Oleh. Rini Sulistiawati
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — ”Sekarang, sumber air su dekat karena mudah ambil air, katong bisa hidup sehat.”
Masih ingat bocah kecil berkulit hitam berambut keriting yang menyuarakan kalimat itu dalam iklan air minuman kemasan terkenal?
Dominggus Kabnani (15) sang bintang iklan air minum itu mendadak terkenal di seantero negeri. Suaranya yang ”Timor banget” itu begitu khas dan kata-kata yang diucapkannya begitu mudah diingat semua orang.
Ucapan yang dilontarkan oleh Dominggus pelajar kelas I SMP Nenotes, Desa Noebana, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, tidak salah. Memang benar bahwa sumber air sudah sangat dekat. Kampung kelahiran Dominggus yang berjarak sekitar 200 kilometer di timur Kota Kupang, saat ini memiliki pasokan air bersih yang melimpah.
Berbanding terbalik dengan Dominggus saat ini di belahan bumi lain, banyak orang mengalami kekeringan yang sangat parah. Sadarkah kita bahwa kekeringan ini merupakan bencana untuk negeri tercinta.
Dampak Kekeringan
Selama dua dekade terakhir, penduduk di Pangasinan RT 1 RW 13, Dusun Girimulya, Desa Binangun, Kota Banjar, Jawa Barat mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasokan air bersih. Air sumur yang dimiliki oleh warga tidak dapat digunakan untuk kebutuhan minum karena rasanya asin, sementara tidak ada pasokan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Anom.
Ketika musim kemarau tiba, penduduk di daerah tersebut makin kesulitan mendapatkan pasokan air bersih. Selain mengandalkan bantuan air bersih dari BPBD Kota Banjar, kini warga juga harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli air bersih (Tvonenews.com, 7-8-2023).
Akibat krisis air bersih yang disebabkan oleh musim kemarau, kesehatan warga mulai terdampak. Salah satu penyakit yang mulai muncul di kalangan warga terdampak adalah diare.
Salah satu daerah yang mengalami kekeringan adalah sebagian wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor mencatat adanya peningkatan kasus diare. Dan menyimpulkan bahwa hal ini terjadi karena warga kesulitan mendapatkan pasokan air yang aman di tengah kondisi musim kemarau yang melanda (Republika, 9-8-2023).
Krisis Air Parah Hingga Kurangnya Pasokan Air
Kekeringan yang terjadi akibat bencana hidrometeorologi memang merupakan bagian dari fenomena alam yang tidak bisa dihindari. Namun, kurangnya langkah-langkah antisipasi dan mitigasi telah menyebabkan dampak yang makin parah bagi masyarakat, terutama dalam krisis mendapatkan air bersih.
Kondisi krisis air ini tentu sangat membuat miris, padahal negeri ini memiliki sumber kekayaan daya air kelima di dunia dengan potensi hujan turun yang mencapai 7 triliun meter kubik. Sebagian besar masih terbuang ke laut, hanya 20% yang dikelola untuk pertanian, kebutuhan domestik, dan industri. Akibatnya, banyak masyarakat yang tidak bisa menikmati air bersih dengan mudah dan murah.
Perlu kita sadari bahwa krisis air bersih bukan hanya terjadi kali ini dan tidak hanya disebabkan oleh musim kemarau saja, tetapi merupakan masalah yang terjadi setiap tahun secara berulang. Saat ini, dampak dari bencana kekeringan makin parah dan makin memperburuk situasi yang ada.
Kekurangan pasokan air bersih yang aman makin sulit didapatkan. Hal ini merupakan permasalahan yang sudah berlangsung lama. Tidak hanya terjadi di masyarakat pedesaan atau daerah terpencil (3T), tetapi juga menjadi masalah yang dihadapi oleh masyarakat perkotaan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, terdapat 83.843 desa yang masih belum mendapatkan akses layanan air minum bersih. Dari jumlah tersebut, sebanyak 47.915 desa atau kelurahan bahkan belum memiliki akses terhadap air minum yang bersih. Bahkan pada 2035, diperkirakan akan terjadi penurunan ketersediaan air per kapita per tahun di Indonesia.
Sayangnya, upaya yang serius dan signifikan untuk mengatasi krisis air bersih ini belum terlihat. Krisis tersebut terus berulang dengan intensitas yang makin luas dan parah. Pemerintah cenderung mengandalkan langkah-langkah kebijakan yang bersifat kuratif, seperti mendistribusikan dan mengirimkan air bersih ke daerah yang terkena kekeringan.
Kebijakan tersebut menghadapi beberapa keterbatasan karena terkadang anggaran dan fasilitas yang tersedia tidak mencukupi. Contohnya adalah pembangunan waduk, bendungan, atau infrastruktur serupa yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penampung air saat musim hujan. Namun, langkah-langkah ini ternyata tidak efektif dalam menyelesaikan masalah krisis air bersih.
