Oleh. Sumarni
(Pegiat Literasi)
CemerlangMedia.Com — Jemaah haji Indonesia patut berbahagia karena dapat menunaikan ibadah haji tahun ini. Memenuhi salah satu kewajiban seorang muslim yakni rukun Islam yang kelima. Pasalnya, dua tahun belakangan telah dilakukan pembatalan karena pandemi. Alhasil, jemaah haji Indonesia tak dapat berangkat ke tanah suci.
Kendati tahun ini jemaah haji dapat berangkat ke tanah suci, tetapi memunculkan sejumlah kemelut pelayanan haji yang tak maksimal. Hal ini dikarenakan beberapa persoalan terjadi dalam penyelenggaraan ibadah haji dari tanah air hingga di Makkah. Di antara persoalan itu adalah kekurangan makanan, distribusi tidak merata dan terlambat makan, tidak adanya kendaraan angkutan jemaah dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, pihak Ombudsman memberikan catatan terhadap persoalan ini. Agar berikutnya hal semacam ini tidak terulang lagi. Namun, semua itu butuh realisasi yang nyata, mengingat aktivitas berhaji selalu dilakukan tiap tahun.
Menakar Persoalan Haji
Polemik ibadah haji sudah terlihat sebelum keberangkatan jemaah. Sebagaimana temuan Ombudsman yang mengungkapkan pelayanan haji untuk Indonesia sangat kacau dan berantakan. Di antaranya, adanya hacker yang menyerang Bank Syariah Indonesia sehingga menyebabkan pembayaran dan pelunasan haji menjadi terhambat.
Selain itu, pemberian uang saku pada jemaah haji dalam bentuk mata uang rupiah bukan riyal (mata uang Saudi Arabia). Hal ini disesalkan oleh Indraza Marzuki Rais karena akan menyusahkan jemaah haji. Mereka harus menukarkan dahulu uang saku tersebut dengan mata uang Arab Saudi. Apalagi tidak semua jemaah haji paham melakukan transaksi penukaran mata uang tersebut (Metrotv News.com, 30-6-2023).
Di samping itu, masalah lainnya juga terlihat saat pemberangkatan. Pesawat yang akan ditumpangi jemaah haji mengalami penundaan keberangkatan selama dua atau tiga hari. Sebab, kapasitas pesawat yang disediakan pihak Saudi Airlines hanya 405 orang jemaah. Sementara itu, satu kloter yang disiapkan ada 480 orang jemaah. Hal tersebut jelas melebihi kapasitas dari perencanaan awal. Oleh karenanya, sisa jemaah haji harus diberangkatkan di sesi berikutnya.
Dengan demikian, kejadian ini menunjukkan tidak adanya komunikasi yang baik antara pihak penyelenggara haji dalam negeri dengan otoritas Arab Saudi. Pada akhirnya, mereka (jemaah haji) dirugikan dalam beberapa hal. Mereka rugi waktu, materi, konsumsi dan sebagainya.
Selain itu, buruknya pelayanan ibadah haji terlihat pada saat puncak pelaksanaan Armina (Arafah-Mina-Muzdalifah). Mulai dari terlambat datangnya makanan, distribusi makanan yang tidak merata, makanan yang dinilai tak memenuhi standar, hingga terlantarnya jemaah. Padahal seharusnya hal seperti ini sudah bisa diperhitungkan dan disiapkan dengan baik dan matang. Sebab, pelaksanaan haji ini bukan hanya sekali ini saja dilakukan. Akan tetapi, pelaksanaan ibadah haji telah dilakukan setiap tahunnya.
Lempar Tanggung Jawab!
Di tengah persoalan yang dialami jemaah haji, Ketua Komnas Haji dan Umroh Mustolih Siradj memberikan penjelasan terkait terlantarnya jemaah haji di Muzdalifah. Demikian pula dengan pelayanan lainnya adalah akibat dari aturan pemerintah Arab Saudi itu sendiri. Terjadi perubahan penyelenggaraan haji by government to government menjadi business to business.
Menyikapi buruknya pelayanan haji RI telah memberi kesan saling lempar tanggung jawab. Saling melayangkan protes antara penyelenggara haji dalam hal ini Kemenag kepada Masyariq. Adapun solusi yang dapat diberikan adalah hanya sekadar melayangkan protes kepada Masyariq, tanpa ada penyelesaian yang nyata.
Padahal sekelumit persoalan haji tak dapat dipisahkan dari tanggung jawab pemerintah. Kementerian Agama (Kemenag RI) sebagai pihak dari pemerintah sigap menyelesaikan seluruh persoalan ini. Seharusnya, jauh sebelum pemberangkatan pemerintah telah merencanakan dan telah memiliki mekanisme yang baik seluruh persiapan haji. Sebab, pemberangkatan haji bukan baru pertama kali dilakukan. Oleh karena itu, persoalan ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Perlu ada mitigasi agar ke depan tidak terulang lagi. Semua yang terkait harus berbenah.
Kemudahan Haji dalam Islam
Ibadah haji merupakan salah satu puncak ibadah seorang muslim. Bahkan disebut sebagai pokok ajaran Islam. Oleh karena itu, Islam sangat memperhatikan dan memberikan akses akomodasi yang tidak berbelit-belit seperti yang terjadi saat ini. Pelaksanaan ibadah haji hari ini terasa jauh berbeda dengan masa Islam berjaya. Saat ini ibadah haji hanyalah dipandang sebagai ibadah ritual semata. Tanpa adanya seruan dan bimbingan dari para pemimpin Islam.
Inilah buah penerapan sistem kapitalisme. Penguasa dalam sistem ini hanya melahirkan kebijakan bervisi kapitalistik. Negara yang menerapkan kapitalisme ini telah gagal mengurusi setiap masalah yang receh sekalipun. Dampaknya pun terlihat, menghilangkan syiar Islam dan justru mengganggu pelaksanaan ibadah haji tersebut.
Tidak hanya itu, negara yang menerapkan sistem kapitalisme lebih mengutamakan keuntungan ketimbang memberikan kemudahan kepada para jemaah untuk melaksanakan ibadah haji. Pun rakyat hanya dipandang sebagai objek yang dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya dari pengurusan ibadah haji ini. Padahal badah haji bukanlah hal yang remeh apalagi hanya menjadi ajang mendapatkan keuntungan.
Dalam Islam, pelaksanaan ibadah haji sangat sarat dengan makna dan berpengaruh besar dalam kehidupan muslim. Oleh karena itu, Islam menghormati jemaah haji dan memberikan pelayanan terbaik karena mereka adalah tamu Allah. Pengelolaan dana haji harus dijaga agar sesuai peruntukannya dan dana haji tetap aman dari penyalahgunaan. Penyelenggaraan ibadah ini pun akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Pun dalam pemberian fasilitas dan layanan haji, benar-benar dilakukan secara maksimal. Mulai dari pelayanan, fasilitas, akomodasi, dan lainnya akan dimudahkan. Alhasil, jemaah haji dapat melaksanakan rangkaian ibadah haji dengan maksimal dan khusyuk penuh berkah. Wallahu a’lam bissawab [CM/NA]