Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Dalam Islam, negara bertanggung jawab atas pendidikan tenaga medis, termasuk mendirikan sekolah gratis. Demikian pula, negara bertanggung jawab terhadap pencegahan penyakit. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan sanitasi, kebersihan, dan pencegahan wabah.
CemerlangMedia.Com — Saat daya beli masyarakat lemah dan anggaran negara makin terbebani, muncul wacana Cek Kesehatan Gratis (CKG) di negeri ini. Janji ini terkesan manis di telinga rakyat yang makin tertekan dalam ekonomi, sekaligus mengandung keraguan, sejauh mana janji tersebut terealisasi.
Wacana Cek Kesehatan Gratis disampaikan oleh Juru Bicara Kemenkes Widyawati bahwa program ini akan dilaksanakan pada pekan kedua Februari 2025. Program ini akan melibatkan sebanyak 10.000 Puskesmas dan 20.000 klinik swasta. Lebih jauh, anggaran program ini senilai 4.7 triliun yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) (Beritasatu.com, 28-2-2025).
Namun demikian, kompleksnya tekanan ekonomi memunculkan tanya, mungkinkah wacana ini akan berjalan tanpa menambah beban fiskal lainnya? Atau justru berujung pada kenaikan pajak dan pemangkasan subsidi?
Kapitalisme Menggagalkan
Program CKG pemerintah merupakan niat baik. Namun, niat baik ini tidak cukup untuk membawa masyarakatnya hidup lebih baik. Perlu adanya sistem yang baik pula untuk menjalankan program ini. Sejauh ini, sebaik apa pun programnya, selama sistem kapitalisme sekularisme menggerogoti, maka program tersebut akan selalu berakhir pada kegagalan.
Indonesia sebagai penganut sistem kapitalisme berorientasi pada pasar bebas. Oleh karenanya, dominasi swasta menjadi suatu hal yang lumrah, termasuk di dunia kesehatan. Hal ini dapat menghambat program CKG yang sedang dicanangkan oleh pemerintah.
Pada sistem kapitalisme, swasta mendominasi rumah sakit dan laboratorium diagnostik yang orientasinya adalah untuk mengejar keuntungan. Penyedia layanan kesehatan lebih fokus pada profit, bukan pelayanan berbasis kesejahteran sosial.
Program CKG berpotensi mendapatkan penolakan dari sektor swasta, sebab mengancam model pelayanan mereka yang berbasis biaya. Hegemoni swasta di bidang kesehatan ini menyebabkan ketergantungan negara kepada swasta. Hal ini menjadi hambatan program CKG dari pemerintah, sebab mau tidak mau harus mengomersialisasikan kesehatan.
Selain itu, hambatan lainnya adalah banyaknya biaya yang akan dihabiskan oleh program ini. Sebagai pengemban ideologi kapitalisme, negara tidak memiliki kendali penuh atas sumber daya ekonomi serta masih mengandalkan pajak dan utang.
Tidak dapat dimungkiri, CKG membutuhkan biaya yang besar untuk infrastruktur medis, tenaga kesehatan, alat diagnostic, dan distribusi layanan. Jika sumber pendanaan belum jelas atau masih mengandalkan pajak dan utang, tentu saja program ini berpotensi menjadi beban fiskal yang tidak berkelanjutan.
Program ini akan berhenti di tengah jalan atau bisa juga mengurangi kualitas layanan, misalnya terbatasnya jumlah fasilitas yang tersedia atau antrean yang membludak untuk mendapatkan layanan gratis. Oleh karena itu, pemerintah harus mencari sumber dana selain dari APBN.
Apabila hanya mengandalkan APBN, program ini akan bersaing dengan program infrastruktur, pendidikan, dan subsidi. Ketika tidak ada sumber dana yang lain untuk membiayai program ini, maka akan terjadi defisit anggaran (pengeluaran lebih besar daripada penerimaan).
