Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Kebijakan yang adil hanya akan terlaksana jika Islam menjadi pijakan dalam sistem pemerintahan. Selama sistem kapitalisme dan sekularisme yang menjadi dasar kebijakan negara, maka pagar laut tetap menjadi maut bagi umat, serta kebijakan lain yang jauh dari kata keadilan dan siap membunuh rakyat secara perlahan.
Cemerlangmedia.Com — Drama pagar laut bukan sekadar proyek infrastruktur semata. Namun, ini adalah cermin dari relasi kuasa yang timpang antara rakyat kecil dan elite pemodal besar. Kuasa korporasi telah menancapkan cakarnya makin dalam di negeri ini.
Setelah terkuaknya pagar laut di berbagai tempat, pemerintah melalui Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menjatuhkan sanksi kepada delapan pejabat Kantor Pertanahan Tangerang. Dari delapan yang mendapatkan sanksi berat, enam di antaranya diberikan sanksi berupa pemecatan.
Walau begitu, pemerintah tidak boleh puas hanya dengan memberikan sanksi kepada pejabat daerah pada kasus pagar laut. Pasalnya, publik juga menunggu dalang utama pagar laut. Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, sudah ada bukti pihak-pihak yang diduga aktor lapangan dan aktor intelektual yang didapat dari kesaksian masyarakat lokal (Tirto.id, 31-1-2025).
Inilah ketimpangan hukum, sosial, ekonomi yang lazim terjadi di negeri ini. Rakyat kecil atau nelayan yang sejak dahulu menggantungkan hidup pada laut tidak hanya dibatasi ruang geraknya sebab pagar laut, tetapi juga dipaksa tunduk pada kepentingan bisnis besar. Bahkan, tatkala teriakan mereka terdengar publik, negara seolah masih menyembunyikan dalang utama pengganggu mata pencaharian mereka.
Cengkeraman Kuat Korporasi
Dominasi korporasi besar pada pemerintahan ini atau korporatokrasi telah beberapa kali terbukti akhir-akhir ini. Kasus pagar laut dan penjualan area pesisir menunjukkan bahwa korporasi mampu mengendalikan sumber daya alam demi keuntungan mereka sendiri, walaupun tindakan tersebut ilegal atau tidak etis.
Di samping itu, kasus ini sering kali melibatkan manipulasi regulasi dan kerja sama dengan pejabat yang korup. Ironisnya, dalam korporatokrasi para pelaku utama —pemilik atau petinggi korporasi— tidak tersentuh oleh hukum karena memiliki pengaruh ekonomi dan politik yang kuat.
Dalam sistem korporatokrasi, pihak yang biasanya menjadi kambing hitam adalah pejabat rendahan yang dimanfaatkan sebagai tameng hukum. Sementara pihak yang menjadi otak/dalang, berlenggang bebas menikmati hasil kejahatannya.
Lebih jauh, kasus pagar laut ini tidak hanya berdampak pada lingkungan ataupun terganggunya mata pencaharian nelayan. Hal ini juga mencerminkan dinamika kekuasaan dan pengaruh dalam sistem ekonomi dan politik yang didominasi oleh sistem kapitalisme sekularisme liberalisme.
Adanya upaya privatisasi ruang laut oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadi atau korporasi adalah bukti bahwa negara ini menjadi bancakan para kapitalis. Dalam sistem kapitalisme, motif mencari keuntungan sering kali mendorong individu atau entitas untuk menguasai sumber daya alam, meskipun tindakan tersebut melanggar hukum atau merugikan masyarakat luas.
Tindakan ini menunjukkan kepentingan ekonomi dapat mengesampingkan hak-hak masyarakat, khususnya kaum nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya pada laut sebagai mata pencaharian mereka. Pemasangan pagar laut ini mengakibatkan nelayan harus melaut lebih jauh. Hal ini dapat meningkatkan biaya operasional dan waktu yang dibutuhkan untuk menangkap ikan.
