Oleh: Ummu Rifazi, M.Si.
CemerlangMedia.Com — Lagi-lagi kabar mengejutkan datang dari generasi muda harapan bangsa negeri ini. Sebanyak 5.848 anak di Kabupaten Lumajang dari jenjang pendidikan SD dan SMP memutuskan untuk berhenti sekolah dan lebih memilih untuk bekerja. Lebih mirisnya lagi, mereka memutuskan untuk bekerja sebagai kuli di tambang pasir dengan upah Rp200.000 per hari, walupun sebenarnya orang tua mereka mampu membiayai pendidikannya (surabaya.kompas.com, 15-08-2024).
Negara Materialistik Melahirkan Generasi Budak Materi
Sistem kehidupan yang diatur dengan ideologi kapitalisme sekuler liberal di negara ini telah menjadikan generasi terkungkung dalam paradigma materialistik. Paham ini melahirkan masyarakat bermartabat rendah yang mengukur kebahagiaan, kesuksesan, dan ketenangan hidup dari jumlah harta yang dimiliki.
Perolehan harta sebanyak mungkin menjadi sesuatu hal yang harus dikejar dalam kehidupan yang serba mahal di negeri ini. Tiga kebutuhan pokok setiap warga negara, yaitu pangan, sandang, dan papan harus diperjuangkan dengan penuh penderitaan karena tingginya nominal yang harus dibayarkan.
Hak mendapatkan pendidikan terbaik, pelayanan kesehatan dan keamanan pun dibanderol dengan biaya selangit yang nyaris tidak mampu dijangkau oleh masyarakat pada umumnya. Lapangan pekerjaan pun sulit diperoleh karena persaingan pasar global, rendahnya pemerataan industri, dan rendahnya kualitas para pencari kerja.
Kesempitan hidup dan melangitnya biaya kebutuhan dasar hidup di negeri ini menjadikan banyak orang tua berpikir pragmatis. Lebih baik anak mereka bekerja daripada sekolah. Dengan bekerja, mereka bisa langsung mendapatkan sejumlah uang untuk membiayai berbagai kebutuhan hidup, tanpa memerlukan keberadaan ijazah sekolah formal. Apalagi fakta yang seringkali mereka temui di kehidupan nyata bahwa sangatlah banyak generasi muda yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan, walaupun mereka telah melampaui jenjang pendidikan tertinggi di bangku perkuliahan.
Pola pikir tersebut kian menancap kuat diaruskan oleh penguasa negeri ini, seperti pendidikan vokasi yakni belajar sampai di jenjang tertinggi untuk menjadi ‘buruh pekerja’ para kapitalis. Alhasil, yang ada dalam setiap benak warga negara bahwa tujuan akhir dari bersekolah adalah perolehan ijazah formal yang selanjutnya diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan terbaik.
Jika pola berpikir seperti ini terus terjadi, sangatlah besar kemungkinannya sumber daya manusia di negeri ini akan diisi oleh generasi berkualitas rendah dengan daya pikir sempit bermental pekerja, bukan generasi gemilang dengan daya pikir cemerlang yang mencintai ilmu.
Impitan ekonomi telah melahirkan manusia-manusia yang menjadi budak materi. Mereka tidak lagi ingat bahwa materi bersifat semu. Semua yang berbentuk materi suatu saat akan habis dan hancur. Sebaliknya, ilmu bersifat kekal dan laksana cahaya yang menuntun para pemiliknya mampu melakukan amalan terbaik menuju kemuliaan hidup.
Negara Amanah Melahirkan Generasi Gemilang Ilmu
Kesejahteraan hidup yang hakiki merupakan suatu keniscayaan dalam naungan negara yang menerapkan sistem Islam secara kafah. Negara akan menjalankan semua kewajibannya dalam mengurusi dan mencukupi semua kebutuhan dasar rakyatnya dengan baik sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Taala, sebagaimana yang telah dilakukan teladan terbaik Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, para khulafaur rasyidin, dan khalifah setelahnya.
Semua kebutuhan dasar rakyatnya, seperti pangan, sandang, papan terpenuhi dengan sangat layak. Hak setiap warga negara untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang luas, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan keamanan dengan kualitas terbaik mampu disediakan oleh negara dengan pengelolaan kekayaan negara di kas negara (baitulmal) yang mempunyai sumber pemasukan melimpah.
Dengan taraf hidup yang serba berkecukupan ini, maka rakyat pun tidak pernah terbebani untuk mati-matian mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Para orang tua bisa hidup dengan tenang dan berpikir jernih untuk mengarahkan anak-anaknya menjalankan berbagai kewajibannya sebagai hamba Allah, di antaranya menuntut ilmu agar tertunjuki pada jalan keimanan.
Oleh karenanya kesempatan menuntut ilmu tidak boleh terlewat sedikitpun, meski ketika harus melaksanakan jihad fii sabilillah, sebagaimana firman Allah dalam QS At-Taubah ayat 122 yang artinya,
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.”
Dari firman Allah ini, kita diingatkan akan pentingnya kedudukan ilmu karena dapat menjaga pengembannya dari segala kemaksiatan dan keharaman. Baginda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjalankan perintah Allah Taala dalam ayat tersebut dengan cara hanya menurunkan sebagian kaum muslimin ke medan peperangan. Sebaliknya, beliau memerintahkan sebagian kaum muslimin yang lainnya untuk menuntut ilmu dengan memperdalam pengetahuaan dan pemahamannya terhadap Al-Quranul Karim.
Dalam kesempatan lain, Baginda Rasulullah juga mencari jalan agar kaum muslimin mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan ilmu lewat keahlian para tawanan Perang Badar. Para tawanan yang tidak mampu menebus dirinya, tetapi memiliki kemampuan baca tulis, maka keahlian mereka digunakan untuk mengajari anak-anak kaum muslimin.
Ajaran Islam yang mulia terbukti senantiasa melahirkan para pemimpin yang cerdas dan mulia yang mampu meramu berbagai kebijakan yang mengangkat derajat umat Islam ke kedudukan terbaik. Tercatat dalam tinta emas sejarah bahwa kebijakan yang diambil oleh kepala negara Islam pertama inilah yang telah melahirkan generasi gemilang ilmu, yaitu para penulis wahyu.
Pada awalnya yang dituliskan hanya Al-Qur’an. Selanjutnya bertambah dengan penulisan hadis-hadis dalam bentuk lembaran as-shahifah as-shadiqah.
Semangat menuntut ilmu anak-anak muslimin ini pun makin terdorong oleh perintah Allah dalam QS Al-Alaq ayat 3-5 yang artinya,
“Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajarkan (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Masyaallah, allahumma akrimna bil Islam, wallahu a’lam bisshawwab.