Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos.
(Penulis, Sahabat Cemerlang Media)
CemerlangMedia.Com — “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah: 90).
Jerat judi online (judol) makin hari makin menjadi-jadi. Namun, upaya pemerintah menyolusi masalah bisnis haram tersebut masih tampak setengah hati. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) pemberantasan judol setidaknya menunjukkan bahwa pemerintah sudah menganggap masalah judol gawat.
Sangat disayangkan, masyarakat lebih banyak disuguhi informasi tentang pemblokiran situs dan penutupan rekening yang terafiliasi dengan judol. Sementara proses hukum dan sanksi bagi pelaku, admin, ataupun bandar, sepi pemberitaan.
Regulasi Tak Bergigi
Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melaporkan, ada 4 juta orang di Indonesia terdeteksi melakukan judol. Mirisnya, 80.000 pelaku merupakan anak di bawah usia 10 tahun.
Data tersebut lebih tampak seperti fenomena gunung es. Artinya, ada banyak pelaku judol yang belum terdeteksi, mengingat, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengeklaim telah memblokir sebanyak 2.945.150 situs judol sejak 17 Juli 2023 sampai 13 Juni 2024 (www.kominfo.go.id).
Kemenkominfo merupakan pihak yang bertanggung jawab menjadikan ruang digital aman dari konten negatif, termasuk judol. Dalam pekan pertama Juli 2024, Kemenkominfo memblokir 96.893 situs judol. Jumlah tersebut sangat fantastis dan menandakan bahwa konten judol tumbuh secara masif.
Hal ini juga berarti bahwa pemblokiran situs judol saja tidak cukup. Ibarat, ‘mati satu tumbuh seribu’. Situs judol akan terus tumbuh selama peminatnya ada.
Pemerintah telah mengeluarkan regulasi pelarangan judi melalui KUHP baru dan Undang-Undang ITE. Dalam KUHP Pasal 303 ayat (1), bandar judi bisa dijerat sanksi penjara sampai 10 tahun atau denda maksimal Rp25 juta.
Sementara Pasal 303 bis ayat (1) menyebutkan, pelaku judi bisa dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun atau denda paling besar Rp10 juta. Lebih spesifik lagi, judol diatur dalam UU ITE Pasal 27 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (2) UU No. 19/2016 bahwa pelaku maupun bandar judol bisa dijerat sanksi hukuman penjara sampai 6 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar.
Sangat disayangkan jika regulasi terkait judol seperti tak bergigi. Bukannya memberi sanksi agar jera, pihak pemerintah justru mengeluarkan wacana pemberian bantuan sosial (bansos) kepada korban judol.
Berawal dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, pemerintah memberikan advokasi kepada korban judol dengan memasukkan ke dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Pernyataan tersebut menuai kontroversi.
Muhadjir kemudian mengklarifikasi, yang dimaksud ‘korban’ bukan pelaku judol, tetapi anggota keluarga yang dirugikan secara material, finansial, serta mental. Kontroversi terus berlanjut hingga Presiden Jokowi turut bersuara dan menegaskan tidak ada bansos untuk korban judol.
Muhadjir kemudian menyatakan, wacana tersebut hanya pendapat pribadi. Andaipun pendapat pribadi, seorang pejabat negara seharusnya lebih berhati-hati dalam mengeluarkan statement, khususnya terkait sebuah kebijakan.
Ruwetnya Masalah Bansos
Sampai saat ini, keruwetan masalah bansos, mulai dari data fiktif, penyaluran yang tidak tepat sasaran, hingga masalah korupsi belum teratasi. Permasalahan bansos potensial bertambah ruwet jika ditumpangi masalah judol yang tak kalah ruwetnya.
Upaya mengurai akar masalah judol pun akan lebih sulit dilakukan, padahal perkembangan judol sudah kronis hingga butuh penanganan segera dan masif. Wacana pemberian bansos kepada korban judol sangatlah gegabah. Kenapa demikian? Ada sejumlah alasan, di antaranya:
Pertama, istilah ‘korban’ dalam masalah ini ambigu. Bagaimana mungkin seseorang dengan kesadaran tinggi dan keinginan sendiri melakukan aktivitas judol kemudian dianggap sebagai ‘korban’? Andaipun yang dimaksud ‘korban’ adalah keluarga pelaku yang menjadi miskin dan mendapat tekanan batin, akankah keluarga koruptor yang ditarik asetnya sehingga menjadi miskin dan batinnya tertekan juga mendapat bansos?
Kedua, data dan distribusi bansos akan makin ruwet. Bappenas mengungkapkan, akibat exclusion dan inclusion error, 46% penerima bansos salah sasaran. Exclusion error merupakan kesalahan data di saat seseorang seharusnya tercatat, tetapi tidak tercatat sebagai penerima manfaat. Sementara inclusion error merupakan kesalahan data di saat seseorang seharusnya tidak tercatat, tetapi masuk sebagai penerima manfaat.
Tahun lalu, KPK mengungkap 493.000 bansos senilai Rp523 miliar salah sasaran. Mirisnya, 23.000 di antaranya diterima ASN (kompas.com, 5-9-2023). Memberi bansos kepada korban judol akan menambah ruwet data salah sasaran, mengingat pelaku judol juga banyak dari kalangan ekonomi menengah ke atas.
