Penulis: Rahmiani Tiflen, S.Kep.
Aktivis Muslimah
Negara mengatur sistem pendidikan, media, dan kehidupan sosial agar bersih dari p0rn0grafi, ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), serta gaya hidup liberal (serba bebas). Sanksi diberikan secara adil dan menyeluruh, bukan hanya sebagai simbol, melainkan bentuk penjagaan terhadap masyarakat.
CemerlangMedia.Com — Gelombang kasus kejahatan s3ksual yang terjadi di negeri ini makin mengkhawatirkan. Ironisnya, para pelaku bukan hanya dari kalangan awam, tetapi justru muncul dari orang-orang yang berada di institusi-institusi yang dianggap berwibawa, seperti perguruan tinggi, rumah sakit, bahkan kepolisian.
Ini bukan sekadar persoalan perilaku menyimpang individu. Fenomena ini mencerminkan kerusakan sistemik dalam struktur kehidupan modern yang dibangun di atas sekularisme yang memisahkan agama (Islam) dari kehidupan. Ketika pendidikan hanya menargetkan capaian akademik dan aspek materi tanpa mengindahkan nilai-nilai keimanan dan moral, maka akan lahir generasi yang cerdas, tetapi kehilangan integritas dan ketakwaan.
Fenomena Kejahatan
Berbagai kasus menunjukkan betapa kejahatan s3ksual menjalar hingga ke jantung institusi formal. Belum lama ini, mantan Kapolres Ngada AKBP FWLS, terlibat dalam jaringan eksploitasi s3ksual terhadap anak di bawah umur dengan menyebarkan konten p0rn0grafi anak melalui media digital (emedia.dpr.go.id, 17-03-2025).
Selanjutnya, seorang dokter spesialis anestesi lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dilaporkan mel3cehkan pasiennya. Sementara itu, seorang guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada dilaporkan melakukan pel3c3han terhadap mahasiswa dan mahasiswi di kampus tersebut (era.id, 23-04-2025).
Data dari Kepolisian Republik Indonesia menunjukkan bahwa sejak awal 2025 telah terdapat 37 laporan kekerasan s3ksual dari 17 polda di seluruh Indonesia. Fakta tersebut menunjukkan bahwa persoalan ini bukanlah insiden individual, tetapi mencerminkan gejala sistemik yang merata di berbagai lapisan masyarakat (jurnalkalimantan.com, 04-01-2025).
Dampak Kapitalisme
Tampak jelas, gelar pendidikan atau jabatan tinggi tidak menjamin akhlak dan adab yang baik jika sistem yang menaunginya telah salah arah sejak awal. Kapitalisme dengan asasnya yang menjauhkan agama dari kehidupan publik, lalu mengangkat kebebasan individu sebagai nilai tertinggi telah menyebabkan batasan moral menjadi kabur. Kebebasan berekspresi dijadikan dalih untuk membenarkan p0rn0grafi, gaya hidup permisif, serta konten-konten vulgar yang merusak fitrah manusia.
Liberalisme (kebebasan berperilaku) makin menambah parah keadaan. Segala sesuatu diukur berdasarkan konsep untung rugi. Sementara itu, pendidikan yang merupakan salah satu sektor vital dalam membangun peradaban berkualitas diposisikan sebagai alat pencetak tenaga kerja, bukan sebagai sarana membentuk insan bertakwa. Moralitas dan agama hanya menjadi pelengkap kurikulum, bukan fondasi pembentukan kepribadian.
Inilah sebab mengapa lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya intelektual justru melahirkan pelaku kejahatan s3ksual. Perlu disadari bahwa tanpa iman, ilmu hanya menjadi alat pembenaran bagi syahwat, termasuk penyimpangan s3ksual.
Islam Menyelesaikan Kejahatan S3ksual
Islam hadir sebagai sistem kehidupan yang utuh. Bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt., tetapi juga hubungan antar manusia dan juga negara. Dalam pandangan Islam, mencegah kejahatan s3ksual bukan sekadar menghukum pelaku, tetapi membangun sistem yang menjauhkan masyarakat dari segala sebab yang mengantarkan pada zina dan pel3c3han.
Pertama, pendidikan berbasis akidah. Islam memulai pembentukan pribadi sejak dini dengan menanamkan iman (akidah), rasa takut kepada Allah, dan pemahaman tentang halal dan haram. Tujuan pendidikan bukan sekadar mencetak lulusan berprestasi, tetapi mencetak generasi yang taat dan bertanggung jawab di hadapan Allah Taala.
Kedua, masyarakat yang menegakkan amar makruf nahi mungkar. Masyarakat dalam Islam memiliki peran aktif dalam menjaga moral publik. Ketika ada penyimpangan, masyarakat tidak tinggal diam. Budaya saling menasihati dan mengingatkan (amar makruf nahi mungkar) menjadi kekuatan sosial dalam mencegah maksiat.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ…
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar…” (QS Ali Imran: 110).
Ketiga, negara yang menjalankan syariat Islam. Negara dalam Islam yang dikenal sebagai Khil4f4h Islamiah memiliki peran krusial dalam menjaga kehormatan rakyat. Negara menetapkan aturan tegas, termasuk pemberlakuan hukum hudud terhadap pelaku zina dan pel3c3han s3ksual. Tidak ada toleransi terhadap predator s3ksual, baik rakyat biasa maupun pejabat tinggi.
Negara juga mengatur sistem pendidikan, media, dan kehidupan sosial agar bersih dari p0rn0grafi, ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), serta gaya hidup liberal (serba bebas). Sanksi diberikan secara adil dan menyeluruh, bukan hanya sebagai simbol, melainkan bentuk penjagaan terhadap masyarakat.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS Al-Isra’: 32).
Penutup
Kejahatan s3ksual yang merebak di tengah masyarakat, bahkan di institusi pendidikan dan penegak hukum adalah buah dari sistem sekuler kapitalisme yang mengabaikan nilai-nilai ilahiyah. Islam menawarkan solusi menyeluruh dalam naungan Khil4f4h Islamiah. Akidah Islam sebagai dasar pendidikan, masyarakat selaku penjaga moral, dan negara adalah pelaksana hukum syarak.
Sudah saatnya umat menyadari bahwa solusi sejati tidak cukup dengan reformasi hukum atau kampanye moral belaka. Butuh penerapan Islam secara kafah (menyeluruh) agar kehormatan dan keamanan setiap individu benar-benar terjaga. Wallahu a’lam bisshawab. [CM/Na]