Kekeringan Berdampak Buruk pada Kesehatan
Selain terbatasnya pasokan air bersih, kemarau juga berdampak pada berbagai aspek. Secara ekonomi, masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk memenuhi kebutuhan air. Sementara dalam hal kesehatan, kekeringan dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya berbagai penyakit.
Pentingnya kebutuhan air bagi setiap individu tidak dapat disangkal. Sekitar tiga persen dari total komposisi tubuh manusia terdiri dari air. Air memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kesehatan organ tubuh, terutama ginjal.
Dampak kekeringan terhadap kesehatan memang tidak langsung terasa. Namun, penyakit seperti hepatitis A dan tifus dapat muncul sebagai akibat dari penurunan volume air yang terjadi selama masa kemarau. Ketika sungai-sungai dan sumur mengalami penurunan volume, pelarutan kotoran dalam air menjadi lebih sulit.
Kemarau juga dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Selama musim kemarau, jumlah debu meningkat dan udara menjadi lebih terpolusi. Kondisi kekeringan juga memengaruhi akses terhadap air minum yang bersih dan aman.
Kekeringan bisa mengakibatkan orang-orang terpaksa minum air yang terkontaminasi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya wabah penyakit seperti kolera dan tifus. Penyakit-penyakit ini juga dapat menyebar dengan mudah.
Kebijakan Atasi Krisis ala Kapitalisme
Sikap pemerintah terhadap potensi bencana sebenarnya makin menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap rakyat. Tidak hanya itu, kurangnya upaya mitigasi dan kebijakan yang antisipatif terhadap dampak jangka panjang kekeringan juga menjadi masalah. Akibatnya, kebutuhan hidup rakyat dapat terancam ketika mereka terpaksa harus menghadapi bencana tersebut.
Bagaimana tidak terjadi krisis air, karena akar masalahnya adalah tata kelola air oleh negara dilakukan secara liberalisme dan kapitalisme. Air dijadikan komoditas ekonomi yang dikomersialkan. Lembaga pengelolaan air melakukan privatisasi sehingga membolehkan bagi perusahaan-perusahaan swasta menguasai sumber-sumber air. Dengan berbagai teknologi canggih terkini, perusahaan swasta tersebut bisa menyedot air bahkan dengan kedalaman tanah yang jauh sekalipun.
Negara juga terkesan membiarkan terhadap tindakan-tindakan para kapital yang secara masif melakukan deforestasi secara masif sehingga merusak sumber air, mereka juga leluasa menggunduli hutan-hutan, padahal ketersediaan air tergantung pada terjaganya ekosistem tersebut.
Belum lagi pengelolaan limbah yang amburadul, limbah dibuang begitu saja ke sungai sehingga air tercemar dan tidak bisa dipakai walaupun untuk sekadar mencuci. Air yang seharusnya menjadi kepemilikan umum rakyat, menjadi komoditas jual beli yang menggiurkan kantong para penguasa. Kapitalisasi air inilah menjadi akar masalah krisis air bersih di negeri yang kaya akan air.
Pengelolaan Air dalam Islam
Allah Swt. menciptakan air dengan siklusnya sehingga bisa mencukupi kebutuhan manusia.
Allah berfirman, “Dan, Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.” (TQS Al-Mu’minun [23]: 18)
Dalam Islam, air diposisikan sebagai kebutuhan publik sehingga menjadi milik umum dan peruntukannya hanya untuk kemaslahatan umat. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang mengelola air hanya untuk keuntungan dan mengabaikan kesejahteraan rakyat.
Negara yang menerapkan sistem Islam akan melakukan pengelolaan sumber daya alam dengan sebaik mungkin yang akan memengaruhi keberlangsungan suatu ekosistem. Tidak memberikan celah bagi perusahaan swasta untuk mengambil alih pengelolaan air, memberi sanksi tegas pada perusahaan yang membuang limbah serampangan hingga mencemari sumber air.
Negara dengan penerapan Islam, akan mengembalikan ekosistem yang rusak, memfasilitasi teknologi terbaik penyulingan air agar layak dikonsumsi, tidak akan abai dalam meriayah seluruh umat manusia untuk memberikan haknya atas makanan, pakaian, dan keamanan hidup.
Sebagaimana hadis Rasulullah, “Anak Adam tidak mempunyai hak selain pada tiga hal ini; rumah untuk ditempati, pakaian untuk menutupi auratnya, dan sepotong roti serta air.”
Demikianlah negara dengan penerapan aturan dan sistem Islam akan melakukan berbagai upaya maksimal juga efektif demi menyediakan air yang bersih dan layak dikonsumsi, sebagai wujud raa’in dan riayah negara pada rakyatnya. Wallahua’lam. [CM/NA]