Ketiga, alasan pemberian bansos untuk korban judol agar terangkat dari kemiskinan tidaklah tepat. Selama ini, anggaran bansos yang dikucurkan tak signifikan mengurangi angka kemiskinan. Jumlah penduduk miskin memang terus menurun dari tahun ke tahun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2021 sebanyak 27,54 juta jiwa, pada 2022 sebanyak 26,16 juta jiwa, dan pada 2023 sebanyak 25,90 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin Indonesia kembali turun menjadi 25,22 juta jiwa per Maret 2024. Akan tetapi, perlu diingat bahwa garis kemiskinan terus meningkat setiap tahunnya.
Garis kemiskinan pada September 2021 tercatat sebesar Rp486.168,00/kapita/bulan. Garis kemiskinan pada September 2022 sebesar Rp535.547,00/kapita/bulan. Garis kemiskinan pada Maret 2023 sebesar Rp550.458,00/kapita/bulan.
Sementara garis kemiskinan pada Maret 2024 tercatat sebesar Rp582.932,00/kapita/bulan. Jika garis kemiskinan 2024 sama dengan tahun sebelum-sebelumnya, akankah jumlah penduduk miskin Indonesia menurun?
Lagi pula, besaran garis kemiskinan yang ditentukan pemerintah sangat kecil. Jangankan Rp500 ribu/bulan, pendapatan Rp1 juta/bulan saja sudah kewalahan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai misal, satu kali makan harga Rp10 ribu, maka biaya makan tiga kali sehari dalam satu bulan membutuhkan uang Rp900 ribu.
Belum lagi kebutuhan selain makanan. Alangkah baiknya anggaran bansos yang terus membengkak disalurkan untuk subsidi BBM, pupuk, listrik, dan lainnya agar bisa dinikmati seluruh rakyat secara merata.
Keempat, memberikan bansos kepada korban judol menjadikan pelaku makin kecanduan. Setidaknya, pelaku tidak perlu khawatir jika kalah dan menjadi miskin, mengingat pemerintah akan menyalurkan bansos untuk keluarganya. Apalagi tindakan hukum bagi pelaku judol, nyaris tidak ada. Artinya, ketika keluarga mendapat bansos, pelaku judol pun tetap bisa menikmatinya. Ramai istilah ‘tuman’ yang justru merangsang munculnya pelaku judol baru.
Kelima, selama peminatnya masih ada, judol akan tetap eksis. Jika masalah judol tidak diseriusi, pelaku judol akan makin banyak. Artinya, anggaran bansos makin membengkak karena korban judol juga terus bertambah.
Keenam, keberadaan judol tampak masif dan terstruktur. Sudah saatnya pemerintah mencari solusi komprehensif dari hulu sampai hilir. Pemberian bansos kepada korban judol hanyalah solusi tambal sulam yang tidak akan menyelesaikan masalah.
Solusi Menjanjikan
Seperti inilah kehidupan di negara sekuler kapitalisme. Masalah mental dan moral masyarakat tidak akan pernah baik-baik saja. Dalam sistem sekuler, judi tidak dianggap sebagai suatu perbuatan yang menj*j*kkan. Sebaliknya, judi dianggap sebagai jalan mencari keberuntungan.
Bagi pelaku, judol memberi harapan menang dan meraup banyak cuan dengan cara instan. Sementara bagi bandar, judol jelas bisnis menggiurkan. Suatu saat, judol bisa dilegalkan dengan alasan memberi banyak manfaat, termasuk pemasukan pajak. Naudzubillahi mindzalik.
Penanganan judol memang tidak cukup di wilayah kuratif, tetapi juga preventif (pencegahan). Kesadaran bahwa judol merupakan perbuatan maksiat akan mencegah individu terjerat di dalamnya. Sayangnya, kondisi masyarakat saat ini, banyak tidak paham syariat Islam.
Sekularisme telah melahirkan banyak pribadi minim iman. Mereka kurang peduli cara memperoleh harta, padahal perolehan harta dengan cara haram tidak akan berkah. Sebanyak apa pun uang hasil judi akan cepat habis dan tidak mampu memberi ketenangan.
Oleh karenanya, Islam sangat mengutamakan penguatan akidah. Pembinaan akidah Islam dalam kurikulum pendidikan nasional sangat penting untuk menjadikan generasi bersyahsiah (berkepribadian) Islam. Seseorang yang berkepribadian Islam akan lebih taat terhadap hukum syarak.
Selain itu, pemerintah juga perlu memberi sosialisasi secara masif terkait keharaman dan bahaya judi. Dengan demikian, masalah judi, baik daring maupun luring bisa diminimalkan. Jika upaya preventif sudah dilakukan, tetapi masih terjadi perjudian, perlu pemberian sanksi tegas dan memiliki efek jera.
Saat ini, ada kesan enggan memberikan sanksi, mengingat jumlah pihak yang terafiliasi dengan judol sangat fantastis. Sanksi berupa kurungan penjara akan menjadi beban negara. Kita bisa melihat, hampir semua lapas dan rutan over capacity.
Dari sini tampak bahwa penting penerapan syariat Islam secara menyeluruh, termasuk sistem sanksi. Dalam Islam, sanksi dirancang sedemikian rupa sehingga benar-benar memiliki efek jera.
Penerapan syariat Islam secara kafah merupakan solusi yang lebih menjanjikan dalam mengatasi masalah judol. Islam tidak menjadikan asas manfaat dalam memandang suatu kebijakan.
Sebaliknya, Islam menjadikan halal-haram sebagai asas lahirnya suatu kebijakan demi terjaganya tatanan kehidupan masyarakat. Sekian banyak kerusakan di muka bumi ini adalah akibat dari dijauhkannya syariat Islam dalam seluruh sendi kehidupan.
Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]