Apabila ini terjadi, maka pemerintah akan menambah beban utang dalam jangka panjang dan akan membebani negara. Alternatif lainnya adalah menaikkan pajak yang akan membebani rakyat dan dunia usaha secara keseluruhan.
Selain masalah pendanaan (ekonomi), sekularisme juga menjadi penyebab gagalnya program CKG. Hal tersebut terjadi lantaran sistem sekularisme mengabaikan pendekatan pencegahan berbasis agama. Padahal sebenarnya, pendekatan agama dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan.
Dalam sistem sekularisme, kesehatan sering kali dipandang hanya sebagai masalah biologis dan medis tanpa menyentuh aspek moral dan sosial. Hal ini mengakibatkan banyak penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan perubahan perilaku moral tidak tertangani dengan efektif.
Sebagai contoh, dalam sistem sekularisme, seks bebas tidak dilarang, tetapi hanya dikendalikan dengan kampanye penggunaan alat kontrasepsi. Alhasil, penyakit menular seksual terus meningkat karena tidak ada pendekatan agama dan moral yang mengubah perilaku masyarakat.
Dengan demikian, apabila kesehatan hanya dianggap sebagai masalah teknis tanpa pendekatan agama, maka masalah kesehatan akan terus berulang walaupun ada berbagai program kesehatan gratis. Oleh karenanya, selama negeri ini masih bertahan dengan sistem hidup kapitalisme sekularisme, maka jaminan kesehatan dan kesejahteraan hanya ilusi semata.
Kesehatan dalam Islam
Islam sebagai sistem kehidupan mempunyai aturan yang lengkap, termasuk aturan dalam pengelolaan kesehatan. Islam memandang kesehatan adalah kebutuhan pokok masyarakat sehingga setiap individu harus dapat mengakses kebutuhan kesehatan dengan mudah.
Berdasarkan konsep ri’ayah asy-syu’un al-ummah (pengurusan urusan umat), negara wajib menyediakan pelayanan kesehatan tanpa membebankan kepada individu. Dana yang digunakan untuk menopang program tersebut berasal dari kas negara yang pemasukannya dari berbagai sumber, seperti pengelolaan sumber daya alam sesuai syariat, kharaj, jizyah, dan sebagainya.
Dengan prinsip segala sumber daya negara harus dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat, termasuk membiayai pelayanan kesehatan, negara wajib menjamin tersedianya kebutuhan dasar rakyat tersebut. Sangat berbeda dengan sistem kapitalisme yang memandang layanan kesehatan sebagai bisnis.
Hal ini sebagaimana firman Allah Swt., “Harta rampasan (fai’) dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan.” (QS Hasyar [59]: 7).
Ayat ini menunjukkan bahwa harta negara harus digunakan untuk kepentingan umum, termasuk layanan kesehatan. Dengan demikian, Islam mempunyai mekanisme implementasi layanan kesehatan, misalnya departemen kesehatan (diwan as sihah) yang bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan, pengobatan, dan regulasi tenaga kesehatan. Begitu pula rumah sakit Islam yang digunakan sebagai pusat pengobatan gratis, dibiayai oleh negara.
Dalam Islam, negara bertanggung jawab atas pendidikan tenaga medis, termasuk mendirikan sekolah gratis. Demikian pula, negara bertanggung jawab terhadap pencegahan penyakit. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan sanitasi, kebersihan, dan pencegahan wabah.
Hal tersebut bukan hanya teori atau omong kosong belaka. Akan tetapi, telah terbukti dalam sejarah Islam bahwa rumah sakit Bimaristan Al Nuri yang didirikan di Damaskus pada abad ke 12 memberikan layanan gratis bagi seluruh rakyatnya tanpa diskriminasi.
Khatimah
Demikianlah jika sistem Islam diterapkan. Sistem kesehatan merupakan tanggung jawab negara yang berorientasi pada kesejahteran rakyat dan telah terbukti berhasil dalam sejarah peradaban Islam. Wallahu a’lam. [CM/NA]