Di sisi lain, pemasangan pagar laut yang kurang memperhatikan dampak terhadap kondisi lingkungan lokal menunjukkan tidak adanya nilai-nilai solidaritas sosial dan keadilan sosial. Hal ini lantaran sistem sekularisme yang menjadi akidah sistem kapitalisme mengarah pada pengabaian terhadap kesejahteraan masyarakat demi kepentingan individu tertentu.
Dengan demikian, pada sistem bobrok ini ketidakadilan merupakan hal yang lumrah terjadi, sebab landasan kebijakan adalah pemisahan antara agama—yang mempunyai nilai moral dan etika— dengan kehidupan (politik dan ekonomi). Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan penegakan hukum yang tegas, transparansi, serta penguatan nilai-nilai solidaritas dan keadilan sosial dalam pengelolaan sumber daya alam.
Pandangan Islam
Dala sistem Islam, laut termasuk kategori kepemilikan umum (al milkiyyah ‘ammah) sehingga tidak boleh dimiliki oleh individu atau pihak tertentu untuk kepentingan pribadi, sebab nantinya akan merugikan masyarakat. Hukum kepemilikan umum dan pengelolaan sumber daya alam telah diatur secara rinci oleh syariat, “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadis ini menjelaskan bahwa air dan segala yang terkait dengannya (termasuk laut) harus terbuka untuk semua manusia. Oleh sebab itu, jika pagar laut dibangun dan menyebabkan masyarakat umum kehilangan akses, maka ini bertentangan dengan prinsip Islam.
Di samping itu, Allah juga tegas melarang bentuk perbuatan yang hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan masyarakat luas. “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS Al-Hasyr: 7).
Jika pagar laut dibuat untuk dikomersialkan yang hanya menguntungkan segelintir orang dan mengganggu akses masyarakat luas, hal ini bertentangan dengan prinsip distribusi kekayaan yang adil menurut Islam. Hal ini pun sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barang siapa menghalangi orang lain dari air atau padang rumputnya, maka Allah akan menghalanginya dari kebaikan-Nya pada hari kiamat.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Hal tersebut menunjukkan bahwa memiliki harta milik umum, seperti air dan laut adalah tindakan zalim yang dilarang oleh Islam. Selain itu, Islam juga berpandangan bahwa akses terhadap kepemilikan umum adalah hak dasar masyarakat.
Dalam hal ini, adanya pagar laut dapat menghambat aktivitas nelayan atau masyarakat sekitar dalam mencari rezeki. Pagar laut ini juga mendatangkan mudarat, seperti kerusakan ekosistem dan meningkatkan kesenjangan sosial. Untuk itu, kemudaratan ini harus dihilangkan.
Terkait kasus pagar laut, sistem Islam mempunyai cara tegas dalam menjaga kepemilikan umum agar tidak dikuasai oleh pihak tertentu, di antaranya menghapus segala bentuk privatisasi kepemilikan umum. Dalam hal ini, laut harus tetap menjadi akses terbuka bagi seluruh masyarakat.
Selain itu, negara menghapus kebijakan yang menguntungkan segelintir orang. Tidak boleh ada pihak tertentu yang memonopoli laut atau membangun infrastruktur yang merugikan masyarakat luas.
Jika pagar laut sudah dibangun, negara wajib membongkarnya dan mengembalikan laut sebagai kepemilikan umum. Negara harus memastikan bahwa segala kebijakan pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan laut wajib mempertimbangkan aspek kemaslahatan umum.
Namun, kebijakan yang adil ini hanya akan terlaksana jika Islam menjadi pijakan dalam sistem pemerintahan. Selama sistem kapitalisme dan sekularisme yang menjadi dasar kebijakan negara, maka pagar laut tetap menjadi maut bagi umat, serta kebijakan lain yang jauh dari kata keadilan dan siap membunuh rakyat secara perlahan.
Dengan demikian, hendaknya masyarakat menyadari bahwa sudah saatnya bergerak mengganti pijakan sistem hidup dari sistem kapitalisme kepada sistem Islam. Kapitalisme sudah terbukti rusak dan merusak sedangkan sistem Islam adalah sistem yang amanah dan menyelamatkan. Wallahu a’lam. [CM/NA]