umat dan pemantik kebangkitan peradaban Islam yang hakiki. [CM/Na]